tirto.id - Wall Street ikut terpukul oleh kejatuhan harga minyak dan terus berlanjutnya dampak virus Corona. Indeks saham di Wall Street mengalami kejatuhan harian terburuk sejak krisis finansial 2008 silam.
Mengawali perdagangan Senin (9/3/3020), tiga indeks utama di Wall Street langsung jatuh. Hal itu langsung memicu penghentian sementara atau halting, yang merupakan peristiwa pertama setelah crash pasar saham “Black Monday” tahun 1987. Perdagangan sempat dihentikan sementara selama 15 menit. Indeks Dow Jones dibuka langsung anjlok hingga 2.000 poin.
Pada perdagangan Senin, indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) akhirnya ditutup merosot 2.013,76 poin (7,79%) ke level 23.851,02. Indeks S&P 500 merosot 225,81 poin (7,60%) ke level 2.746,56 dan Nasdaq Composite anjlok 624,94 poin (7,29%) ke level 7.950,68.
Selain saham-saham energi, saham-saham teknologi juga mengalami kejatuhan terbesar. Lima perusahaan teknologi terbesar mencatat penurunan nilai pasar hingga 321,6 miliar dolar AS hanya dalam sehari. Dari jumlah itu, Apple mengambil porsi sepertiganya. Sisanya adalah Microsoft, Facebook, Alphabet, dan Amazon. Saham-saham itu memberikan dampak besar pada penurunan indeks saham.
Kejatuhan Wall Street mengikuti runtuhnya pasar saham Asia Pasifik yang sudah berjalan terlebih dahulu. Keruntuhan pasar saham terjadi setelah harga minyak anjlok hingga 25 persen, merespons perang harga antara Rusia dan Arab Saudi. Harga minyak mencatat penurunan harian terbesar sejak Perang Teluk pertama tahun 1991. Minyak Brent ditutup turun 23,88%, WTI turun 25,1%.
Ditambah dengan kekhawatiran menyebarnya COVID-19, investor semakin mengkhawatirkan kemungkinan terjadinya resesi di dunia. Semua kekhawatiran itu langsung memicu jatuhnya imbal hasil US Treasury berjangka 10 tahun ke titik terandahnya di 0,318%.
“Ada banyak kekhawatiran di pasar dan jika harga minyak terus bergerak turun, ini adalah sebuah indikasi resesi global tidak akan jauh,” ujar Peter Cardillo, chief market economist dari Spartan Capital Securities, seperti dilansir dari Reuters.
Arab Saudi sebelumnya mengumumkan rencananya untuk menurunkan harga jual minyaknya sekaligus menambah produksi. Hal itu terjadi setelah kegagalan pembicaraan di OPEC untuk menambah pengurangan produksi mulai April. Kesepakatan pengurangan kuota sebelumnya akan segera berakhir pada akhir Mei.
“Minyak mentah menjadi persoalan yang lebih besar untuk pasar ketimbang virus Corona,” kata Adam Crisafulli, pendiri Vital Knowledge, seperti dilansir dari CNBC.
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti