Menuju konten utama

Kontroversi Letusan Gunung Salak Tahun 1699

Gunung Salak pernah disebut meletus pada 1699, akan tetapi kabar itu dibantah setelah dilakukan penyelidikan dan penelitian.

Kontroversi Letusan Gunung Salak Tahun 1699
Pemandangan gunung Salak dari Buitenzorg, kini dikenal sebagai Bogor; 1885. FOTO/Wikicommon

tirto.id - Darwin Volcanic Ash Advisory Centre (VAAC) memperingatkan bahwa Gunung Salak akan meletus pada Rabu (10/10/2018) dan berpotensi mengganggu penerbangan. Gejala erupsi Gunung Salak, sebut biro informasi vulkanik yang bermarkas di Australia ini, ditengarai karena munculnya asap setinggi 50.000 kaki dari puncak.

Kabar erupsi Gunung Salak yang berada di wilayah Kabupaten Bogor dan Sukabumi ini tak pelak sempat menimbulkan kepanikan. Sejumlah penerbangan dari Bandara Sukarno-Hatta dibatalkan. Beberapa pesawat yang seharusnya mendarat terpaksa harus berputar balik.

Pihak-pihak terkait langsung bertindak untuk mengonfirmasi kebenaran peringatan dari Darwin VAAC itu. Ternyata, kabar tersebut tidak benar. Salah satunya ditegaskan Sutopo Purwo Nugroho dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

“Berdasarkan pengamatan visual, instrumentasi, dan observasi lapangan, PVMBG menyatakan bahwa Gunung Salak tidak meletus. Aman dan tenang,” tegas Sutopo melalui akun Twitter-nya.

VAAC sendiri kemudian menyatakan false alarm dan mencabut peringatannya terkait erupsi Gunung Salak. Dikutip dari cuitan Indoflyer.net yang mencermati kejadian ini, false alarm adalah keadaan yang secara statistik bisa dikatakan positif, tetapi tidak real dalam kenyataannya.

Tugas VAAC memang wajib mengeluarkan peringatan sedini mungkin untuk stakeholder penerbangan jika citra satelit menunjukkan gejala letusan pada suatu gunung dan pihak berwenang terkait vulkanologi tidak memberikan notifikasi dalam waktu kurang dari 10 menit.

Ternyata, bukan sekali ini saja Gunung Salak memantik kehebohan sekaligus bikin terkecoh. Pada 1699, hal nyaris serupa juga pernah terjadi. Gunung Salak dilaporkan erupsi. Namun, beberapa hasil penelitian membantahnya.

Erupsi Gunung Salak 1699

Gunung Salak disebut telah meletus pada awal tahun 1699, tepatnya tengah malam menjelang tanggal 5 Januari. Banyak referensi yang mengutip keyakinan ini, termasuk yang tercantum dalam Data Dasar Gunung Api Indonesia(Edisi Kedua) yang disusun oleh Badan Geologi pada 2011.

Dikutip dari tulisan T. Bachtiar bertajuk “Gunung Salak Tidak Meletus Tahun 1699” yang dimuat dalam Pikiran Rakyat (2018), data dari Badan Geologi itu menyebutkan: “Tahun 1668-1699 terjadi erupsi samping dan erupsi normal, erosi yang merusak lingkungan di Gunung Salak II. Erupsi berupa letusan magmatik.”

Salah satu tulisan yang terhimpun dalam jurnal Duta Rimba (1999) terbitan Perum Perhutani juga menyebut Gunung Salak erupsi pada 1699 (hlm. 50). Letusan tersebut menghasilkan lahar dingin yang mendangkalkan sejumlah sungai di wilayah Jawa Barat yang mengalir sampai ke Batavia (Jakarta), termasuk Sungai Ciliwung.

Buku Gagalnya Sistem Kanal: Pengendalian Banjir Jakarta dari Masa ke Masa (2010) yang ditulis Restu Gunawan mengungkapkan, aliran lahar Gunung Salak—juga dari Gunung Gede dan Pangrango—menyebabkan pengendapan lumpur sungai yang nantinya membentuk Teluk Jakarta. Setelah Gunung Salak meletus pada 1699, lanjutnya, garis batas pantai bergeser 75 meter ke arah laut tiap tahun.

Tulisan Gunawan selaras dengan paparan Abdoel Raoef Soehoed dalam buku Banjir Ibukota: Tinjauan Historis dan Pandangan ke Depan (2002). Soehoed bahkan menuliskan bahwa letusan Gunung Salak tahun 1699 membuat Kota Batavia terkena hujan abu, juga dilanda arus lumpur yang besar (hlm. 27).

Referensi yang lebih tua, The Malay Archipelago (1869) karya Alfred Russel Wallace, tidak menyebut secara jelas apakah Gunung Salak memang mengalami erupsi pada 1699 itu. Wallace hanya menuliskan telah terjadi “letusan lumpur besar” dan meyakini setelah itu Gunung Salak sudah tidak aktif lagi (hlm. 174).

Ternyata Bukan Meletus?

Apakah Gunung Salak benar-benar telah meletus pada 1699 itu? Saleh Danasasmita dalam buku Sejarah Bogor (1983) menuliskan bahwa Gunung Salak meletus dengan iringan gempa bumi yang sangat kuat (hlm. 84).

Namun, catatan resmi pemerintah kolonial Hindia Belanda tidak menyebut Gunung Salak mengalami erupsi. Laporan J.A. van der Chijs dalam Nederlandsch-Indisch Plakaatboek 1602-1811 (1886) menuliskan bahwa yang terjadi adalah gempa bumi, bukan letusan gunung.

Van der Chijs mencatat: “Dataran tinggi antara Batavia dengan Cisadane, di belakang bekas keraton raja-raja yang disebut Pakuan, yang semula berupa hutan besar, setelah terjadi gempa bumi, berubah menjadi lapangan luas dan terbuka, sama sekali tidak ada pepohonan.”

Lereng Gunung Salak memang pernah menjadi lokasi pembangunan istana Kerajaan Pakuan atau Pajajaran. Mitosnya, Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi ( 1482-1521) moksa di area gunung ini untuk menghindari kejaran pasukan yang dipimpin putranya, Raden Kian Santang.

Gunung Salak konon juga menjadi asal-muasal peradaban orang Sunda. Di lereng gunung ini, pada abad ke-2 Masehi pernah berdiri Kerajaan Salakanagara yang diyakini sebagai kerajaan Sunda tertua di Nusantara (Halwany Michrob, dkk., Catatan Masa Lalu Banten, 1993:33). Nama Gunung Salak disebut-sebut berasal dari kata Salakanagara.

Untuk menyelidiki apa yang terjadi di Gunung Salak pada 1699, otoritas Belanda di Batavia mengirimkan tim khusus yang dipimpin Ram dan Coops. Ekspedisi ini, sebut Frederik de Haan dalam Priangan, de Preanger-regentschappen Onder het Nederlandsch Bestuur tot 1811 (1911) dilakukan pada 1701.

Ram dan Coops melaporkan, tidak terdapat laporan serius tentang nasib penduduk di sepanjang Sungai Ciliwung. Jika benar Gunung Salak meletus dan mengalirkan lahar dingin dalam jumlah besar, tentunya akan mengakibatkan kerusakan parah terhadap desa-desa di sekitar sungai itu, juga berpotensi menelan korban jiwa.

Infografik Sejarah gunung salak

Apabila memang terjadi terjangan lahar dingin, tulis Danasasmita (1983), diperkirakan banjir bebatuan itu ambles ke dalam tanah yang terbelah di antara Sungai Ciliwung dan Cisadane, yang kemudian menyebabkan Batavia dilanda banjir.

T. Bachtiar dalam artikel “Guguran Puing dari Gunung Salak” (Pikiran Rakyat, 2018) cenderung meyakini bahwa apa yang terjadi pada 1699 itu bukan letusan, melainkan debris avalanche atau guguran puing. Puing-puing di lereng gunung longsor dan berguguran akibat diguncang gempa bumi kemudian membentuk lembah besar dan dalam, sebagaimana laporan van der Chijs.

Riset terbaru Christopher J. Harpel, peneliti dari Earth Observatory of Singapore, yang dilakukan tahun 2015, mengakui bahwa Gunung Salak memang pernah beberapa kali meletus, tapi bukan pada 1699. Erupsi terjadi pada 1688, 1761, 1780, 1902, 1903, 1919, 1923, 1929, 1935, 1936, dan terakhir 1938.

Menurut Harpel, kandungan batu apung dalam deposit aliran guguran puing di Gunung Salak tahun 1699 terlalu sedikit. Ini menyiratkan, dikutip dari Bachtiar, bahwa tidak pernah terjadi letusan yang berbarengan dengan guguran puing.

Jauh sebelumnya, Verbeek dan Fennema dalam laporan bertajuk “De Salak” (1896) dengan lebih tegas menyatakan: “Letusan Gunung Salak pada tahun 1699 tidak terjadi sehingga harus dicoret dari daftar gejala letusan gunung api.”

Lantas, mana yang benar? Apakah Gunung Salak benar-benar erupsi atau tidak pada 1699 itu? Hal ini masih menjadi perdebatan, bahkan terus diteliti meskipun sudah berlalu beratus-ratus tahun silam.

Terkadang, bisa saja terjadi gejala atau peristiwa mirip letusan seperti pada 1699 atau 2018 lalu. Yang jelas, kewaspadaan dan pemantauan harus selalu dilakukan karena sampai saat ini Gunung Salak masih tercatat sebagai gunung api aktif meskipun terakhir diketahui erupsi sudah cukup lama.

Baca juga artikel terkait GUNUNG SALAK atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Windu Jusuf

Artikel Terkait