tirto.id - Isu rasisme sedang kencang menerpa kancah politik AS. Penyebabnya yakni terbongkarnya foto-foto lama para politisi Abang Sam yang wajahnya (sengaja) diwarnai hitam (blackface).
Dimulai dari Ralph Northam, politisi Demokrat yang sekarang menjabat sebagai Gubernur Virginia. Pekan lalu, foto lamanya yang terpampang di buku tahunan sekolah kedokteran, pada 1984, bocor ke publik.
Dalam foto tersebut, ia berpose bersama seorang kawan dengan atribut yang kontroversial: Northam tampil layaknya kulit hitam, sedangkan kawannya mengenakan jubah Ku Klux Klan.
Kemudian ada foto lama Jaksa Agung Virginia, Mark Herring, yang memperlihatkan dirinya tampil meniru Kurtis Blow, penyanyi kulit hitam era 1980-an, dalam suatu pesta. Michael Ertel, Sekretaris Negara Bagian Florida, tak luput dari masalah serupa: fotonya pada 2005 dengan muka diwarnai hitam tersebar ke publik.
Ketiganya meminta maaf atas apa yang terjadi. Kecuali Ertel, yang sudah meletakan jabatannya setelah masalah ini muncul, tekanan terhadap Northam dan Herring untuk mundur terus menggema kencang.
Bagian dari Sejarah Kelam
Blackface, secara sederhana, bisa diartikan sebagai praktik orang-orang non-kulit hitam (biasanya kulit putih) yang menggelapkan kulit mereka dalam upaya yang, sekali lagi, disengaja untuk meniru kulit hitam. Praktik blackface sudah muncul sejak lama dan merupakan bagian kelam dari segregasi rasial.
John Strausbaugh, dalam bukunya berjudul Black Like You (2006), menjelaskan bahwa praktik blackface awalnya adalah instrumen teatrikal Eropa kuno. Di Eropa, alih-alih dipakai sebagai penanda rasial, blackface semata digunakan untuk membedakan dua dimensi: putih dan hitam. Putih berarti cahaya, hitam berarti bahaya.
“Jadi, di Eropa, misalnya, saat ada pemain yang diwarnai hitam, itu bukan berarti mereka hendak mengatakan bahwa mereka berasal dari Afrika. Itu adalah cara mereka untuk mengatakan bahwa mereka adalah makhluk malam, makhluk kegelapan,” jelas Strausbaugh kepada Vox.
Ketika tiba di AS pada abad 18, makna blackface turut bergeser. Ia dipakai untuk menunjukkan kedudukan sosial. Awalnya, blackface banyak digunakan oleh kelompok kulit putih miskin dan kelas pekerja asal Irlandia yang tinggal di New York. Mereka meniru kulit hitam karena mereka tinggal bersama kelompok kulit hitam di tangga sosial yang sama.
Melakukan blackface, menurut Strausbaugh, menjadi cara bagi orang-orang kulit putih ini untuk memberi sinyal kepada orang kulit putih lainnya bahwa mereka juga sama seperti mereka.
Seiring waktu, penggunaan blackface melenceng dan makin brutal. Ini terjadi saat blackface dikomersialisasi ke panggung-panggung hiburan pada medio 1840-an, dan terutama, setelah Perang Sipil AS berakhir. Praktik blackface lebih banyak tentang ejekan, lebih jahat, dan lebih memuat sentimen kebencian yang ditujukan kepada orang-orang kulit hitam.
Komersialisasi blackface di panggung hiburan, mengutip “Blackface: The Birth of An American Stereotype,” muncul dalam minstrel (pertunjukan drama penyanyi). Dalam pementasan minstrel pertama di New York pada 1830-an, para pemain kulit putih beramai-ramai menghitamkan wajahnya dengan semir sepatu dan mengenakan pakaian compang-camping seperti orang-orang Afrika-AS yang diperbudak di perkebunan wilayah Selatan.
Pertunjukan ini, di saat bersamaan, menggambarkan orang-orang kulit hitam sebagai pemalas, bodoh, percaya takhayul, hiperseksual, dan kriminal. Karakter blackface yang terkenal yaitu Jim Crow, diciptakan oleh Thomas Dartmouth Rice yang kelak menyandang gelar Father of Minstresly.
Sejak dipertontonkan ke khalayak, pementasan ini sudah menyimpan banyak masalah. Orang-orang kulit putih dalam industri tersebut mendistorsi eksistensi dan budaya orang Afrika-AS, dari penampilan, bahasa, hingga karakter, sehingga menimbulkan cemoohan maupun stereotip rasial.
Kondisi berubah selepas Perang Dunia II berakhir. Aktivisme kulit hitam untuk memperjuangkan hak dan kedudukan yang setara, termasuk dengan menolak keberadaan rasisme, membikin praktik blackface perlahan tenggelam.
Pada 1960-an, di tengah bergairahnya dinamika gerakan sipil AS, blackface menjadi salah satu hal yang tabu untuk dibahas, apalagi diterapkan kembali, sederet dengan, salah satunya, lambang Swastika. Pendeknya, melakukan blackface adalah tindakan rasis.
Kendati tekanannya tak semasif saat era perbudakan maupun pasca-Perang Sipil, kehadiran blackface masih dapat dijumpai di sejumlah film, mulai dari Trading Places (1983), Soul Man (1986), hingga Tropic Thunder (2008). Film-film ini menyusul The Birth of a Nation (1915), The Jazz Singer (1927), dan Everybody Sing (1938) yang lebih dulu memasang blackface di pemeran-pemerannya.
Untuk kasus Northam sendiri, Strausbaugh berpendapat bahwa hal itu tidak dapat dilepaskan dari kebijakan diversifikasi kampus-kampus seluruh AS untuk lebih terbuka dengan orang-orang kulit berwarna pada dekade 1980-an. Namun, yang harus digarisbawahi, aksi Northam dan politisi lainnya semasa muda, apapun motifnya, tetaplah memuat rasisme.
“Jadi, jika kamu mahasiswa di 1980-an yang mengenakan blackface, di sebuah pesta atau di mana pun, kamu tahu persis apa yang kamu lakukan. Kamu tahu kamu rasis, dan kamu tahu itu tidak menyenangkan dan menyinggung. Dan kamu sengaja melakukannya,” tegas Strausbaugh.
Masalah yang jelas-jelas terlihat dalam kasus blackface ialah soal representasi, di mana blackface secara terbuka mengolok-olok kulit hitam, demikian jelas Philip Howard dari McGill University lewat tulisannya berjudul “The Problem with Blackface” yang dipublikasikan The Conversation.
Menurut Howard, ada beberapa gambaran buruk yang muncul sebagai imbas dari konstruksi blackface. Pertama, blackface, dengan segala make-up yang disematkan pada wajah orang-orang kulit putih secara tak realistis, merupakan bagian dari proses membangun perbedaan fisik antara orang kulit hitam dan kulit putih.
Kedua, blackface menuliskan kembali hubungan perbudakan. Dengan menyamar sebagaimana orang kulit hitam pada umumnya, dari pakaian, fisik, budaya, hingga aksen, orang-orang kulit putih mampu mengeruk keuntungan, sesuatu, yang di eranya, tidak bisa dilakukan kulit hitam.
Walaupun ditentang karena menjadi bagian dari praktik rasisme, blackface, bagi sebagian masyarakat AS masih bisa ditolerir keberadaannya. Ini mengacu pada hasil riset Pew Research Center yang dilakukan pada 22 Januari hingga 5 Februari 2019. Survei diambil sebelum ontran-ontran Northam serta politisi lainnya mencuat ke permukaan.
Dalam riset tersebut dijelaskan sebanyak 34 persen responden mengatakan penggunaan blackface kadang atau selalu bisa diterima, terutama saat penyelenggaraan Halloween. Sementara 53 persen lainnya menyebut orang-orang kulit putih tidak bisa menggunakan blackface sebagai aksesoris kala Halloween.
“Kita semua saat ini sedang membicarakan orang-orang bodoh dari Virginia. Sedikit banyak, itu kembali memaksa kita untuk menghadapi kenyataan bahwa rasisme belum hilang di AS. Ini sekaligus menjadi pengingat: rasisme merupakan masalah, masih jadi masalah, dan belum hilang,” tegas Strausbaugh.
Editor: Nuran Wibisono