tirto.id - Pekan lalu, tim dari pemeringkat Standard & Poor’s (S&P) bertemu dengan beberapa pejabat kunci yang mengurusi keuangan negara kita. Tim bertemu dengan Menko Perekonomian Darmin Nasution juga Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Di luar kementerian, para pelaku pasar baik dalam maupun luar negeri mencermati pertemuan tersebut. Kenaikan peringkat dari Standard & Poor’s, satu-satunya "The Big Three" yang belum memberikan label layak investasi kepada Indonesia, disebut-sebut dapat menjadi katalis positif bagi pasar keuangan Indonesia. The Big Three merupakan tiga lembaga pemeringkat internasional yang menguasai sebagian pangsa pasar yakni S&P, Moody's dan Fitch Ratings.
Mengapa pemeringkatan dari sebuah perusahaan pemeringkat penting, apalagi bagi negara berkembang? Jika melihat data dari laman countryeconomy.com, di dunia ini, hanya ada 10 negara yang menikmati peringkat sempurna, AAA dari ketiga pemeringkat raksasa tersebut. Mereka adalah Kanada, Jerman, Australia, Swiss, Denmark, Luxemburg, Belanda, Norwegia, Swedia, dan Singapura.
Pada awal April 2011, S&P menurunkan peringkat kredit Amerika Serikat satu level menjadi AA+ karena masalah defisit anggaran yang ketika itu lebih dari 11 persen dari produk domestik brutonya. Utang pemerintah pun membengkak menjadi sekitar 80 persen dari PDB, terlalu tinggi jika dibandingkan dengan negara berperingkat AAA lainnya. Walaupun S&P menurunkan peringkat AS, dua pemeringkat lain masih mempertahankan penyematan AAA untuk AS.
Di Eropa, ketika krisis utang merebak, terjadi penurunan peringkat berjamaah. Ada sembilan negara yang peringkatnya dipangkas oleh S&P. Termasuk Perancis, yang kehilangan peringkat AAA dari ketiga pemeringkat tersebut pada tahun 2012 dan 2013 karena keadaan anggarannya. Hingga kini, Perancis belum berhasil mendapatkan kembali peringkat AAA. Hanya ada satu negara di Zona Euro yang menyandang peringkat AAA dari ketiga pemeringkat yaitu Jerman.
Contoh teranyar dari penurunan peringkat adalah Inggris ketika hasil referendum yang menghasilkan keputusan Inggris akan keluar dari Zona Euro Juni 2016 lalu. Dari AAA, Inggris turun peringkat di bawahnya karena hasil referendum itu berpotensi menurunkan kinerja ekonomi Inggris.
Sebenarnya, sebelum krisis Asia melanda pada tahun 1997, Indonesia sudah masuk ke dalam peringkat layak investasi dari ketiga pemeringkat utama itu. Akibat krisis yang membuat anggaran jebol, kurs melemah tajam, hingga banyak kredit macet. Merosotnya kualitas aset menjadi salah satu penyebab penurunan peringkat. Barulah pada akhir tahun 2011 Fitch kembali menyematkan peringkat layak investasi dan Moody’s menyusul pada awal tahun 2012. Hanya S&P yang belum.
Biaya utang
Opini dari pemeringkat biasanya berdampak pada biaya pinjaman, seberapa besar bunga yang harus dibayarkan penerbit surat utang baik pemerintah maupun korporasi agar obligasinya diminati para pembeli. Misalnya, untuk obligasi bertenor 10 tahun yang diterbitkan oleh negara dengan peringkat tinggi, para investor cukup puas dengan bunga kira-kira sebesar 2,5%. Contohnya, obligasi Jerman dengan peringkat AAA menyandang bunga 0,25%. Tipis, tetapi disukai investor karena aman. Sebaliknya, investor menuntut bunga tinggi dari negara dengan peringkat rendah seperti Yunani yang sempat mendapatkan peringkat CCC dari ketiga pemeringkat, harus membayar kupon obligasi 8,33%.
Penurunan peringkat dapat dibaca sebagai peningkatan risiko. Alasan-alasan pemeringkat dalam menurunkan peringkat sebuah negara dapat menjadi potensi risiko. Akibatnya, harga obligasi menjadi jatuh, sementara imbal hasilnya naik. Para investor menginginkan bunga lebih tinggi sebagai kompensasi kenaikan risiko.
Sebaliknya, kenaikan peringkat pun membawa berkah. Terutama bagi negara berkembang. Peringkat bagaikan dorongan bagi negara berkembang agar berpacu lagi dalam memperbaiki fiskal, moneter, melakukan berbagai reformasi kebijakan. Salah satu penilaian yang dilakukan oleh pemeringkat terhadap sebuah negara adalah langkah kebijakan fiskal dan moneter yang membuat perekonomian menjadi stabil.
Peringkat yang lebih tinggi, menandakan risiko semakin berkurang. Jika pemerintah berupaya meraup dana dari pasar internasional bunga yang diminta para investor dapat lebih rendah, harga obligasi naik dan imbal hasilnya turun. Dalam makalahnya yang bertajuk Credit Rating Agencies and Their Potential Impact (2008), Marwan Elkhoury mencermati tujuan utama dari pemeringkatan adalah meningkatkan akses ke pasar modal dan menurunkan biaya pinjaman. Penyematan peringkat dari perusahaan pemeringkat dapat menurunkan biaya yang harus dikeluarkan oleh negara atau perusahaan ketika mengeluarkan surat utang karena pemeringkat sudah melakukan kajian nilai obligasi di pasar atau mengurangi asimetri informasi antara pembeli dan penerbit surat utang (Ramakrishnan and Thakor, 1984; Millon and Thakor, 1985).
Elkoury juga menyatakan, bagi pembeli surat utang dari luar negeri, ada korelasi jelas antara imbal hasil obligasi dan peringkat. Semakin rendah peringkat, semakin tinggi imbal hasilnya.
Dwi Anggi Novianti dari Kementerian Keuangan dan Dwi Nastiti Danarsari dari Universitas Indonesia mencoba mengkaji dampak kenaikan peringkat Indonesia dan perubahan imbal hasil obligasi pemerintah. Mereka mengumpulkan beberapa data tentang hal tersebut.
Studi dari Canton dan Parker (1996) menunjukkan bahwa peringkat kredit yang baik akan menurunkan imbal hasil. Penurunan satu level peringkat akan menaikkan imbal hasil sebanyak 25%. Sementara kajian dari Kaminsky dan Scmukler menemukan bahwa perubahan peringkat kredit akan berdampak di pasar negara berkembang dengan rata-rata kenaikan imbal hasil 2% untuk satu level penurunan peringkat. Temuan berbeda didapatkan dari Hartellius et al (2008) membuktikan bahwa kenaikan peringkat kredit di negara berkembang akan menurunkan imbal hasil sejak tahun 2002.
Namun, ada temuan lai dari Gonzales-Rozada et al (2008) yang menunjukkan hasil yang berlawanan. Mereka menyimpulkan bahwa peringkat kredit hanyalah salah satu faktor dari penurunan imbal hasil sehingga perlu diperhatikan lagi faktor lain seperti siklus bisnis internasional. Seperti penurunan harga komoditas.
Kamim dan von Kleist (1999) mengindentifikasikan bahwa penurunan satu level pada kategori layak investasi akan meningkatkan imbal hasil 21%. Penurunan peringkat dalam kategori spekulatif akan menaikkan imbal hasil 26%. Jaramillo dan Tejada (2011) menemukan bahwa perubahan peringkat pada berbagai kategori pemeringkat kredit hanya berdampak kecil terhadap pasar AS. Sementara itu, dengan menggunakan data dari 35 pasar keuangan di negara berkembang antara 1997 dan 2010, didapatkan kesimpulan bahwa status layak investasi dapat menurunkan imbal hasil hingga 36%. Bahkan, penurunan lebih besar dari 5-10% karena ada kenaikan peringkat pada kategori layak investasi.
Menurut kajian tersebut, Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang yang saat ini bernama Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Departemen Keuangan memperkirakan setiap satu level kenaikan peringkat, akan menurunkan imbal hasil obligasi internasional yang akan diterbitkan sebesar 75 basis poin.
Berdasarkan data dari pergerakan obligasi dari Oktober 2004 hingga Maret 2012, ditarik kesimpulan bahwa kenaikan peringkat pada kelompok spekulatif dan layak investasi bagi Indonesia tidak berdampak signifikan terhadap pengurangan imbal hasil. Risiko global, lebih memengaruhi pergerakan imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia.
DBS dalam risetnya 19 Januari 2017 menyebutkan, kenaikan peringkat dari S&P akan dilihat sebagai konfirmasi bahwa Indonesia sudah kembali meraih statusnya sebagai negara yang layak investasi. Tidak seperti Fitch dan Moody’s, S&P masih menempatkan Indonesia satu level di bawah peringkat layak investasi. Diharapkan, ada sentimen positif sementara di pasar keuangan atas status baru tersebut, karena kemungkinan itu sudah diperhitungkan (priced in) oleh para pelaku pasar.
Dampak lain yang mungkin timbul adalah penanaman modal asing (foreign direct investment/FDI). Menurut DBS, aliran FDI mungkin akan lebih banyak lagi, karena perusahaan-perusahaan multinasional akan menaikkan jumlah investasi pada negara yang menyandang peringkat layak investasi. Hal ini sudah terjadi pada Rusia, India dan Brazil setelah mendapatkan peringkat layak investasi pada Januari 2005, Januari 2007, dan September 2009.
Angka rata-rata FDI tahunan naik sebesar 135%, 165% dan 65% di Rusia, India dan Brazil. Mengingat Indonesia juga memerlukan banyak sekali investasi, tampaknya pemerintah juga sangat berharap kenaikan peringkat itu akan dapat direalisasikan.
Saat ini, eforia S&P akan menaikkan peringkat kredit Indonesia kembali merebak. Setumpuk pekerjaan rumah yang sebagian telah diselesaikan, diharapkan dapat membuat S&P kembali memberikan peringkat layak investasi kepada Indonesia. Kita semua menantikan jawabannya.
====
Baca juga artikel terkait pemeringkatan berikut:
Penulis: Yan Chandra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti