tirto.id - Sejarah Black Monday kembali mencuat setelah bursa saham yang merosot dalam beberapa pekan terakhir. Peristiwa ini mirip dengan Black Monday yang terjadi pada 1987. Peristiwa ini merujuk pada kehancuran pasar saham yang terjadi pada 19 Oktober 1987, yang mengakibatkan penurunan tajam dalam indeks saham di seluruh dunia.
Kondisi pasar yang tidak menentu dan penurunan besar-besaran ini kembali mengingatkan kita akan sejarah Black Monday dan juga mengarah pada isu tarif oleh Presiden AS, Donald Trump.
"Saya tidak ingin terjadi apa-apa, tetapi terkadang Anda harus minum obat untuk menyembuhkan sesuatu dan kita mengalami hal yang mengerikan. Kita telah diperlakukan dengan sangat buruk oleh negara lain karena kita memiliki pemimpin yang bodoh yang membiarkan hal ini terjadi," ujar Trump dikutip abcnews.
Donald Trump menegaskan ia harus mengambil langkah berani dengan menerapkan tarif impor resiprokal ke sejumlah negara. Meski demikian, kebijakan itu memicu kekhawatiran akan potensi fenomena Black Monday yang akan terulang kembali.
Kenapa Black Monday Dikaitkan dengan Tarif Trump?
Jim Cramer, tokoh TV Amerika dan analis pasar menyatakan bahwa kebijakan tarif yang diterapkan oleh Presiden Donald Trump selama masa pemerintahannya dapat memperburuk kondisi pasar dan berpotensi memicu peristiwa yang mirip dengan Black Monday 1987.
Selama masa pemerintahan Trump, kebijakan tarif yang dikenakan terhadap negara-negara seperti Tiongkok dan Uni Eropa memicu ketegangan perdagangan internasional. Sebagai akibatnya, banyak investor yang merasa cemas dan mulai menjual saham mereka, yang dapat menyebabkan penurunan tajam di bursa saham.
"Jika Presiden tidak mencoba menjangkau dan memberi penghargaan kepada negara-negara dan perusahaan-perusahaan yang bermain sesuai aturan, maka skenario 1987 bisa terulang lagi," kata Jim Cramer dalam program acara Mad Money yang tayang di CNBC pada 2 April 2025 lalu.
Peringatan ini bahkan disebut sebagai “bloodbath,” yang merujuk pada keadaan pasar yang sangat bergejolak dan berisiko tinggi. Pentingnya pemahaman terhadap kebijakan tarif Trump ini adalah karena dampaknya yang luas terhadap ekonomi global.
Jika ketegangan perdagangan antara negara-negara besar terus berlanjut atau semakin intens, tidak hanya sektor saham yang bisa terpukul, tetapi juga sektor-sektor ekonomi lainnya. Hal ini membuat para analis dan ekonom memperingatkan potensi dampak yang sangat besar, mirip dengan kehancuran yang terjadi pada Black Monday 1987.
Sejarah Black Monday 1987
Black Monday 1987 adalah salah satu hari terburuk dalam sejarah pasar saham global. Pada 19 Oktober 1987, indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) jatuh lebih dari 22% dalam satu hari, yang merupakan penurunan terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah pasar saham Amerika Serikat pada saat itu.
Kejadian ini menimbulkan kegemparan di pasar finansial dan memberi dampak besar pada perekonomian global. Berbagai faktor digadang-gadang sebagai penyebab jatuhnya pasar saham pada hari tersebut. Ada yang mengatakan bahwa Black Monday merupakan kasus ketakutan yang mengalahkan keserakahan.
Ada juga yang mengklaim penyebabnya adalah program perdagangan terkomputerisasi baru yang menjual saham secara otomatis saat pasar jatuh, sehingga memperburuk kemerosotan. Di antara penyebab yang paling sering disebut adalah ketidakpastian ekonomi global, lonjakan suku bunga, serta ketegangan perdagangan internasional yang mengganggu aliran investasi.
Banyak investor panik dan memutuskan untuk menjual saham mereka, yang kemudian menyebabkan penurunan harga saham secara drastis. Namun, meskipun Black Monday memicu kehancuran pasar dalam waktu singkat, pasar saham akhirnya pulih beberapa tahun kemudian. Penyembuhan pasar saham tersebut menjadi bukti bahwa meskipun pasar mengalami penurunan tajam, sistem ekonomi global mampu mengatasi krisis besar seperti itu.
Penyebab Black Monday
Dilansir dari media bisnis livemint.com, keruntuhan pasar saham pada Black Monday 1987 disebabkan oleh kombinasi beberapa faktor. Pertama, pasar saham yang sudah terlalu kuat memerlukan koreksi besar setelah nilai saham naik tiga kali lipat sejak 1982.
Kedua, perdagangan terkomputerisasi yang berkembang pada saat itu menyebabkan keputusan jual beli otomatis, memperburuk penurunan harga.
Ketiga, "Triple Witching" pada 16 Oktober, ketika kontrak opsi saham, kontrak berjangka, dan kontrak opsi indeks berakhir bersamaan sehingga menambah volatilitas pasar. Penurunan yang dipicu oleh faktor-faktor ini menyebabkan reaksi panik di kalangan investor pada 19 Oktober, yang semakin memperburuk kejatuhan pasar.
Penulis: Lita Candra
Editor: Dipna Videlia Putsanra