tirto.id - Gempa bumi berkekuatan magnitudo 7,4 pada Jumat (2/8/2019) pukul 19.03 WIB malam mengguncang Banten, terasa hingga Jakarta serta sebagian Jawa dan Sumatera. Sejarah mencatat, jauh sebelumnya, yakni tanggal 5 Januari 1699, fenomena alam serupa juga pernah terjadi.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyatakan pusat gempa yang berlangsung Jumat malam lalu berada di 147 km Barat Daya Sumur-Banten dengan kedalaman 10 kilometer. BMKG juga sempat mengeluarkan peringatan dini potensi tsunami sebelum diakhiri pada jam 21.35 WIB.
“Hasil analisis mekanisme sumber menunjukkan bahwa gempa ini dipicu penyesaran oblique yaitu kombinasi gerakan mendatar dan naik,” jelas Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, dalam konferensi pers di Jakarta.
“Jadi [masyarakat] tetap tenang, namun waspada dan juga diimbau agar tidak terpengaruh oleh isu yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya," imbuhnya.
Sementara itu, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) mencatat bahwa wilayah yang berdekatan dengan pusat gempa bumi pada Jumat malam adalah pesisir selatan Banten, Jawa Barat, dan Lampung.
“Berdasarkan lokasi pusat gempa bumi dan kedalamannya, gempa bumi berasosiasi dengan aktivitas penunjaman Lempeng Indo-Australia ke bawah Lempeng Eurasia," demikian keterangan PVMBG.
Sejarah Gempa Bumi 1699
Tanggal 5 Januari 1699, saat Nusantara masih diduduki VOC-Belanda yang kala itu dipimpin oleh Gubernur Jenderal Willem van Outhoorn (1691-1704), Batavia dan sekitarnya diguncang gempa bumi yang cukup besar.
Penelitian berjudul “Indonesia’s Historical Earthquakes” dalam Geoscience Australia (2015) yang disusun Jonathan Griffin dan kawan-kawan menyebutkan, gempa pada 1699 ini merupakan gempa bumi bersejarah yang paling signifikan pada abad ke-17.
Anthony Reid lewat buku Historical Evidence for Major Tsunamis in the Java Subduction Zone (2012) menuliskan bahwa guncangan saat itu lebih besar dan kuat dibandingkan dengan gempa bumi yang pernah terjadi.
Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang disajikan dalam makalah bertajuk “Palaeotsunami, Interdisciplinary Study of The South Java Giant Tsunami” (2017), gempa ini terjadi ketika Batavia diguyur hujan deras pada pukul 01.30 dini hari.
Di Bantam (Banten) dan sebagian daerah di Jawa bagian barat lainnya, termasuk Buitenzorg (Bogor) dirasakan gempa susulan pada pukul 06.00 pagi, demikian pula masyarakat di Lampong (Lampung) dan sekitarnya yang juga merasakan guncangan yang cukup besar.
Perkiraan Penyebab Gempa
Pusat gempa bumi pada 5 Januari 1699 itu memang belum bisa dipastikan, ada pendapat yang memperkirakan gempa tersebut berpusat di suatu tempat antara Cisalak hingga Lampung.
Perkiraan lainnya, gempa bumi terjadi akibat tumbukan Lempeng Indo-Australia dan Eurasia yang termasuk dalam Zona Megathrust. Zona ini sudah terbentuk berjuta-juta tahun yang lalu.
Menurut Peta Sumber Gempa Nasional (2017), ada tiga lokasi di Jawa yang berpotensi menimbulkan gempa bumi besar dalam Zona Megathrust, yakni Selat Sunda, pesisir selatan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah, serta segmen Jawa Timur hingga Bali.
Selain itu, ada perkiraan lain yang juga bisa menjadi salah satu penyebab gempa bumi yang melanda Batavia, Banten, hingga Lampung tersebut, yakni meletusnya Gunung Salak di Bogor pada malam tanggal 4 Januari 1699 atau beberapa saat sebelum gempa terjadi.
Akibat erupsi yang disusul gempa itu, lereng Gunung Salak mengalami longsor yang cukup parah dan menimpa aliran sungai sehingga mengganggu akses transportasi serta ketersediaan air bersih di Batavia dan sekitarnya.
Reid dalam bukunya mencatat, puluhan rumah dan gedung serta lumbung di Batavia rusak, juga 28 orang tidak ditemukan. Kerugian dialami pula di Lampung, Banten, Bogor, serta beberapa tempat di Jawa Barat dan Sumatera.
Penulis: Rachma Dania & Iswara N Raditya
Editor: Abdul Aziz