Menuju konten utama

Sejarah Hidup Djaduk Ferianto: Wafatnya Seniman Kebanggaan Jogja

Sebelum wafat, sejarah hidup Djaduk Ferianto -adik Butet Kertaradjasa dan putra bungsu Bagong Kussudiardja- banyak dicurahkan untuk berkesenian, khususnya seni musik.

Sejarah Hidup Djaduk Ferianto: Wafatnya Seniman Kebanggaan Jogja
Gregorius Djaduk Ferianto. instagram/ djaduk •

tirto.id - Kabar duka datang dari Yogyakarta. Djaduk Ferianto, seniman musik yang juga adik kandung Butet Kertaradjasa, meninggal dunia pada Rabu (13/11/2019) pukul 02.30 WIB dini hari. Djaduk wafat dalam usia 55 tahun akibat serangan jantung. Sejarah hidup putra bungsu Bagong Kussudiardja ini banyak dicurahkan untuk berkesenian, khususnya seni musik dan teater.

Seniman bernama lengkap Gregorius Djaduk Ferianto ini lahir di Yogyakarta tanggal 19 Juli 1964 dari pasangan maestro tari Bagong Kussudiardja dan Soetiana. Besar di lingkungan seni, jalan hidup Djaduk pun tidak jauh-jauh dari apa yang juga dilakoni ayah dan kakaknya, yakni berkesenian.

Ayah Djaduk Ferianto, Bagong Kussudiardja, adalah seniman tari legendaris Indonesia yang juga piawai melukis serta bermain seni peran. Sedangkan sang kakak, Butet Kertaradjasa, selama ini dikenal sebagai sosok seniman peran ternama tanah air yang kondang lewat aksi monolognya dan kerap muncul di layar kaca.

Sejak kecil, Djaduk menyukai pertunjukan dan cerita pewayangan, bahkan pernah bercita-cita dan sempat belajar menjadi dalang wayang kulit. Ia kemudian mengalihkan fokusnya ke ranah musik.

Dikutip dari Majalah Tempo (1994), Djaduk mendirikan Rheze pada 1978 yang kemudian meraih juara I kompetisi musik humor tingkat nasional. Berikutnya, ia menggawangi komunitas lain bernama kelompok musik kreatif Wathathitha.

Bersama Butet Kertaradjasa dan rekan sesama seniman, Purwanto, Djaduk Ferianto membentuk kelompok kesenian Kua Etnika pada 1995 yang mengembangkan musik etnik kontemporer.

Raudal Tanjung Banua dan Iman Budhi Santosa dalam Musik Puisi; Dari Istilah ke Aksi (2005) menuliskan, Djaduk Ferianto yang memahami musik dengan baik dan jago dalam mengolah campuran berbagai unsur etnik dengan dunia pop membuat Kua Etnika tampil dengan fenomena tersendiri.

Tahun 2002, Djaduk membentuk satu kelompok lagi bernama Sinten Remen untuk mewadahi pengembangan musik dangdut/keroncong kontemporer, yang dirasa kurang pas jika digawangi Kua Etnika.

Djaduk juga menekuni dunia seni peran. Bersama Butet, ia bergabung dengan Teater Gandrik yang berdiri sejak 1983 dan dirintis oleh beberapa seniman peran Yogyakarta termasuk Heru Kesawa Murti, Jujuk Prabowo, Susila Nugraha, Sepnu Heryanto, Novi Budianto, dan lainnya.

Seperti kebanyakan seniman asal Yogyakarta lainnya, Djaduk tetap mempertahankan “kelokalannya” kendati ia memperoleh banyak job di Jakarta atau daerah-daerah lain, bahkan sering diundang tampil ke luar negeri. Djaduk, juga Butet, tetap bertahan sebagai “orang lokal”, tidak menetap di Jakarta.

Djaduk pernah pula turut ambil bagian dalam beberapa judul film layar lebar, seperti Petualangan Sherina (2000), Koper (2006), Jagad X Code (2009), dan Cewek Saweran (2011).

Wafatnya Djaduk Ferianto sontak mengejutkan banyak pihak. Sebelumnya, ia masih beraktivitas seperti biasa. Bahkan, beberapa jam sebelum meninggal, Djaduk sempat memimpin rapat persiapan pagelaran musik Ngayogjazz 2019.

Lama usia manusia memang tidak ada yang tahu. Kini, Djaduk Ferianto telah dipanggil untuk menghadap Tuhan Yang Maha Kuasa dan meninggalkan duka mendalam bagi semesta kesenian tanah air. Selamat jalan, maestro!

Diskografi Djaduk Ferianto

Orkes Sumpeg Nang Ning Nong (bersama Kua Etnika,1997)

Ritus Swara (bersama Kua Etnika, 2000)

Parodi Iklan (bersama Orkes Sinten Remen, 2000)

Komedi Putar (bersama Orkes Sinten Remen, 2002)

Janji Palsu (bersama Orkes Sinten Remen, 2003)

Maling Budiman (bersama Orkes Sinten Remen, 2006)

Dia Sumber Gembiraku (Lagu Rohani, 2006)

Pata Java (bersama Kua Etnika dan Pata Master Jerman)

Baca juga artikel terkait BERITA DUKA atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Agung DH