tirto.id - Sebuah foto bungkus plastik mi instan Indomie viral setelah diunggah ke sosial media pada Sabtu (6/4/2019) lalu. Diperkirakan, kemasan itu telah berusia 19 tahun. Tulisan “Dirgahayu 55 Tahun Indonesiaku” masih dapat dibaca di kemasan plastik lusuh yang masih utuh tersebut. Munculnya produk Indomie punya sejarah panjang di negeri ini.
Mi instan memang sangat populer di banyak negara di dunia, termasuk Indonesia. Menurut laman World Instant Noodles Association, sejak 2013, Indonesia menempati peringkat kedua negara yang paling banyak makan mi instan setelah Cina.
Inilah yang membuat volume sampah plastik bungkus mi instan di Indonesia terbilang tinggi. Meskipun mengalami penurunan dari 14,9 miliar bungkus pada 2013 menjadi 12,6 miliar bungkus pada 2017, sampah kemasan plastik mi instan masih tetap besar.
PT Indofood CBP Sukses Makmur merupakan produsen mi instan yang paling banyak dikenal di Indonesia. Melalui produk andalannya, Indomie, perusahaan yang didirikan Liem Sioe Liong alias Sudono Salim ini sudah memimpin pasar mi instan tanah air sejak 1984. Tak hanya di dalam negeri saja, melainkan juga menyasar pasar internasional.
Perjalanan Liem Sioe Liong bersama Indofood ternyata memiliki kisah panjang. Indomie, pada mulanya, bukanlah produk mi instan yang diawali oleh Liem sendiri, sebagaimana tertulis dalam buku Liem Sioe Liong dan Saling Group Pilar Bisnis Soeharto (2016) karya Richard Borsuk dan Nancy Chng (hlm. 301).
Masih mengutip buku yang sama, merek Indomie mulai muncul pada awal dekade 1970-an. Produk Indomie pertama kali dibuat oleh perusahaan Sanmaru Food Manufacturing yang didirikan oleh Djajadi Djaja, Wahyu Tjuandi, Ulong Senjaya, dan Pandi Kusuma. Pada 1972, pabrik rintisan mereka mulai beroperasi dengan menggunakan merek Indomie, singkatan dari “Indonesia Mie”.
Kerajaan Mi Instan
Masuknya Liem Sioe Liong ke industri mi instan terjadi pada akhir 1970-an. Ia mendirikan PT Sarimi Asli Jaya dengan produknya, Sarimi. Liem berharap dapat memproduksi sendiri mi instan dalam jumlah besar dengan menginvestasikan uangnya untuk membangun sarana produksi dari Jepang.
Ketertarikan Liem kepada industri mie sebenarnya dilatarbelakangi kelangkaan beras yang melanda Indonesia kala itu. Di saat yang bersamaan, tercetus gagasan dari pemerintah untuk menggantikan beras dengan tepung gandum. Pabrik penggilingan beras mulai mendapat mandat untuk mempromosikan terigu sebagai pengganti beras lewat kampanye media.
Hanya berselang beberapa tahun setelah Liem Sioe Liong memutuskan terjun ke industri mi instan, tulis Richard Borsuk dan Nancy Chng, ancaman krisis beras ternyata mulai mereda. Padahal, Liem sudah memproduksi Sarimi dalam jumlah besar. Liem lantas mulai mendekati Djajadi Djaja agar Indomie mau bermitra dengannya.
Kendati awalnya enggan, Djajadi merasa tak punya banyak pilihan dan akhirnya bersedia bekerja sama. Liem dan Djajadi kemudian membuat perusahaan patungan bernama PT Indofood Interna pada 1984. Menurut pembagian sahamnya, pihak Djajadi mengambil bagian sebesar 57,5 persen, sedangkan Liem sebesar 42,5 persen.
Hanya dalam tempo dua tahun, perusahaan ini tumbuh cukup kuat dan mengakuisisi merek mie instan lain, yakni Supermi. Saat ini, beragam mi produksi PT Indofood merajai pasar di tanah air, bahkan hingga ke mancanegara, meskipun tetap harus bersaing dengan sejumlah merek lain yang kian menambah semarak persaingan mi instan di Indonesia.
Editor: Iswara N Raditya