tirto.id - Aliran Asy’ariah merupakan salah satu paham teologi Islam yang muncul pada 913 M/330 H. Aliran ini mengembangkan paham teologi Islam yang lebih mengutamakan dalil naqli (Al-Qur’an dan Al-Hadis) dan membatasi penggunaan logika filsafat.
Dalam perkembangannya, aliran Asy’ariyah mendapatkan dukungan dari berbagai pemerintahan Islam. Salah satunya Dinasti Gaznawi (India) pada abad ke 11-12 M. Karena itu, paham Asy’ariyah kemudian menyebar di India, Pakistan, Afganistan dan wilayah-wilayah lain, termasuk Indonesia.
Sejarah aliran Asy’ariyah tidak bisa dilepaskan dari tokoh pendirinya yaitu Abu Hasan Ali bin Isma’il al-Asy’ari. Bahkan, sebutan aliran ini diambil dari nama kabilah yang melahirkan Abu Hasan.
Dikutip dari sebuah ulasan dalam Jurnal Al-‘Adl: Al-Asy’ariyah (2008:2), Abu Hasan Ali bin Isma’il al-Asy’ari dilahirkan di daerah Bashrah (Irak) pada tahun 873 M/260 H.
Abu Hasan mulai belajar mengenai ilmu kalam kepada ayah tirinya, yaitu seorang tokoh Mu’tazilah bernama Abu ‘Ali al-Jubbai. Maka, dapat dipastikan Abu Hasan pada awalnya beraliran Mu'tazilah.
Meski berstatus anak tiri, ia menjadi murid kesayangan Abu ‘Ali al-Jubbai. Dalam hal kemampuan berbicara dan berdebat, Abu Hasan juga tidak kalah hebat dari gurunya.
Namun, dalam perkembangannya, Abu Hasan memilih meninggalkan aliran Mu'tazilah sekalipun ia sempat mempelajari paham ini secara mendalam dan bersungguh-sungguh.
Ihwal keputusan Abu Hasan itu bermula dari perdebatan serius antara ia dengan gurunya, Abu Ali al Jubbai. Di akhir perdebatan, Abu Ali al-Jubbai tidak dapat menjawab pertanyaan Abu Hasan. Hal tersebut membuat Abu Hasan mulai meragukan paham Mu'tazilah.
Merujuk artikel bertajuk "Kajian Historis dan Pengaruh Aliran Kalam Asy’ariyah" karya Hadi Rafitra Hasibuan yang terbit dalam Jurnal Al-Hadi: Aliran Asy’ariyah (2017:434), perdebatan dengan sang guru tersebut berdampak serius terhadap pemikiran Abu Hasan. Ia sampai tidak keluar dari rumah selama 15 hari untuk merenungkan perdebatannya dengan Abu Ali al-Jubbai.
Perenungannya lantas membuahkan keputusan serius bagi Abu Hasan. Maka, pada suatu Jumat, tepat saat ia berusia 40 tahun, Abu Hasan naik ke mimbar Masjid Bashrah guna mengumumkan secara resmi bahwa ia memutuskan keluar dari Muktazilah.
Beberapa alasan Abu Hasan meninggalkan aliran Muktazilah adalah sebagai berikut:
- Abu Hasan ditemui oleh Rasulullah SAW dalam 3 waktu yaitu pada malam 10, 20, dan 30 bulan Ramadhan. Dalam pertemuan dalam mimpi tersebut, Rasulullah SAW mengingatkan kepada Abu Hasan untuk meninggalkan paham Muktazilah.
- Abu Hasan tidak puas dengan konsepsi teologis dalam paham aliran Muktazilah.
- Apabila Abu Hasan tidak keluar dari Muktazilah maka akan terjadi peperangan antarumat.
Pokok-pokok Pemikiran dalam Ajaran Asy’ariyah
Abu Hasan Ali bin Isma’il al-Asy’ari mengkritik paham Muktazilah yang lebih mengutamakan pada pendekatan akal (logika) dan cenderung mengesampingkan dalil-dalil naqli (Qur’an dan Hadis).
Maka itu, Abu Hasan mengembangkan aliran Asy’ariyah yang lebih mengutamakan penggunaan dalil naqli dan mengurangi atau membatasi penggunaan logika filsafat sebagai fondasi pemikiran teologis.
Dikutip dari bukuAkidah Akhlak karya Sihabul Milahudin (2020:33-34), berikut ini pokok-pokok pemikiran dalam ajaran aliran Asy’ariyah:
a. Sifat Tuhan
Pandangan aliran Asy’ariyah mengenai sifat ketuhanan ialah mengakui Zat Allah SWT berbeda dari makhluk. Contoh, Allah Maha Mendengar. Sifat itu berbeda dengan manusia yang bisa mendengar.
b. Kekuasaan Tuhan dan Perbuatan Manusia
Aliran Asy’ariyah meyakini manusia tidak memiliki kekuasaan untuk menciptakan sesuatu, kecuali dengan adanya daya dan upaya dari Allah SWT.
c. Keadilan Tuhan
Aliran Asy’ariyah berpandangan bahwa penentuan nasib manusia di akhirat merupakan hak mutlak Allah SWT untuk menentukan hal itu dengan segala kuasa-Nya.
d. Melihat Tuhan di Akhirat
Paham aliran Asy’ariyah memuat keyakinan bahwa melihat Zat Tuhan adalah kegembiraan paling tinggi bagi manusia di akhirat kelak. Perihal bagaimana manusia bisa melihat Zat Tuhan ketika di akhirat kelak, aliran Asy’ariyah menganggap itu menjadi hak Allah SWT untuk menentukannya.
e. Dosa Besar
Aliran Asy’ariyah meyakini bahwa orang Islam yang melakukan dosa besar layak disebut fasik, dan soal kemungkinan ia masih mungkin menerima ampunan atau tidak, tergantung kepada kehendak Allah SWT.
Jika seorang muslim masuk golongan orang fasik maka ia akan dimasukkan ke neraka. Sedangkan jika ia mendapatkan pengampunan dari Allah SWT, ia akan dimasukkan ke dalam surga-Nya.
Penulis: Syamsul Dwi Maarif
Editor: Addi M Idhom