Menuju konten utama

Sejak 2010, Polisi Menjadi Target Serangan Teroris

Polri menjadi target utama teroris sejak 2010. Semakin keras tindakan Polri kepada pelaku teroris, semakin intens pula aksi balasan terhadap personel polisi.

Sejak 2010, Polisi Menjadi Target Serangan Teroris
Personel kepolisian membawa jenazah anggota Satuan Shabara Polda Metro Jaya Briptu (anumerta) Imam Gilang Adinata ketika upacara pelepasan di Menteng Dalam, Jakarta, Kamis (25/5). Briptu (anumerta) Imam Gilang Adinata yang menjadi salah satu dari tiga petugas kepolisian korban ledakan bom di Terminal Kampung Melayu pada (24/5) akan dimakamkan di Klaten, Jawa Tengah. ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/foc/17.

tirto.id - Serangan teror kepada aparat kepolisian kembali terjadi. Kali ini menimpa dua polisi usai salat Isya di Masjid Falatehan, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

"Selesai melakukan salam, tiba-tiba seorang tak dikenal melakukan penyerangan dengan pisau ke arah anggota," kata Martinus saat dihubungi Tirto, Jumat malam (30/6).

Martinus mengatakan, kedua polisi itu adalah AKP Dede Suhatmi dan Briptu M. Syaiful Bakhtiar. Mereka segera dirawat di RS Pusat Pertamina.

Serangan ini menambah deretan panjang kasus penyerangan kepada personel polisi. Kurang dari seminggu lalu, pada hari Idulfitri, 25 Juni lalu, teror serupa menimpa anggota polisi dari Polda Sumatera Utara. Pelaku menyerang pos penjagaan dan menewaskan Aiptu M. Sigalingging.

Sebulan sebelumnya, aparat kepolisian menjadi sasaran teror. Dua bom bunuh diri meledak di antara toilet umum dan halte Transjakarta di dekat Terminal Kampung Melayu, 24 Mei lalu. Bom itu diledakkan oleh dua pelaku dengan interval ledakan sekitar 5 menit.

Peristiwa itu merenggut nyawa dua pelaku teror dan tiga personel polisi. Ia melukai enam orang dari aparat kepolisian dan lima warga sipil.

Khairul Fahmi, peneliti dari Institute For Security and Strategic Studies (ISESS), menilai bahwa personel Polri memang jadi target utama serangan teror.

“Selama ini pola penyerangan yang terkait Islamic State itu, kan, targetnya aparat,” katanya kepada reporter Tirto, Jakarta, 25 Mei lalu, sesudah bom Kampung Melayu.

Selain itu, pelaku teror di Kampung Melayu memilih sasaran area publik. Fahmi menilai teror tersebut "tak terlalu terukur" dari segi keuntungan pelaku teror. Sebab, menurutnya, polisi yang diserang bukan elemen terpenting atau terkuat dari institusinya.

“Polisi yang disasar di unsur terdepan, berada pada posisi paling rentan. Bukan seperti menyerang Mako Brimob, misalnya,” tambah Fahmi.

Polisi sebagai 'Ansharut Thoghut'

Hal serupa diungkapkan oleh Ridwan Habibi, peneliti terorisme dari Universitas Indonesia. Ridwan menilai bahwa motif teror terhadap polisi berlatar aksi balas dendam.

“Karena polisi paling banyak menangkap, memenjarakan, membunuh teman-teman (teroris). Sehingga kemudian mereka melakukan semacam balas dendam,” katanya, 25 Mei lalu.

Menurut Ridwan, serangan terhadap aparat pemerintah makin semarak ketika juru bicara ISIS Abu Muhammad al-Adnani mengeluarkan fatwa yang menyerukan serangan kepada kaum thoghut.

“Tentara thoghut itu mereka definisikan sebagai polisi. Maka serangan terhadap polisi makin masif karena didukung fatwa,” tuturnya.

Solahudin dari Pusat Kajian Terorisme dan Konflik Sosial, Fakultas Psikologi UI, dalam penelitian menggambarkan pergeseran sasaran teroris. Selain itu, pola penyerangan terhadap polisi dimulai sejak 2010. Sebelumnya sasaran teror adalah simbol-simbol yang dianggap punya asosiasi dengan "Barat" seperti pub, hotel, atau kedutaan.

Pergeseran serangan teroris ini seiring apa yang disebut paham jihad fardiyah atau jihad perorangan menguat. Ia dilakukan oleh satu orang atau beberapa orang yang tidak selalu terkait struktur komando yang rapi hingga ke jaringan internasional. Mereka ngotot bahwa pemerintah adalah thoghut alias musuh utama. Polisi dituding sebagai ansharut thoghut atau tentara pemerintah thoghut.

Selain itu, akar masalah munculnya sentimen terhadap aparat pemerintahan ialah keterlibatan kuat polisi, terutama Densus 88, dalam pemberantasan terorisme. Solahudin menegaskan, dalam kasus Aceh pada 2010, polisi telah menangkap lebih dari 100 orang, serta menembak mati lebih dari 30 orang. Tentu hal itu memantik hasrat untuk balas dendam.

Kebencian kepada polisi itu diartikulasikan lewat propaganda dalam satu artikel berjudul, “Wahai Bidadari Surga. Kupinang Engkau dengan Kepala Densus”. Artikel ini memuat kesiapan untuk mati demi membalas dendam jika salah satu dari kelompoknya dibunuh oleh aparat. Ia juga menegaskan keyakinan mutlak untuk bersolidaritas demi menghabisi thoghut.

Untuk diketahui, pelaku serangan di Masjid Falatehan juga meneriakkan kata "thoghut" sebelum melakukan penyerangan kepada dua personel polisi yang baru saja menyelesaikan salat Isya.

infografik serangan teror ke kantor polisi

Kasus-Kasus Serangan Teror terhadap Polisi

Solahudin mencatat, para juru dakwah seperti Halawi Makmun, mantan anggota Majelis Syuro Jamaah Ansharut Tauhid (organisasi pecahan Majelis Mujahidin Indonesia), gencar mempromosikan bahwa personel polisi adalah target utama.

Pengajian Halawi Makmun menarik pengikut, termasuk Muhammad Syarif dan Arif Budiman yang melancarkan teror bom bunuh diri di Masjid Adz Zikro, Kompleks Markas Polresta Cirebon, 15 April 2011. Mereka divonis penjara 7 tahun. Arif baru saja dibebaskan dari Lapas Pasir Putih, Pulau Nusakambangan, 6 Mei lalu.

Solahudin memaparkan, sebelum bom bunuh diri di Cirebon itu, Yuli Harsono pernah menghimpun orang-orang JAT Bandung untuk meluapkan dendam pada polisi pada 2010. Pada Maret 2010, mereka menembak mati polisi di Polsek Prembun Kebumen, Jawa Tengah. Sebulan setelahnya, mereka menembak mati dua anggota Polsek Kenteng Rejo, Purwakerto. Sedangkan kelompok Toni Togar menyerang Polsek Hamparan Perak. Saat itu tiga polisi dibunuh dan kantornya dibakar.

Pada Mei 2011, beberapa anggota JAT Poso menembak mati dua polisi yang berjaga di BCA Palu dan merampas senjatanya. Aksi penembakan itu sebagai ajang balas dendam atas penangkapan Abu Bakar Ba'asyir yang dituding terlibat kasus Aceh.

Tim riset Tirto juga mencatat bahwa pada 2013 terjadi tiga kali penyerangan pada polisi. Beberapa di antaranya berlokasi di Tasikmalaya, Semarang, dan Poso.

Pada 2014, kasus serangan teror pada Polri menurun, hanya terjadi dua kali (Semarang dan Ciputat). Tahun selanjutnya, pada 2015, serangan "hanya" satu percobaan teror terhadap polisi di Solo. Aparat berhasil mengendus rencana tersebut dan menangkap tiga pelaku pada Agustus 2015.

Setahun berikutnya, pada 2016, jumlah serangan teroris yang menyasar polisi meningkat tajam, sebanyak tujuh kasus. Bentuknya dari rencana penyerangan Pos Polisi Serpong hingga bom bunuh diri di Mapolresta Surakarta menjelang Idulfitri 2016. Serangan tahun lalu juga termasuk bom di Sarinah, Jakarta Pusat, yang menyasar pos polisi.

Baca analisis mengenai "jaringan ISIS" di balik bom Kampung Melayu

=====

Naskah ini kali pertama tayang pada 25 Mei 2017 sehari setelah serangan bom di Kampung Melayu. Naskah diperbarui pada 1 Juli 2017 menyusul serangan teroris di Masjid Falatehan, Blok M, dekat Mabes Polri.

Baca juga artikel terkait TERORISME atau tulisan lainnya dari Dieqy Hasbi Widhana

tirto.id - Hukum
Reporter: Dieqy Hasbi Widhana
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Fahri Salam