Menuju konten utama

Sejarah Kekerasan Bermotif Non-Agama di Yogyakarta

Sejarah mencatat, aksi kekerasan, termasuk yang bermotif politik dan ideologi, lebih sering terjadi di Yogyakarta.

Sejarah Kekerasan Bermotif Non-Agama di Yogyakarta
Keraton Yogyakarta. ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko/aww.

tirto.id - Beberapa waktu terakhir, terjadi aksi kekerasan bermotif politik di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Sejarah mencatat, sejak dua dasawarsa terakhir, aksi vigilantisme alias main hakim sendiri memang lebih sering hadir di kota pelajar ini. Selain bermotif agama, ada pula tindak kekerasan yang dilatarbelakangi hasrat politik maupun pertentangan ideologi.

Yang terbaru adalah pada Ahad (7/4/2019) lalu, terjadi bentrok antara simpatisan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dengan anggota Front Pembela Islam (FPI). Kericuhan itu terjadi di Markas FPI Yogyakarta sekaligus Posko Pemenangan Prabowo-Sandiaga di Jalan Wates Km 9, Dusun Ngaran, Desa Balecatur, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman, DIY.

Massa simpatisan PDIP yang sedang berkonvoi menuju Alun-alun Wates, Kulonprogo, untuk menghadiri kampanye terbuka yang digelar Tim Kampanye Daerah (TKD) Jokowi-Ma’ruf Amin, melewati Markas FPI Yogyakarta dan akhirnya terlibat bentrok. Dua mobil rusak akibat insiden ini.

Data riset Wahid Institute tahun 2014 menyebutkan, Yogyakarta merupakan daerah dengan tingkat kekerasan dan pelanggaran tertinggi setelah Jawa Barat. Kendati tumbuh sebagai pusat studi keagamaan, Yogyakarta diperkirakan memiliki catatan intoleransi agama yang tinggi.

Motif Politik Hingga Akademik

Di samping memiliki catatan ketegangan antar-agama yang cukup tinggi, Yogyakarta juga memiliki cerita-cerita kelam soal aksi kekerasan maupun vigilantisme (main hakim sendiri) yang dilakukan kelompok non-agama. Kasus-kasus semacam ini telah menjadi perhatian khusus para pengamat HAM sejak pasca-Reformasi 1998.

Mohammad Iqbal Ahnaf dan Hairus Salim dalam Krisis Keistimewaan: Kekerasan terhadap Minoritas di Yogyakarta (2017) mencatat, sekurang-kurangnya telah terjadi 71 tindak kekerasan dan aksi intoleransi di Yogyakarta dalam kurun waktu 16 tahun, yakni dari 2000 hingga 2016.

Sepanjang dekade pertama, terjadi 4 aksi vigilantisme, satu di antaranya merupakan tindak politik jalanan berupa aksi pembacokan warga saat konvoi kampanye Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Selama 6 tahun berikutnya, angka kekerasan di Yogyakarta semakin bertambah, ini belum termasuk yang berlatar motif agama.

Salah satu kasus kekerasan yang sempat menghebohkan adalah terjadinya gesekan antara sekelompok anggota Kopassus dengan para penghuni Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Sleman, Yogyakarta, pada 23 Maret 2013. Insiden ini sempat menjadi sorotan hingga ke level nasional.

Tindak kekerasan dan aksi vigilantisme di lingkungan akademik di Yogyakarta juga kerap terjadi. Aksi-aksi vigilantisme non-agama di kampus antara 2015 dan 2016 kebanyakan muncul akibat tuduhan mempromosikan komunisme. Pada 2015, misalnya, diskusi internasional tribunal soal kasus 1965 yang diselenggarakan di UIN Sunan Kalijaga sempat mendapatkan perlawanan dan intimidasi.

Tak hanya acara diskusi akademik saja, acara pemutaran film pun kerap kali kena jegal. Film Senyap yang mengulas pembantaian massal 1965-1966 dan film Pulau Buru Tanah Air Beta yang mengisahkan tahanan politik masa Orde Baru memperoleh tekanan sehingga terpaksa batal diputar.

Aksi-aksi vigilantisme non-agama yang terjadi di Yogyakarta tentunya tidak bisa dijelaskan secara sederhana. Akar permasalahan aksi kekerasan dan intoleransi yang semakin meningkat pasca-rezim Soeharto dapat dipastikan berkat guncangan politik yang turut menimpa Yogyakarta.

Baca juga artikel terkait KASUS INTOLERANSI atau tulisan lainnya dari Indira Ardanareswari

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Indira Ardanareswari
Editor: Iswara N Raditya