tirto.id - Sore itu, Rabu (19 Desember 2019) Anda memutuskan mampir sebentar ke sebuah bioskop di kawasan Margo City. Film Star Wars: The Rise of Skywalker baru saja dirilis, dan Anda jelas tak mau ketinggalan menonton pertarungan hebat antara Rey dan Ben. Di depan loket, Anda mengeluarkan selembar uang lima puluh ribuan untuk sebuah cetak tiket teater tiga.
Sambil menunggu kasir mencetak tiket, Anda melihat-lihat papan informasi kecil berbingkai akrilik. Letaknya tepat di samping lengan kiri Anda. Isinya tentang peringatan tayangan Star Wars bagi penonton dengan kondisi khusus. Kira-kira begini tulisannya:
“Star Wars: The Rise of Skywalker berisi sejumlah gambar dan adegan dengan kilatan cahaya berulang yang dapat menyebabkan ketidaknyamanan bagi penderita epilepsi fotosensitif atau memiliki kerentanan fotosensitif lainnya. Kami mohon kebijakan dan kerjasama penonton.”
Tiket sudah ada di tangan, dan teater telah dibuka sedari tadi. Anda memang datang terlambat hari itu karena baru saja pulang dari acara tamasya kantor. Bergegas masuk teater, Anda duduk di kursi, dan bersiap menikmati pertempuran epik dengan laser dan lightsabers selama dua jam ke depan.
“Kalau aku nggak ada masalah waktu lihat adegan yang ada kilatan cahaya,” katamu sambil menimbang-nimbang ukuran papan pengumuman di loket tadi. “Lumayan kebaca kok, apalagi pas beli tiket.”
Tidak semua penonton seperti Yuliana Ratnasari (27 tahun) yang tak mempermasalahkan kilatan-kilatan cahaya di sekuel teranyar Star Wars. Sebagian lainnya mengalami ketidaknyaman berupa sakit kepala, migrain, mual, bahkan kejang. Itulah mengapa papan peringatan film ditempel di area sekitar bioskop. Bahkan info yang sama akan muncul di layar sebelum film dimulai.
Meski tidak semua bioskop memasang himbauan tersebut, Disney sudah jauh-jauh hari memberi tahu risiko efek film pada orang dengan epilepsi fotosensitif (PSE) atau sensitivitas fotosensitif lain. Film garapan J.J. Abrams tersebut berisi faktor pemicu episode kejang PSE, misalnya kilatan cahaya saat adegan laga menggunakan lightsabers, atau efek strobe lainnya (cahaya berwarna terang, umumnya biru dan merah).
Untuk sosialisasi, Disney bekerja sama dengan beberapa yayasan epilepsi, mereka tak mau lagi mendapat kritik seperti pada peluncuran Incredibles 2 pada 2018 lalu. Saat itu Disney terpaksa mengedit ulang adegan yang memicu PSE agar lolos uji harding (tes khusus kepekaan PSE).
Kejang Selama Film
Tanggal 16 Desember 1997 Jepang mengalami kepanikan massal setelah lebih dari 600 anak tiba-tiba merasa pusing, penglihatannya kabur, dan kejang saat menonton serial anime Pokemon. Kejadian itu dipicu adegan di episode 38 Denno Senshi Pokemon (Electric Soldier Porygon) musim perdana.
Adegan menggambarkan Pikachu yang meledakkan program antivirus dengan serangan petir. Kilatan merah dan biru berkedip cepat sebagai bumbu dramatis yang disematkan animator pada puncak adegan. Tapi karena cukup intens, sekitar 12 blitz per detik selama enam detik, kilatan itu akhirnya menimbulkan apa yang kemudian dikenal sebagai “Pokemon Shock”.
Rumah sakit di Jepang mendadak menerima pasien anak-anak yang mengalami kejang. Meski kemudian para ahli sepakat bahwa jumlah fantastis korban dipengaruhi efek histeria massa, yakni efek saling mempengaruhi antar para korban. Namun kilatan cahaya dalam animasi Pokemen tidak mengeliminasi faktor penyebab PSE.
Kejadian PSE dalam animasi Pokemon mungkin menjadi fenomena terbesar gangguan PSE yang pernah ada. Episode itu kemudian dilarang dan tak pernah lagi ditayangkan. Vicememberitakan serial Pokemon selama empat bulan hampir saja batal tayang di Jepang.
Namun jauh setelah kejadian itu, kesadaran rumah produksi untuk menyematkan peringatan bahaya PSE pada film-film mereka belum juga terbangun. Film Twillight, Breaking Dawn: Part One (2011) setidaknya pernah membuat dua orang pingsan di bioskop.
Brandon Gephart dari California mengalami gejala kejang-kejang, mendengus, dan tersengal-sengal. Tim Paramedis sampai membawanya ke ruang gawat darurat dan menghentikan sisa pertunjukan. Sementara seorang pria di Salt Lake City menunnjukkan respon gemetar dan meracau. Sang istri berusaha menyadarkan dengan menampar wajah Gerphart.
Keduanya dipicu oleh adegan melahirkan Bella Swan yang diwarnai kilatan gambar merah, putih dan hitam. Film lain seperti Incredibles 2 (2018) juga menampilkan rangsang cahaya saat kemunculan Screenslaver dengan warna hitam-putih yang berkedip dan berputar. Lalu Spider-Man: Into the Spider-Verse (2018) memuat efek strobe dan gambar-gambar yang berganti dalam kecepatan tertentu.
Seluk Beluk PSE
Orang dengan PSE kadang tak sadar memiliki sensitivitas cahaya sampai mereka kejang setelah melihat pola geometris kontras atau kilatan cahaya. Laman Epilepsy Society menyatakan pola-pola tersebut bisa membuat orang disorientasi dan merasa tidak nyaman. Namun hanya orang dengan PSE yang kemudian mengembangkan episode kejang.
“Pola tertentu cenderung menjadi pemicu jika mereka berubah arah atau berkedip,” tulis laman tersebut.
PSE dimiliki oleh sekitar tiga persen orang dengan epilepsi (angka epilepsi di dunia sekitar 1:100). Epilepsi fotosensitif lebih banyak terjadi pada kelompok anak dan remaja (sekitar 5 persen). Inilah alasan yang mungkin mendasari kejadian PSE massal di Jepang pada tahun 1997.
Gejala PSE akan membaik seiring pertambahan umur, dan menjadi jarang terdiagnosis setelah usia 20 tahun. Gangguan ini meski jarang disadari, namun bisa dideteksi dengan tes elektroensefalogram (EEG). Tes tersebut menguji aktivitas kelistrikan otak dengan memperlihatkan efek kilatan tertentu. Ketika aktivitas otak berubah, maka lampu akan dimatikan sebelum kejang berkembang.
“Lampu berkedip antara 16 dan 25 hertz (blitz per detik) paling berisiko memicu kejang. Tetapi beberapa orang sensitif terhadap tingkat rendah 3 hertz atau sebaliknya 60 hertz,” ungkap laman Epilepsy Today menjawab pola risiko pemicu PSE.
Namun orang dengan PSE tak perlu urung menonton film hanya karena risau terhadap sensitivitas cahaya. Saat ini sudah banyak rumah produksi yang lebih memperhatikan keselamatan penonton mereka dengan memberi peringatan, sehingga kejang bisa dihindari. Epilepsy Today memberi beberapa tips yang bisa dilakukan:
Pertama mintalah rekan Anda untuk menonton film tersebut lebih dulu. Tujuannya untuk menyeleksi adegan yang berisiko memicu PSE. Kedua, ajak rekan Anda menonton bersama guna menginformasikan adegan. Tutup satu mata (dua mata lebih baik) selama adegan berlangsung. Terakhir pastikan rekan Anda paham cara menangani kejang.
Jika kejang berlangsung, hal-hal yang perlu dilakukan adalah menyingkirkan barang berbahaya, memberi alas pada kepala korban untuk meminimalisir cidera, dan jangan memasukkan apapun ke dalam mulut korban. Jika waktu kejang lebih dari 5 menit maka panggilah ambulan. Cukup informasi akan meminimalisir kejang selama menonton film-film dengan efek cahaya.
Editor: Windu Jusuf