tirto.id - Epilepsi atau lebih dikenal dengan penyakit ayan alias sawan merupakan penyakit kronis yang menyerang otak. Penyakit ini tidak menular dan mempengaruhi sekitar 50 juta orang di seluruh dunia.
Dokter spesialis saraf dari RSUP H. Adam Malik Medan, Chairil Amin Batubara menyebutkan dalam laman Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan (Yankes Kemenkes) bahwa sekitar 8 – 10 persen populasi orang di dunia akan mengalami serangan epilepsi dalam hidupnya. Namun, hanya sekitar 2 – 3 persen saja yang akan berlanjut menjadi penyakit epilepsi.
World Health Organization (WHO) menjelaskan bahwa penyakit ini ditandai dengan kejang berulang, yang merupakan episode singkat gerakan tak disengaja dan dapat melibatkan sebagian tubuh (parsial) atau seluruh tubuh (generalisata) serta terkadang disertai dengan hilangnya kesadaran hingga kontrol fungsi usus atau kandung kemih.
Episode kejang adalah hasil dari pelepasan listrik yang berlebihan pada sekelompok sel otak. Bagian otak yang berbeda dapat menjadi tempat terjadinya pelepasan tersebut.
Kejang dapat bervariasi, mulai dari kehilangan atensi singkat atau otot yang tersentak hingga kejang yang parah dan berkepanjangan. Kejang juga dapat bervariasi dalam frekuensinya, bisa terjadi kurang dari satu kali per tahun hingga beberapa kali per hari.
Satu kali kejang tidak menandakan epilepsi. Kejang baru dapat didefinisikan sebagai epilepsi apabila terjadi lebih dari dua kali, orang dengan epilepsi kerap kambuh tiba-tiba tanpa adanya pemicu.
Epilepsi adalah salah satu penyakit tertua di dunia yang telah dikenal, dengan catatan tertulis yang berasal dari tahun 4000 SM. Ketakutan, kesalahpahaman, diskriminasi, dan stigma sosial telah menyelimuti epilepsi selama berabad-abad. Stigma ini masih berlanjut di banyak negara hingga saat ini dan dapat berdampak pada kualitas hidup penderita dan keluarganya.
Penyebab Epilepsi
Laman Epilepsy Foundation menjelaskan penyebab epilepsi berbeda untuk setiap orang, dan beberapa orang tidak memiliki penyebab yang dapat diidentifikasi.
Pada sebagian penderita, dokter dapat melacak epilepsi secara langsung ke genetika, trauma otak, gangguan autoimun, masalah metabolisme, atau penyakit menular.
Namun demikian, American Association of Neurological Surgeons (AANS)menyebutkan bahwa terdapat sejumlah faktor risiko yang dapat menyebabkan penyakit epilepsi atau ayan, meliputi:
- Kelahiran prematur atau berat badan lahir rendah
- Trauma selama kelahiran (seperti kekurangan oksigen)
- Kejang pada bulan pertama kehidupan
- Struktur otak yang tidak normal saat lahir
- Pendarahan ke dalam otak
- Pembuluh darah abnormal di otak
- Cedera otak yang serius atau kekurangan oksigen ke otak
- Tumor otak
- Infeksi pada otak seperti meningitis atau ensefalitis
- Stroke akibat penyumbatan arteri
- Cerebral palsy (kelumpuhan otak)
- Cacat mental
- Kejang yang terjadi dalam beberapa hari setelah cedera kepala
- Riwayat keluarga dengan epilepsi atau kejang yang berhubungan dengan demam
- Penyakit Alzheimer (pada tahap akhir penyakit)
- Kejang yang berhubungan dengan demam (demam) yang berkepanjangan
- Penyalahgunaan alkohol atau obat-obatan terlarang
Gejala Epilepsi
Mayo Clinic memaparkan bahwa gejala kejang pada penderita epilepsi bisa bervariasi, tergantung pada jenis epilepsi yang mereka derita. Lantaran epilepsi disebabkan oleh aktivitas tertentu di otak, maka kejang dapat memengaruhi proses otak. Gejala kejang dapat meliputi:
- Kebingungan sementara.
- Pandangan yang melotot.
- Otot-otot yang kaku.
- Gerakan menyentak yang tidak terkendali pada lengan dan kaki.
- Kehilangan kesadaran atau kesadaran.
- Gejala psikologis seperti rasa takut, cemas, atau deja vu.
Kebanyakan orang dengan epilepsi cenderung memiliki jenis kejang yang sama setiap kali. Gejalanya biasanya serupa dari satu episode ke episode lainnya.
Penulis: Balqis Fallahnda
Editor: Nur Hidayah Perwitasari