tirto.id - Apa yang publik ingat tentang Solo?
Jawabannya bisa jadi: Jokowi. Juga fakta bahwa di kota ini masih berdiri salah satu keraton terbesar di bumi Jawa bernama Kasunanan Hadiningrat.
Padahal, Solo lebih dari itu. Kendati "... banyak yang berubah," mengutip puisi Wiji Thukul dalam puisinya berjudul “Jalan Slamet Riyadi Solo” (1991), Solo tetaplah Solo. Di kota ini, waktu tak berjalan begitu cepat. Orang-orang tak bergegas dikejar target dan semua mengalir sebagaimana mestinya. Singkatnya, “saiki pikir saiki, sesuk pikir sesuk”—(Sekarang, ya, sekarang. Perkara besok, dipikir besok)—adalah keyakinan yang senantiasa dipegang di Solo.
Termasuk ketika kita membahas kancah musik di dalamnya.
Lahir dan Besar Karena Cadas
Kancah musik Solo besar dengan subkultur bawah tanah yang membawa ragam musik metal, hardcore, grindcore, thrash, dan punk. Pada dekade 1990-an, Solo punya jagoan seperti Makam, Crywar, Torment, Eruption, Hellstorm, hingga Fatal Sickness. Kala itu rata-rata dari mereka belum mendokumentasikan karya dalam bentuk album—melainkan demo. Meski demikian, keberadaan mereka mendorong tumbuhnya scene bawah tanah di Solo.
Memasuki milenium, band-band cadas di Solo kian bertambah banyak. Dari sekian banyak nama yang ada, Down For Life yang berdiri pada 2000 muncul mencuri perhatian. Dalam perjalanannya, Down For Life sering mengalami bongkar pasang personel. Sekarang, band ini dimotori oleh Stephanus Adjie, Rio Baskara, Isa Mahendra Jati, Ahmad Azhar, dan Muhammad Latief.
Warna musik Down For Life banyak terinspirasi dari band-band hardcore dan metal macam Backfire!, Madball, Agnostic Front, All Out War, Chimaira, Killswitch Engage, Unearth, hingga Converge. Debut album mereka terjadi pada satu dekade silam, tatkala mereka merilis Simponi Kebisingan Babi di bawah Belukar Records. Album tersebut laris manis di pasaran dan dirayakan secara gegap gempita oleh Pasukan Babi Neraka—sebutan untuk penggemar Down For Life.
Tiga tahun kemudian, Down For Life kembali melepas album bertajuk Himne Perang Akhir Pekan. Kali ini proses rekamannya dilakukan di bawah koordinasi Sepsis Records. Proses pengerjaan album yang cukup lama—sekitar dua tahun—nyatanya membuahkan hasil memuaskan. Album ini banyak diapresiasi secara positif.
Rolling Stone Indonesia, misalnya, memasukkan album itu sebagai 20 Album Terbaik 2013. Sementara Tempo, menempatkan Himne Perang Akhir Pekan ke dalam 10 Album Terbaik Indonesia 2013. Bahkan, Down For Life diganjar nominasi di ajang AMI Awards 2014 lewat kategori Lagu Metal Terbaik (“Prosa Kesetaraan”).
Segala pencapaian tersebut membikin nama Down For Life (dan reputasi scene cadas Solo) melambung. Rangkaian tur dalam dan luar negeri mereka jelajahi. Festival-festival metal pun tak luput untuk mereka sambangi.
Kancah cadas Solo makin membumbung tinggi ketika festival bernama Rock In Solo diselenggarakan. Festival ini dikomandoi Stephanus Adjie, vokalis Down For Life, dan teman-temannya melalui The Think Organizer.
Gelaran pertama Rock In Solo diadakan pada 2004 di Stadion Manahan. Waktu itu, pihak panitia mengundang Tengkorak, The Brandals, sampai Seringai. Tiga tahun berselang, edisi kedua Rock In Solo diselenggarakan, mengambil tempat di Manahan, serta mengundang Burgerkill sampai Bondoso.
Dari yang semula sebatas mengundang band-band lokal, Rock In Solo mulai ekspansi dengan mendatangkan band-band cadas mancanegara. Pada 2009, seperti contoh, Rock In Solo mengundang Psycroptic. Setahun kemudian, Dying Fetus, band death metal tersohor asal AS, diajak manggung di Rock In Solo. Selain mereka, ada nama-nama seperti Death Angel, Kataklysm, Deranged, Enforce, Oathean, Cannibal Corpse, Behemoth, Carcass, Nile, hingga Unearth yang turut memanaskan hajatan besar itu.
Namun, semenjak diadakan terakhir kali pada 2015, sampai sekarang Rock In Solo vakum. Alasan finansial dinilai menjadi penyebab mengapa Rock In Solo harus terhenti untuk sementara waktu—atau entah sampai kapan.
Firman Prasetyo, pegiat kancah yang dulu pernah ikut andil dalam Rock In Solo (sekarang ia mengurusi Muara Market, creative space di Solo), mengatakan bahwa adanya Rock In Solo membikin anak-anak muda—termasuk di luar scene metal—menjadi percaya diri akan ekosistem musik di kotanya.
“Bisa dibilang Rock In Solo itu momentum, ya. Momentum yang mewakili anak-anak muda di Solo secara keseluruhan. Tak sekadar dari kancah metal saja. Bahwa Solo, yang dianggap sebagai kota kecil, bisa konsisten mengadakan event sekelas Rock In Solo selama bertahun-tahun,” katanya kepada Tirto.
“Dan ketika Rock In Solo sudah enggak ada, ini menjadi kehilangan cukup besar bagi anak-anak muda di sini.”
Mengangkat Pamor Lewat Indie
Tak sulit untuk mengakses Muara Market, sebuah ruang kreatif yang didirikan pada Agustus 2016. Lokasi Muara Market terletak sebelah Pasar Legi, satu dari dua pasar terbesar sekaligus tersibuk di Kota Bengawan.
Bangunan Muara terdiri dari beberapa ruko dua lantai yang melingkar. Di tengah-tengahnya terdapat area lapang yang berukuran sekitar satu petak lapangan futsal. Di Muara, anak-anak muda Solo biasa bertemu, berkumpul, dan mengadakan banyak acara; dari diskusi, pameran, sampai gig.
Menurut penuturan Firman, Muara dibentuk oleh beberapa pegiat kancah dan komunitas di Solo guna menyediakan ruang kreatif yang proporsional, tidak terbentur birokrasi pemerintah yang berbelit, serta bebas dipakai untuk kegiatan apa pun selama ada hubungannya dengan kreativitas anak-anak muda Solo.
“Selama ini cukup sulit untuk mencari tempat yang mudah dipakai, secara perizinan, serta layak, secara fisik, di Solo,” terang Firman. “Untuk itu Muara hadir.”
Keberadaan Muara, di lain sisi, juga menjadi salah satu potret scene musik arus pinggir di Solo yang sedang menggeliat.
Tak ada yang bisa memastikan kapan scene musik arus pinggir di Solo tumbuh pertama kali. Namun, Fajar Dwinanto, vokalis band hardcore Baladhugal sekaligus pentolan Belukar—toko rilisan fisik terpandang di Solo—menduga bahwa kancah indie di Solo muncul pada 2005, setahun usai album kompilasi JKT:SKRG—album yang dianggap sebagai tonggak lahirnya indie Indonesia—rilis.
“Mungkin bisa dibilang bertepatan dengan mulai terkenalnya Efek Rumah Kaca, ya. Karena setelah itu mereka [ERK] mulai datang ke Solo untuk tampil di pensi-pensi SMA,” terang Fajar.
Momentum tersebut lantas dirayakan anak-anak muda di Solo. Salah satunya dengan membikin acara seperti “God Save the Pop” yang disiarkan Solo Radio. Program ini menyajikan musik-musik pop yang, mengutip pernyataan Fajar, “cutting edge.” Acara “God Save the Pop” sukses menarik perhatian kawula muda Solo. Saking suksesnya, acara tersebut sampai dibikin versi off air.
Seiring waktu, band-band Solo tumbuh beragam. Solo tak hanya jadi rumah musik cadas, melainkan juga menjadi ruang untuk berkembangnya ragam musik yang lain; entah indie pop, garage rock, sampai psikedelik. Mereka disatukan semangat yang sama: eksplorasi musik hingga luar batas.
Beberapa entitas yang menarik perhatian antara lain Soloensis, yang memainkan rock 1970an dengan riff gitar ber-sound kasar, serta lengkingan vokal mirip Julian Casablancas versi serak. Ada juga Teori yang melarutkan senyawa psikedelik dengan takaran pas. Kemudian muncul Suabakar yang berpegang pada stoner rock ala Mastodon. Tak ketinggalan, Suaraserima menghentak lewat rock alternatif.
Tapi, yang bikin scene Solo makin istimewa adalah kehadiran Fisip Meraung. Trio yang menyebut diri mereka sebagai “band humorcore” ini merupakan komoditi panas yang dipunyai scene Solo sejak beberapa tahun terakhir.
Kisah terbentuknya Fisip Meraung bermula dari bulan puasa pada 2011. Kala itu, Topik Sudirman, Megananda, dan Athif Rasyid pergi ke studio musik dengan niat awal untuk membatalkan puasa. Tak dinyana, niat “mulia” tersebut berlanjut dengan upaya yang lebih serius: membikin band. Ketiga pemuda ini (dalam perjalanannya Athif digantikan Radius Boni) lantas sepakat memilih nama Fisip Meraung.
“Kenapa [namanya] Fisip Meraung? Karena personelnya adalah mahasiswa Fisip UNS. Dan untuk ‘Meraung’ sendiri, ya, agar pantes-pantes aja, sih,” jelas Radius sembari tertawa.
Tak lama kemudian, Fisip Meraung mulai merekam lagu. Setelah jadi, lagu disebar via Facebook. Tanggapan audiens, yang kebanyakan merupakan teman-teman sepermainan, begitu heboh. Ada yang dibuat tertawa, ada yang bertanya penuh keheranan, dan ada pula yang menghujat berkata kotor—dalam konteks bercanda.
Respons itu kian memotivasi Fisip Meraung untuk menggila. Mereka mulai rutin bikin banyak lagu. Semua lagu Fisip Meraung rata-rata berdurasi begitu pendek—tak lebih dari dua menit. Alasannya, karena, Radius bilang, “skill para personel yang pas-pasan.”
Walaupun pendek, lagu-lagu Fisip Meraung begitu dekat dengan pengalaman hidup sehari-hari dan dibungkus dalam humor yang seolah mengajak kita menertawakan diri sendiri. Maka, jadilah lagu-lagu macam “Gedang Goreng,” “Bis Tingkat,” “Soto Lamongan,” sampai “Tukang Becak.”
Total, sejauh ini, Fisip Meraung sudah menghasilkan 14 album. Sebuah pencapaian yang sungguh dahsyat untuk ukuran band yang “baru” berusia tujuh tahun. Ketika ditanya mengapa album Fisip Meraung bisa bejibun, Radius hanya berkata:
“Kami ingin melebihi Slank dan Koes Plus.”
Tak sebatas lewat lagu, kelucuan Fisip Meraung juga tersaji setiap mereka tampil. Banyolan-banyolan segar memenuhi gig dan membikin penonton ngakak terpingkal-pingkal. Ihwal memakai lelucon sebagai andalan Fisip Meraung ini memang diakui Radius menjadi identitas yang tidak bisa dipisahkan dari band.
“Jadi, treatment-nya seperti ini. Ada orang baru kenal dengan Fisip Meraung serta mendengarkan dulu karya-karyanya. Akan tetapi, bakal jadi lebih berkesan ketika menikmati Fisip Meraung itu ketika di atas panggung,” jelas Radius. “Sebab, yang kita jual emang jokes dan untuk mendapatkan itu bisa lebih mengena ketika berinteraksi langsung.”
Tertutup Awan Jogja?
April silam, kabar gembira datang dari Down For Life. Mereka dipilih menjadi perwakilan dari Indonesia di ajang festival musik cadas ternama, Wacken, yang diselenggarakan di Jerman pada bulan Agustus.
Down For Life terpilih usai memenangkan kompetisi Wacken Metal Battle Indonesia, menyisihkan lebih 300 band dari 72 kota di seluruh Indonesia. Berdasarkan penilaian juri, Down For Life lolos seleksi karena dianggap sukses mengkombinasikan metal dengan unsur tradisional Jawa.
Terpilihnya Down For Life merupakan capaian mengesankan untuk musik Indonesia secara umum dan untuk scene Solo secara khusus. Namun, di balik prestasi itu, timbul sebersit kegelisahan: mengapa harus Down For Life lagi? Adakah band-band Solo sekarang yang bisa mengikuti jejak Down For Life, dalam artian dikenal banyak orang?
Pada dasarnya, band-band Solo punya kualitas yang tak bisa disepelekan. Persebaran musiknya pun cukup merata. Tapi, masalahnya, band-band Solo seperti belum punya daya tawar agar dilirik publik di luar. Rata-rata publik masih melihat band-band Jogja, alih-alih Solo, sebagai “incaran.”
Firman mengakui bahwa hal itu tak bisa dilepaskan dari sikap dari band-band Solo yang masih merasa minder jika bertemu dengan band lain di luar Solo serta belum adanya kesadaran bahwa membicarakan musik juga membicarakan tentang bagaimana musik tersebut “dijual.”
“Ada perasaan inferior ketika band-band Solo berada di satu panggung dengan band luar. Merasa menganggap band yang tampil bersama mereka adalah idola. Posisinya, band-band Solo jadi seperti fans. Seharusnya, kan, setara,” ucap Firman.
Tak lupa, Firman juga menyebut Solo punya masalah dengan kehadiran figur krusial dalam kancah. Selepas Stephanus Adjie hengkang ke Jakarta, Solo tak ubahnya nihil figur seperti dirinya. Bagi Firman, Adjie bisa dikata adalah pembuka jalan tumbuh kembang scene di Solo. Ia membikin festival dan berkarya hingga dikenal orang luar lewat Down For Life.
Senada dengan Firman, Fajar Dwinanto menjelaskan band-band Solo belum bisa mengemas band sebagai satu paket yang lengkap. Artinya, band-band Solo lebih fokus pada aspek musikalitas daripada aspek penunjang lainnya.
“Ini bisa dilihat dari bagaimana mereka membikin press release. Ada yang sudah sadar ke sana, tapi press release yang dibuat itu seadanya sekali,” ujar Firman. “Sampai saya menawarkan diri untuk membantu membuatkan press release untuk band-band yang hendak mengeluarkan karya, baik itu single, EP (mini album), maupun album penuh.”
Fajar menambahkan, yang membuat band-band Solo tertutup pesona scene Jogja yakni bahwa di Solo, band-band masih banyak terpaku pada zona nyaman.
“Tidak ada masalah [di scene] itu adalah masalahnya,” katanya sembari tertawa.
Sementara Aldi Diponegoro dari Suabakar mengatakan bahwa faktor yang membikin band-band di scene Solo sulit dikenal ketimbang band-band Jogja adalah masih belum terbukanya pegiat kancah terhadap sesuatu yang “berbeda,” termasuk untuk urusan musikalitas.
“Untuk Solo sendiri, ketika ada yang berbeda banyak dinyinyirin. Ini yang membuat [scene] Solo enggak punya positioning,” imbuh Aldi. “Tapi, sekarang, pelan-pelan [scene] sudah bisa menerima itu [perbedaan].”
Kendati demikian, para scenester di Solo tetap punya keyakinan bahwa scene mereka berpotensi besar untuk bersinar. Yang dibutuhkan adalah proses, yang sudah pasti butuh waktu tak sebentar. Terlebih, pelan-pelan, publik luar mulai melirik bakat-bakat bernas di Solo, seperti yang terjadi kala Soloensis diundang main di gelaran Synchronize Festival beberapa waktu lalu.
“Skena di Solo sebenarnya sudah keren. Semua antar band di Solo sangat gotong royong dan saling bahu membahu. Melihat Down For Life bisa ke Jerman dan Soloensis mengekspansi di ibukota pun kami sangat terharu,” kata Radius. “Dan saat ini, teman-teman di Solo masih berusaha mematahkan sebutan daerah untuk Solo. Bagaimana caranya orang bisa berkunjung ke Solo memang untuk mengulik permusikan di sini. Itu yang sedang kami kerjakan.”
========================
Tulisan ini adalah bagian terakhir dari serial liputan Musik dan Kota. Beberapa waktu lalu, Tirto telah menurunkan liputan kancah musik di kota-kota luar Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta.
Editor: Nuran Wibisono