tirto.id - Pada 1968 seorang pria bernama Hamida Djandoubi pergi meninggalkan tanah airnya, Tunisia, untuk menetap di Marseille, Perancis.
Tanpa latar belakang keahlian yang memadai, pria yang lahir pada 22 September 1949 itu kemudian bekerja serabutan. Semula ia menjadi pelayan di sebuah toko grosir. Tiga tahun berikutnya, Djandoubi memulai pekerjaan baru sebagai penata taman. Nahasnya, pekerjaan itu membuatnya mengalami kecelakaan serius yang menyebabkan nyaris separuh kaki kanannya diamputasi.
Dua tahun kemudian, ketika kondisinya telah membaik, Djandoubi tanpa disangka terlibat kasus kriminal yang amat serius. Élisabeth Bousquet, mantan pacarnya yang berusia 21, melaporkan Djandoubi ke pihak berwajib karena merasa telah dipaksa menjadi pelacur oleh pria tersebut. Djandoubi pun sempat ditahan sebelum akhirnya dibebaskan kembali pada musim semi 1973.
Namun, bukannya kapok, Djandoubi justru mencari dua gadis lain juga untuk dipaksa “bekerja” dengannya. Bahkan, pada 3 Juli 1974, ia juga menculik Bousquet karena masih diselimuti dendam akibat pernah dilaporkan ke pihak berwajib. Ia membawa mantan pacarnya tersebut ke sebuah rumah tempat dua gadis sebelumnya disekap.
Di rumah itu, Djandoubi menyiksa Bousquet habis-habisan: selain dipukuli, payudara dan alat genitalnya disundut rokok, sebelum akhirnya ia dibunuh dengan cara dicekik. Mayatnya lalu dibuang di sebuah gudang tak terpakai di pinggiran Marseille. Sekembalinya ke rumah tadi, Djandoubi turut mengancam dua gadis yang ia sekap agar tidak berbicara macam-macam mengenai apa yang telah mereka lihat.
Mayat Bousquet baru ditemukan pada 7 Juli 1974 oleh seorang bocah laki-laki. Djandoubi akhirnya ditangkap kembali setelah seorang gadis yang ia culik berhasil melarikan diri lalu melaporkannya ke polisi. Melalui proses persidangan yang panjang, pria tersebut akhirnya dinyatakan bersalah dengan tuduhan pembunuhan, penyiksaan, pemerkosaan, serta kekerasan.
Pada 25 Februari 1977, pengadilan mendakwa Djandoubi dengan hukuman mati. Adapun seluruh banding yang diajukan pengacaranya ditolak. Pada 10 September 1977, tepat hari ini 42 tahun lalu, Djandoubi menjalani eksekusi hukumannya penjara Baumettes, Marseille pada pukul 04.40.
Kepalanya dipancung menggunakan guillotine.
Alat Eksekusi Mati Paling Manusiawi
Djandoubi kelak tercatat sebagai orang terakhir yang dihukum mati menggunakan guillotine. Sebelumnya alat ini paling sering digunakan selama Revolusi Perancis. Adapun penggagas metode pemenggalan dengan alat tersebut adalah seorang dokter bernama Joseph-Ignace Guillotin.
Guillotin sejatinya seorang yang menentang hukuman mati. Namun, karena ia tahu bahwa pendapatnya bertentangan dengan opini publik kala itu, ia menggagas agar hukuman mati dilakukan dengan cara lain.
Jika sebelumnya eksekusi mati di Eropa dilakukan dengan cara digantung atau ditembak, Guillotin menyodorkan metode berbeda: pemenggalan kepala. Kendati lebih mengerikan, menurutnya metode tersebut jauh lebih manusiawi, sebab terpidana mati tidak perlu merasakan sakit yang terlalu lama
Gagasan tersebut kemudian ditanggapi serius oleh pihak kerajaan. Sebuah komite pun dibentuk di bawah kepemimpinan Antoine Louis, dokter sekaligus seorang ahli bedah kepercayaan para petinggi. Prototipenya lantas dikerjakan oleh Jean Laquiante, perwira pengadilan kriminal di Strasbourg bersama Tobias Schmidt, insinyur dan pembuat clavichord—sejenis piano yang mulai digunakan di Eropa sejak akhir Abad Pertengahan.
Dapat dikatakan, guillotine adalah bentuk penyempurnaan dari ragam alat pancung lain yang lebih dulu diciptakan di beberapa negara Eropa lainnya. “Fallbeil”, misalnya, yang kurang lebih berarti “kapak terempas”, pernah digunakan di Jerman dan Flanders pada Abad Pertengahan, “Halifax Gibbet” di Inggris, serta dua alat eksekusi di era Renaisans yakni “Mannaia” dari Italia dan “Maiden” di Skotlandia.
Guillotine secara resmi digunakan pertama kali pada 25 April 1792. Korbannya adalah Nicolas Jacques Pelletier, petugas jalan raya yang terlibat banyak kasus perampokan, pembunuhan, hingga pemerkosaan. Jacob Augustin Moreau adalah hakim yang menjatuhi hukuman mati kepada Pelletier pada 31 Desember 1791.
Dianggap Terlalu Efektif
Orang yang ditugaskan untuk mengeksekusi Pelletier adalah algojo senior bernama Charles Henri Sanson. Karena pertama kali menggunakan guillotine, Charles sempat “berlatih” terlebih dahulu dengan menggunakan tubuh beberapa mayat di Rumah Sakit Bicêtre. Charles ternyata lebih menyukai guillotine daripada memenggal kepala orang dengan pedang seperti eksekusi lain yang biasa ia lakukan.
Eksekusi Pelletier sebelumnya sempat ditunda karena pemerintah belum satu suara mengenai penggunaan guillotine. Namun, perdebatan itu akhirnya selesai setelah Majelis Nasional menerbitkan dekrit persetujuan pada 23 Maret 1792. Eksekusi Pelletier ditetapkan sebulan kemudian pada 25 April 1792 dan bertempat di luar Hôtel de Ville di Place de Grève, lokasi tempat biasa eksekusi dilakukan selama masa pemerintahan Raja Louis XV.
Pierre Louis Roederer, ahli hukum di pemerintahan Perancis kala itu, memperkirakan bakal banyak orang hadir untuk menonton eksekusi Pelletier karena penasaran dengan guillotine. Ia lalu menulis surat kepada Jenderal Lafayette agar pasukannya menjaga keamanan dengan lebih ketat. Dan benar saja, pelataran Hôtel de Ville di Place de Grève sesak oleh ratusan orang.
Eksekusi berlangsung pada pukul 15.30 waktu sempat. Memakai kemeja merah, Pelletier dituntun dua orang pengawal ke perancah. Charles selaku algojo segera bergerak tangkas menyiapkan semuanya, terutama dalam memosisikan Pelletier dengan benar agar eksekusi berjalan lancar. Kerumunan massa telah menunggu dengan takzim.
Lalu adegan bersejarah itu pun dimulai: cukup sepersekian detik saja, guillotine yang juga dicat dengan warna merah itu memancung kepala Pelletier dengan sempurna.
Namun, yang mengejutkan adalah mayoritas orang yang menonton eksekusi tersebut ternyata merasa kecewa. Mereka merasa eksekusi tersebut terlalu cepat dan tidak “menghibur” sebagaimana metode terdahulu, seperti digantung, dipenggal dengan pedang, atau cara lain yang juga jadi favorit khalayak kala itu, “Catherine Wheel”.
Dalam metode “Catherine Wheel”, tulis Guardian, para penjahat diikat ke roda bergigi besar dengan tangan dan kaki terentang. Roda tersebut kemudian diputar, sementara algojo menghancurkan anggota tubuh terdakwa dengan palu besi dan batang logam lainnya sampai tulang-tulang mereka lalu mati perlahan.
Sebelum membubarkan diri, massa sempat meluapkan kekecewaannya dengan berteriak: “Kembalikan tiang kayu kami!”
Simbol Kemenangan Rakyat dalam Revolusi Perancis
Dalam sejarah panjang Perancis, guillotine juga dianggap menjadi salah satu simbol kemenangan rakyat atas kesewenang-wenangan kerajaan.
Sebermula akibat lonjakan utang kerajaan untuk pembiayaan perang dan kegagalan panen pada 1788, anggaran kerajaan Perancis mengalami defisit 20% di awal 1789. Untuk mencari solusi persoalan ini, pada Mei 1789 raja Louis XVI, yang kharismanya kala itu telah menurun drastis, memanggil États Généraux (parlemen rakyat) untuk bersidang.
Alih-alih menemukan solusi, Louis XVI justru memecat Menteri Keuangan Jacques Necker pada 11 Juli 1789 karena dianggap terlalu berpihak kepada kepentingan rakyat. Ia juga memecat para pejabat lain dengan alasan serupa seperti Puységur, Armand Marc, La Luzerne, dan Saint-Priest. Pemecatan massal ini sejatinya adalah upaya Louis XVI membentuk struktur pemerintahan baru yang memihak kepadanya.
Berita pemecatan Necker dan pejabat lain dengan cepat tersebar sehari setelahnya. Di luar, Camille Desmoulins dan Georges Danton, dua orang orator jalanan yang disegani, dengan sigap terus meyakinkan massa agar mulai berani melawan dan bersiap-siap seandainya kerusuhan besar terjadi. Dan benar saja, ribuan orang mulai turun ke jalan dengan secuat rumor: mereka akan menyerbu penjara Bastille.
Mendengar rumor tersebut, Bernard René Jourdan, komandan utama penjara Bastille, menginstruksikan bawahannya untuk memperkuat amunisi dengan tambahan 250 barel mesiu. Namun, ketika massa aksi yang terdiri dari para sans-cullotes (golongan ketiga dalam hierarki masyarakat Perancis) mulai menyerbu Hôtel des Invalides dan penjara Bastille keesokan harinya, 14 Juli 1789, Jourdan dan pasukannya tak berdaya. Ia kemudian dibunuh dan kepalanya diarak keliling kota.
Peristiwa penyerbuan penjara Bastille tersebut menjadi penanda dimulainya Revolusi Perancis dan berakhirnya ancien régime. Empat tahun berikutnya, kemenangan rakyat Perancis semakin sahih ketika Louis XVI dan istrinya, Marie-Antoinette, berhasil ditangkap lalu dieksekusi mati di hadapan massa yang memadati Place de la Concorde, Paris.
Louis XVI dieksekusi terlebih dahulu pada 21 Januari 1793. Sembilan bulan kemudian, pada 16 Oktober 1793, Marie-Antoinette menyusul takdir suaminya. Kedua pasangan ini sama-sama dieksekusi dengan guillotine. Sejak itu, ide-ide usang yang berhubungan dengan monarki, aristokrat, dan gereja Katolik segera digantikan oleh prinsip baru: Liberté, égalité, fraternité.
Pada September 1981 Perancis akhirnya menghapus hukuman mati. Dan sejak itu pula fungsi guillotine berubah menjadi artefak belaka.
Editor: Ivan Aulia Ahsan