Menuju konten utama

Sejarah Aliran Qadariyah: Pokok Pemikiran, Doktrin & Tokoh Pendiri

Sejarah kemunculan aliran Qadariyah tidak terlepas dari gejolak politik pada masa Dinasti Umayyah I (661-750 M).

Sejarah Aliran Qadariyah: Pokok Pemikiran, Doktrin & Tokoh Pendiri
Ilustrasi Buku. tirto.id/iStockphoto

tirto.id - Salah satu aliran teologi yang tertua dalam Islam adalah Qadariyah. Kemunculan aliran Qadariyah tidak semata karena dinamika pemikiran dalam Islam, melainkan juga disebabkan gejolak politik pada masa Dinasti Umayyah I (661-750 M).

Pokok pemikiran para tokoh aliran Qadariyah yang paling masyhur dalam sejarah ialah pandangan bahwa manusia memiliki kehendak bebas (free will) untuk memutuskan perbuatannya sendiri. Hal ini membuat Qadariyah bertentangan dengan aliran Jabariyah.

Keyakinan bahwa manusia bebas berkehendak dan bertindak itu melatarbelakangi penamaan aliran ini dengan istilah Qadariyah. Secara etimologis, Qadariyah dalam bahasa Arab berakar pada kata qadara, yang berarti memiliki kekuatan atau kemampuan. Qadara pun bermakna menentukan atau menetapkan.

Ahmad Ismakun Ilyas, dalam "Sejarah Perdebatan Hakikat: Sebuah Telaah Deskriptif Analitik" yang terbit di Jurnal Al-Turas (Vol 10, No. 1, 2004), menjelaskan pengikut Qadariyah meyakini, manusia merupakan sang "pencipta" bagi perbuatannya masing-masing.

Karena itu, dalam doktrin Qadariyah, kekufuran dan perbuatan maksiat diyakini bukan bagian dari takdir Allah SWT, melainkan bersumber dari kehendak bebas manusia sendiri.

Tokoh Pendiri Aliran Qadariyah

Sosok yang dalam sejarah tercatat sebagai tokoh pendiri aliran Qadariyah adalah Ma'bad Al-Juhani dan Ghaylan Al-Dimasyq. Nama pertama lebih senior daripada yang kedua.

Ma'bad Al-Juhani yang wafat pada tahun 80 Hijriyah (699 M) lahir di Basrah dan termasuk generasi tabiin. Ia juga dikenal sebagai muhaddits (ahli hadis). Adapun Ghailan yang lahir di Damaskus, dan kesohor sebagai orator sekaligus ahli debat ulung, tercatat wafat pada tahun 105 H (722 M).

Paham Qadariyah yang dipelopori kedua tokoh itu mulai muncul selepas pergantian Kekhalifahan Rasyidin ke Dinasti Umayyah. Tepatnya, era setelah perpecahan umat Islam karena terbunuhnya khalifah Ali bin Abi Thalib, dan Muawiyah bin Abu Sufyan naik takhta menjadi khalifah pertama dari Dinasti Umayyah.

Saat itu, banyak masyarakat muslim tidak setuju dengan gaya politik Muawiyah yang bertolak jauh dari pemerintahan Kekhalifahan Rasyidin. Muawiyah kerap memojokkan oposisi politiknya. Bahkan, atas kuasa anaknya, Yazid bin Muawiyah, cucu Nabi SAW, Husein bin Ali dibantai di Karbala.

Menjawab hal tersebut, Muawiyah pun menyatakan apabila ia tidak layak menjadi pemimpin umat Islam, maka biarlah Allah yang memutuskan, siapa yang akan menggantikannya menjadi khalifah.

Pemikiran Muawiyah tersebut sejalan dengan aliran Jabariyah (fatalisme) yang menyatakan bahwa segala urusan yang terjadi di dunia ini sudah ditentukan oleh takdir. Muawiyah menganggap bahwa kedudukannya sebagai khalifah terjadi karena ketetapan Allah SWT. Jika Allah menghendaki untuk mencopot jabatannya, maka ia tak memiliki kuasa melawan-Nya.

Itulah kenapa, aliran Jabariyah memperoleh dukungan Muawiyah. Sementara itu, aliran Qadariyah diburu habis-habisan. Salah satu pelopor aliran Qadariyah, Ghaylan Al-Dimasyq juga sering keluar masuk penjara, hingga ia dihukum mati pada masa Khalifah Hisyam bin Abdul Malik (724-743 M).

Pengikut Qadariyah diburu karena mendakwahkan bahwa manusia memiliki kehendak bebas, serta tidak ditentukan oleh takdir. Pemikiran itu menyerang fondasi teologis yang menjadi alas legitimasi kekuasaan Dinasti Umayyah.

Pokok Pemikiran Aliran Qadariyah

Inti pemikiran aliran Qadariyah adalah kehendak bebas manusia. Artinya, manusia memiliki daya untuk memutuskan keinginannya secara mandiri, terlepas dari takdir Allah SWT.

Di saat bersamaan, aliran Qadariyah memandang bahwasanya Allah menganugerahkan akal agar manusia mempertimbangkan dengan bijaksana setiap laku yang akan diperbuatnya.

Para pengikut aliran Qadariyah memosisikan akal sebagai instrumen penting; ia adalah penimbang keputusan manusia. Pandangan bahwa akal (rasio) adalah hal krusial dalam laku beragama kelak mempengaruhi aliran yang lahir di era kemudian, yakni Mu'tazilah pada 723 M.

Sebagaimana dikutip dari buku Akidah Akhak (2020) yang ditulis Siswanto, berikut ini dua pokok pemikiran aliran Qadariyah.

1. Melawan kezaliman dengan tangan sendiri

Aliran Qadariyah berpandangan bahwa manusia bertanggung jawab untuk menegakkan kebenaran dan melawan kezaliman dengan tangannya masing-masing.

Paham Qadariyah memuat keyakinan bahwa Allah SWT sudah memberi daya dan kekuatan kepada manusia untuk melawan kezaliman. Jika tidak melakukannya maka manusia telah berdosa karena melanggar perintah Allah SWT.

Perintah melawan kezaliman ini juga tergambar dalam sabda Nabi Muhammad SAW: “Barang siapa melihat kemungkaran maka lawanlah dengan tangannya. Jika tak sanggup maka dengan lisannya. Jika tak sanggup, maka dengan hatinya. Dan itu [melawan dengan hati] adalah selemah-lemahnya iman,” (H.R. Muslim).

Karena paham ini, pengikut aliran Qadariyah menjadi oposisi bagi kebijakan Dinasti Umayyah yang dinilai melampaui batas-batas syariat. Disebabkan kritik dari Qadariyah itu, para pentolan aliran ini ditangkap dan dipenjarakan oleh penguasa Dinasti Umayyah.

2. Keadilan Allah SWT dari kehendak bebas

Manusia diciptakan Allah SWT dengan kehendak bebas. Maka, ia mempunyai kemampuan mandiri untuk memutuskan perbuatan yang akan dilakukan.

Pemikiran aliran Qadariyah tersebut didasari alasan bahwa Allah SWT memberikan pilihan kepada manusia untuk melakukan kebaikan dan keburukan, beriman atau tetap pada kekafiran. Karena itu, manusia akan dihakimi, diberi pahala atau diganjar dosa, berdasarkan pilihannya sendiri.

Dalil mereka bersandar pada firman Allah SWT di surah Al-Kahfi ayat 29:

“Barang siapa menghendaki [untuk menjadi orang beriman] maka berimanlah, dan barang siapa menghendaki [untuk menjadi orang kafir] maka kafirlah,” (QS. Al-Kahfi [18]: 29).

Aliran Qadariyah merupakan antitesa dari paham Jabariyah yang memandang bahwasanya semua perbuatan manusia sudah ditentukan oleh takdir.

Penganut Qadariyah menilai, jika paham Jabariyah itu benar maka berarti Allah telah berlaku tidak adil dengan menghukum manusia. Padahal, Allah SWT adalah Tuhan yang Maha Adil.

Dalam keyakinan penganut aliran Qadariyah, Allah SWT tidak mungkin memberi hukuman neraka atau menganugerahkan surga untuk perbuatan yang terjadi bukan karena kehendak manusia itu sendiri.

Oleh karena itu, aliran Qadariyah berpendapat bahwasanya keadilan Allah tercapai melalui pilihan dan kehendak bebas dari manusia itu sendiri.

Baca juga artikel terkait ILMU KALAM atau tulisan lainnya dari Abdul Hadi

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Abdul Hadi
Penulis: Abdul Hadi
Editor: Addi M Idhom