Menuju konten utama

Sejarah Gisaeng, Seniman Penghibur di Drakor The Tale of Nokdu

Gisaeng diartikan sebagai seniman perempuan yang sangat terlatih di era Korea kuno untuk menghibur para laki-laki dengan tarian, musik, percakapan, hingga puisi.

Sejarah Gisaeng, Seniman Penghibur di Drakor The Tale of Nokdu
Ilustrasi Gisaeng. foto/istockphoto

tirto.id - Aktris Kim So Hyun yang berperan sebagai Dong Dong Joo dalam drama Korea terbaru berjudul The Tale of Nokdu di KBS2 digambarkan sebagai anak perempuan yang sedang dilatih untuk menjadi gisaeng profesional.

Gisaeng adalah wanita penghibur di era kerajaan Goryeo, kerajaan Joseon hingga pendudukan kolonial Jepang di Korea Selatan. Ketika memikirkan gisaeng, sebagian besar kita mungkin membayangkan kehidupan pelacur yang elegan di era pra-modern, tetapi sejarah mereka tampaknya lebih menarik lagi.

Gisaeng dalam drama Korea digambarkan sebagai perempuan-perempuan cantik dengan pakaian mewah dari sutera dan rambut disanggul tinggi.

Sebagaimana dikutip ThoughtCo, gisaeng juga dikenal sebagai “Flowers that speak poetry”. Gisaeng diartikan sebagai seniman perempuan yang sangat terlatih di era Korea kuno untuk menghibur para laki-laki dengan tarian, musik, percakapan, hingga puisi.

Gisaeng yang sangat terampil bisa saja ditugaskan di istana kerajaan, sementara, yang lain bekerja di rumah-rumah untuk melayani para laki-laki atau cendekiawan. Beberapa gisaeng juga dilatih di bidang lainnya, seperti gisaeng peringkat terendah yang juga bisa berfungsi sebagai pekerja seks atau pelacur.

Sejarah Gisaeng

Jika ditelisik lagi, kemewahan dan keindahan yang terkait dengan gisaeng mungkin paling berkaitan dengan perspektif tradisional, dan mungkin dimulai dengan lukisan terkenal Sin Yun Bok pada abad ke-18, yang semakin ditingkatkan dengan penggambaran gisaeng yang berbunga-bunga selama era modern.

Asal-usul gisaeng sendiri telah ada sejak zaman dulu, dan peran mereka dalam pembangunan sosial dan budaya di negara saat itu sangat signifikan, hingga ke periode paling baru.

Sebagaimana dilansir The Korea Times, gisaeng berasal dari Kerajaan Goryeo awal (tahun 1935-1392), dan sampai abad ke-20. Identitas utama mereka adalah sebagai pegawai pemerintah, bukan dalam artian sebagai pegawai negeri.

Sejak awal, status sosial gisaeng yang rendah terkait erat dengan "tugas resmi" mereka untuk menyediakan hiburan bagi pejabat pemerintah dan para tamu mereka, dari pertunjukan artistik hingga layanan seksual.

Pada awal kerajaan Joseon, gisaeng yang paling terkenal adalah Hwang Jini, dari Gaeseong (atau Songdo), bekas ibukota Goryeo, yang terkenal karena kecantikannya dan puisi yang sangat menggugah.

Banyak dari puisi-puisi Hwang Jini bertahan hingga hari ini, dan puisi tersebut berbicara dengan kuat pada perspektif dan keprihatinan yang mungkin dimiliki oleh sebagian besar gisaeng, termasuk alam, kesedihan, keindahan, dan tentu saja cinta romantis.

Pelembagaan lebih lanjut dari peran gisaeng sebagai penyedia "layanan" secara turun-temurun untuk pemerintah mulai berkembang seiring dengan peran penting mereka sebagai penyalur budaya Korea dalam hal musik, tarian, dan sastra.

Memang hal tersebut menjadikan gisaeng memiliki tugas kombinasi yang agak aneh dan kontradiktif. Sehingga menempatkan mereka pada posisi sosial yang ganjil pula.

Gisaeng adalah perempuan yang siap berinteraksi dengan para petinggi yang paling berkuasa, tetapi mereka juga biasanya diperlakukan sebagai perempuan yang status sosialnya nyaris di atas budak.

Faktanya, gisaeng adalah budak, dalam arti bahwa mereka jarang bisa lepas dari status kelahiran rendah tersebut. Mereka juga budak seksual, karena peran mereka sebagai selir bagi kaum bangsawan dan laki-laki istimewa lainnya. Sangat sedikit anak-anak dari serikat seksual ini, dengan ayah yang termasuk dalam status sosial paling atas dan ibu yang berasal dari kalangan masyarakat paling bawah dapat lolos dari perbudakan ini, walaupun mungkin banyak dari mereka yang telah mencobanya.

Hal itu mungkin adalah elemen penting yang mendasari terciptanya kisah rakyat paling terkenal di Korea, "Tale of Chunhyang." Kisah ini sering diterima sebagai representasi besar dari budaya tradisional Korea, tetapi juga melambangkan peran ganda, kontradiktif, dan kemungkinan menyakitkan yang dimainkan oleh para gisaeng.

Dalam cerita tersebut, Chunhyang adalah putri dari mantan hakim daerah yang berasal dari kabupaten Namweon, provinsi Jeolla dan ibunya seorang gisaeng lokal. Tidak ada yang aneh dengan status sosial seperti itu, karena ada ribuan gadis seperti Chunhyang di dunia nyata. Tetapi dalam cerita ini, Chunhyang digambarkan sebagai gadis yang cantik dan menikah dengan seorang lelaki bangsawan.

Hal tersebut dilakukan Chunhyang sebab ia ingin mengatakan kepada para hakim lain bahwa dirinya bukan gisaeng seperti ibunya. Tidak seperti kebanyakan anak perempuan dari serikat semacam itu yang dalam kehidupan nyata memang menjadi gisaeng. Memang, persatuan perkawinan antara gisaeng dengan seorang bangsawan sangat tidak mungkin terjadi dalam masyarakat Joseon yang sebenarnya.

Tale of Chunhyang akhirnya menjadi sebuah cerita rakyat yang ditransmisikan melalui tradisi lisan, dan menjadi cerita teks sebagai naskah dalam opera pansori, dan kemudian "dimodernisasi" sebagai cerita pendek melalui pencetakan massal pada awal abad ke-20.

kisah itu tumbuh dan membangkitkan berbagai macam perspektif, baik sastra maupun populer, pada detail cerita dan tujuannya untuk memahami posisi gisaeng dalam masyarakat dan budaya Korea.

Sementara itu, gisaeng sendiri menjadi sebuah asosiasi yang modern, karena mereka mengorganisir diri menjadi asosiasi yang bekerja di negara modern, termasuk dari pemerintahan kolonial Jepang (1910-1945). Apa yang dihasilkan saat itu adalah sistem pelacuran berlisensi yang memperluas, dalam bentuk yang dimodifikasi, hubungan adat antara kepatuhan perempuan, yakni "layanan publik” dan pelacuran.

Hal tersebut tentu berhubungan dengan apa yang disebut sebagai sistem "wanita penghibur" serta perbudakan seksual yang dilembagakan oleh kekaisaran Jepang dalam Perang Dunia II.

Setelah Korea Selatan merdeka pada tahun 1945, gisaeng (meskipun bukan "wanita penghibur") menghilang dari keberadaan dan praktik formal. Tapi Tale of Chunhyang dan artefak budaya lainnya yang berhubungan dengan gisaeng mengalami pencitraan ulang dalam budaya populer melalui film, televisi, dan pertunjukan teater.

Baik di Korea Utara dan Selatan, pekerja seks ini memenangkan status mereka sebagai simbol nasional. Tarian rumit dan pertunjukan musik yang dikembangkan dan ditransmisikan secara kolektif oleh para gisaeng kemudian ditampilkan sebagai salah satu ekspresi budaya tradisional Korea yang paling dicintai, seperti halnya lukisan-lukisan indah Sin Yun Bok juga bergabung dengan jajaran harta artistik nasional.

Semua perkembangan yang terjadi pada gisaeng menjadi sebuah representasi berkilauan dari cerita rakyat Korea, seni dan cinta romantias.

Di Namweon, sebuah lokasi dongeng rakyat bahkan membangun sebuah taman bertema Chunhyang, di mana orang dapat melihat tempat-tempat terkenal yang disebutkan dalam cerita rakyat tersebut dan meyakini bahwa dunia mempesona para gisaeng adalah nyata.

Baca juga artikel terkait DRAMA KOREA atau tulisan lainnya dari Maria Ulfa

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Maria Ulfa
Penulis: Maria Ulfa
Editor: Yulaika Ramadhani