tirto.id - Skena musik daerah sangat mungkin berutang pada Ardy Chambers. Dengan segala upayanya di dalam kancah, Ardy membuat pembicaraan kiblat musik tak melulu berpusat pada Jakarta atau Bandung.
Salah satu upaya yang ia lakukan adalah dengan membikin festival rock bernama Rock In Celebes, diadakan di Makassar setiap tahun, dan awal Desember tahun ini merupakan penyelenggaraan kesembilanpesta musik tersebut. Tentu tak mudah untuk mencapai itu semua. Rock In Celebes merupakan hasil dari proses yang panjang lagi berkesinambungan.
Bagi Ardy, festival musik bekerja seperti fungsi jantung. Ia menjadi ruang penting yang mendorong geliat kancah dengan menyediakan kesempatan untuk band-band daerah unjuk gigi. Ardy percaya bahwa kancah daerah terus tumbuh dan festival musik yang ideal adalah salah satu cara menjaga pertumbuhan tersebut.
Dihubungi Tirto, Ardy bertutur banyak hal: dari pandangannya tentang potensi yang tersimpan dalam scene daerah, kendala-kendala yang mesti dihajar, sampai mengapa band-band tak perlu lagi menganggap Jakarta sebagai jaminan kesuksesan. Berikut petikannya.
Bagaimana Anda memandang perkembangan kancah musik di daerah?
Menurut saya, sejauh ini, perkembangan musik di daerah patut diwaspadai—dalam artian yang positif. Saya ambil contoh di Makassar. Di kota ini, kancah musik dibakar dengan agenda-agenda kolektif yang mungkin bisa dibilang jauh lebih padat dibanding Jakarta. Komunitas-komunitas yang ada rutin menyelenggarakan acara. Sementara dari segi talent, Makassar punya ruang untuk berkembang bagi banyak band, di semua genre. Makassar punya keragaman yang begitu dahsyat. Ada shoegaze, folk, underground, eksperimental, noise, indie-pop, metal, dan lain-lain. Semua lengkap.
Dari banyaknya genre itu, beruntungnya, kemudian membuka kesempatan untuk berkolaborasi. Baik sesama band, maupun lintas profesi. Mulai dari pelaku film, seni, hingga yang lain. Ini semakin membikin kancah di Makassar bergairah. Secara ekosistem, Makassar sudah punya modal yang bagus. Dan saya rasa, akan berlangsung lama. Potensinya sangat besar untuk menghasilkan kancah yang dinamis dengan kolektif-kolektif di dalamnya sebagai pilar utama.
Ada anggapan bahwa untuk sukses, musisi daerah harus pergi ke Jakarta, mengingat di sana semuanya tersedia lengkap. Apakah masih relevan pernyataan semacam itu?
Pernyataan tersebut, mau tidak mau, seperti membuka kembali diskursus mengenai seberapa besar peran Jakarta dalam kesuksesan band. Namun, terlepas dari hal itu, semua, pada akhirnya, kembali ke perspektif masing-masing musisi. Di Makassar sendiri, saya contohkan, ada dua versi bagaimana musisi memandang problematika ini.
Pertama, ada yang menganggap bahwa tak perlu ke Jakarta—dan kota-kota besar lainnya di Jawa—untuk berkembang. Pasalnya, di Makassar, iklim kancah musik lokal sudah mendukung. Makassar sedang mengalami fase yang menarik. Dengan market Makassar seperti saat ini, musisi dan musiknya bisa hidup.
Sementara untuk versi kedua, memang tidak bisa dipungkiri bahwa ada keinginan dari musisi untuk ekspansi ke Jakarta. Perspektif yang menyebut Jakarta “menyediakan semuanya,” masih melekat di pikiran mereka. Itu juga tidak salah dan tidak dilarang. Adalah hak musisi untuk menentukan sendiri masa depan mereka. Apakah tetap di daerah atau ke luar kota.
Tapi, yang harus diperhatikan, fakta bahwa ekosistem musik di daerah yang sedang panas-panasnya tidak boleh luput dari pandangan para musisi. Saya beranggapan, tak perlu ke Jakarta. Di Makassar, misalnya, musisi bisa survive dan mengembangkan karyanya dengan baik.
Singkatnya, menjadi “raja” di kota sendiri, ya.
Enggak harus jadi “raja” sebetulnya. Yang penting, band-band bisa hidup, baik secara finansial, karya, dan sebagainya. Ini yang disediakan Makassar. Tidak banyak kota, di luar Jakarta, yang seperti ini. Juga tidak banyak pula musisi yang berpikir demikian. Makassar menjadi menarik karena kancah di sini tumbuh dengan memanfaatkan solidaritas di dalamnya, empowering dengan lingkungan sekitar. Saya rasa kedua hal itu bisa menjadi fondasi yang bagus untuk keberlangsungan musisi dan kancah dalam jangka waktu yang lama.
Apa saja faktor yang membentuk wajah kancah musik daerah?
Yang jelas, pembentukan scene musik daerah tidak bisa lepas dari bagaimana scene itu menangkap nilai-nilai kultur dan sosial yang sedang berkembang di lingkungan sekitarnya. Ketika suatu kota bisa menangkap nilai itu dengan baik, maka pembentukan scene-nya pun tak akan sulit. Para pelaku di dalamnya kemudian akan menjadikan nilai-nilai itu sebagai bahan bakar untuk pergerakan scene. Nilai-nilai itu pula yang lantas berperan sebagai pilar-pilar penunjang ekosistem kreatif secara keseluruhan.
Tapi, masalahnya, tidak semua kota bisa menangkap nilai kultur dan sosial yang ada. Keuntungan lain ketika kancah musik daerah berhasil menangkap value itu adalah musisi-musisi di dalamnya tak lagi berpikiran bahwa untuk sukses dan besar tak harus ke Jakarta, karena kota mereka menyediakan modal yang dibutuhkan. Jakarta hanya bonus, tatkala musisi-musisi itu bermusik dengan maksimal di skala lokal.
Apa yang masih menjadi ganjalan untuk tumbuh kembang scene di daerah?
Berbicara ganjalan scene daerah tentu tidak bisa lepas dari faktor audiens lokal, ya. Dulu, masalahnya adalah apakah karya band daerah bagus atau tidak. Jelas. Tapi, sekarang, dengan banyaknya dinamika yang ada, karya band-band daerah hampir sama bagusnya. Kualitas merata. Yang jadi persoalan ialah bagaimana cara agar karya yang bagus itu diterima audiens. Ini menjadi tantangan juga. Untuk menjawab pertanyaan itu, maka yang dibutuhkan adalah publisitas. Jadi, masalahnya bukan lagi bagus atau tidak karya band itu, melainkan bagaimana publisitas karya tersebut dilakukan.
Publisitas itu adalah tentang bagaimana musisi beserta karyanya dikenalkan. Ini semacam marketing. Selama ini, banyak band beranggapan bahwa alat marketing cuma butuh media sosial saja. Padahal, untuk menjual band, lebih-lebih dari daerah, butuh lebih dari itu. Band juga butuh publisis, pihak yang bertanggungjawab mengatur semua hal yang berhubungan dengan hubungan band di luar. Media publisitas bisa berwujud media massa, baik online maupun cetak, serta panggung-panggung pementasan. Ketika band lokal bisa menguasai itu, maka tak sulit bagi mereka untuk didengar banyak orang.
Contohnya bisa dilihat di Yogyakarta, ketika Mas Gufi, mampu memaksimalkan potensi-potensi di sana untuk terdengar di luar. Nah, inilah yang menjadi tugas seorang publisis. Yang dibutuhkan band-band daerah itu publisitas yang mampu memudahkan pergerakan mereka. Ini juga yang menjadi ganjalan penting dalam tumbuh kembang kancah.
Media musik banyak berguguran. Apakah ini punya pengaruh terhadap ekosistem musik di daerah?
Sebetulnya yang harus ditekankan di sini adalah kita tidak pernah kekurangan media. Ketika media satu hilang, maka akan banyak media baru yang lahir. Seperti itu polanya. Masa-masa Rolling Stone Indonesia, TRAX, maupun Hai memang sudah berakhir. Tapi, sekarang, lihat ketika media-media baru dengan kualitas yang bagus seperti Vice maupun Tirto perlahan mencuri perhatian.
Yang jadi persoalan bukan lagi banyak sedikitnya media, melainkan maukah media-media yang ada ini membahas musik daerah dengan segala potensi yang ada? Inilah yang kemudian menjadi tugas publisis seperti yang sudah saya jelaskan di jawaban sebelumnya. Para publisis ini punya peran untuk meyakinkan media-media yang ada sehubungan dengan publisitas band-band daerah.
Yang tak kalah jadi pembahasan: band-band daerah seringkali dipandang sebelah mata karena hanya mereka berasal bukan dari kota besar.
Sebenarnya band-band daerah dan Jakarta itu sama saja. Bedanya, banyak dari band-band daerah yang mampu menangkap, seperti yang saya bilang tadi, nilai sosial dan kultural di lingkungannya. Sementara band-band Jakarta tidak. Selain itu, yang membedakan adalah mereka berasal dari Jakarta dan mereka yang tidak berasal dari Jakarta. Menurut saya, anggapan merendahkan band-band daerah itu tidak ada. Mungkin lebih tepat jika disebut bahwa band-band yang dikata “merendahkan” tadi tidak bisa melakukan apa yang dilakukan band-band daerah. Ini menjadi tantangan juga untuk band-band daerah untuk bagaimana caranya agar terus memperlihatkan kemampuan mereka yang kemudian dapat menginspirasi band-band di kota-kota besar.
Masalah infrastruktur, seperti minimnya studio rekaman yang layak maupun perangkat teknis lainnya, dianggap jadi ganjalan berkenaan dengan tumbuh kembang scene di daerah.
Sejauh yang saya tahu, Makassar, misalnya, tidak mengalami hal seperti itu. Sebetulnya, yang patut dipertanyakan adalah apakah itu benar-benar masalah infrastruktur? Atau jangan-jangan persoalan sugesti yang membuat band-band daerah merasa harus ke Jakarta untuk bikin karya bagus? Era sekarang adalah era ketika bikin musik bisa dengan perangkat apa saja. Ketika kondisi itu tidak dimanfaatkan dengan baik, pertanyaannya apa mungkin ini juga persoalan SDM (Sumber Daya Manusia)?
Yang harus dikejar adalah learning process yang berlangsung terus-menerus. Saya kira, masalah infrastruktur merupakan masalah yang ditemui di era-era terdahulu, bukan sekarang. Itu sudah masalah klasik dan lama. Mungkin titik masalahnya terletak pada sugesti. Jika memang itu benar, maka, sulit juga untuk maju.
Sekarang berbicara soal Rock In Celebes. Tahun ini, merupakan tahun kesembilan event ini berjalan. Apa yang membuat Rock In Celebes awet?
Saya pikir, Rock In Celebes bisa bertahan sampai sekarang berkat networking yang sudah dijalin sejak lama. Melibatkan pihak-pihak yang bergerak dalam industri musik. Semakin ke sini, Rock In Celebes semakin berjejaring. Itu yang saya rasa menjadi alasan mengapa Rock In Celebes bisa bertahan sampai detik ini.
Bagaimana soal finansial yang notabene jadi poin krusial dalam penyelenggaraan sebuah festival? Banyak kasus yang memperlihatkan kondisi finansial yang buruk kerap membuat festival harus bangkrut. Seperti yang terjadi pada Rock In Solo.
Hal mendasar yang mesti diperhatikan betul sebelum membikin festival ialah ingin jadi seperti apa festival ini nantinya? Apakah semua lini penunjang festival sudah dipersiapkan dengan baik? Rock In Celebes bisa berjalan sampai sekarang karena, salah satunya, dibikin untuk support pergerakan scene Makassar. Ada motivasi untuk mengenalkan Makassar ke luar. “Kota ini harus dikenal, nih,” kira-kira seperti itu.
Perjalanan Rock In Celebes tidak instan. Ada proses panjang yang harus dilewati. Rock In Celebes lahir dari gig kecil yang diadakan di Chambers. Namanya Chambers Show. Acara ini sudah berlangsung rutin selama lima tahun. Keberadaan Chambers Show ini berarti banyak hal. Kita bisa tahu bagaimana menjadi promotor lokal, berjejaring dengan pelaku kancah, dan lain-lain. Dari situ, kita lantas termotivasi untuk bikin sesuatu yang lebih besar dan punya dampak kuat. Maka, jadilah Rock In Celebes.
Yang harus digarisbawahi ialah bahwa Rock In Celebes lahir karena di Makassar sudah ada pergerakan. Rock In Celebes hanya bagian dari proses yang sudah berlangsung sejak lama dan telah dipersiapkan penuh perhitungan. Ketika sebuah festival sudah memenuhi persyaratan semacam itu, maka, kondisi finansial, saya rasa, bisa ikut baik. Dan yang tak kalah penting: Rock In Celebes punya jaringan dengan scene di kota-kota lain seperti Yogyakarta, Bandung, Jakarta, sampai Sumatera. Itu juga jadi salah satu pilar keberlangsungan festival ini.
Dewasa ini, jamak dijumpai kondisi ketika sebuah festival terus-menerus memasang line up yang sama, dari tahun ke tahun. Apa pemicunya?
Saya rasa itu perkara regenerasi dan inovasi dari pihak panitia penyelenggara. Ada semacam kebuntuan sehingga line up yang hadir hanya nama-nama itu saja. Rock In Celebes, sebisa mungkin, menghindari masalah itu. Untuk menentukan band mana saja yang tampil, kami punya kurator. Kurator dari lintas disiplin. Bahkan ada yang berasal bukan dari industri musik. Prinsip kami adalah band yang pernah tampil di Rock In Celebes punya kuota tampil maksimal tiga tahun. Setelah itu, kami berupaya menjaring nama-nama baru. Komposisinya mungkin 30 persen (band lama) dan 70 persen (band-band baru).
Faktor itu pula yang kemudian menegaskan bahwa Rock In Celebes bukan semata soal betapa gaharnya line up yang ada, tapi bagaimana line up yang ada itu merepresentasikan suara kancah musik di Indonesia. Tiap tahun, kami selalu berupaya untuk menjaring potensi-potensi baru untuk diajak tampil di Rock In Celebes. Dari Jambi, Sumatera, Kalimantan, dan daerah lainnya. Kami empowering band-band daerah. Karena ketika itu bisa terwujud, keuntungannya tak hanya buat band, tapi juga buat kami. Kami akan punya jejaring yang kuat sebagai imbas dari hadirnya festival.
Anda bisa melihat bahwa Rock In Celebes hampir tidak pernah fantastis—dari sisi line up. Itu karena kami berupaya menjaga esensi festival. Bahwa festival itu adalah perkara menghubungkan, mencetak, memperkenalkan, dan akhirnya memperkuat ekosistem musik, terlebih di daerah.
Bagaimana sebuah festival bisa berjalan awet tapi tetap menjaga nilai-nilai idealismenya?
Tentu dengan menciptakan trust kepada pihak-pihak yang terlibat di festival secara keseluruhan, entah itu sponsor sampai partner. Dengan trust, sebuah festival bisa tumbuh. Tak hanya itu, saja, melalui trust ini pula, kami mendorong penonton untuk menganggap sebuah festival seperti milik mereka sendiri.
Ambil contoh seperti ini: kami selalu mendorong penonton yang mulanya hanya beli tiket di gelaran pertama, di gelaran selanjutnya lalu beli tiket dan minum. Kemudian, di gelaran berikutnya lagi, penonton bisa membeli merchandise. Hal-hal itulah yang bisa meningkatkan kepercayaan festival di mata partner. Kehadiran trust ini juga yang bisa membantu festival jika mengalami kesulitan pendanaan. Mereka tak akan ragu untuk kasih bantuan kepada panitia karena mereka percaya dengan reputasi kami.
Sejak awal pelaksanaan, Rock In Celebes selalu melangkah dengan penuh perhitungan. Tidak bisa sembrono. Untungnya, kami punya manajemen yang kuat. Ini juga jadi kunci keberhasilan festival. Dengan manajemen yang solid, maka besar kemungkinan festivalnya akan berjalan lancar.
Ketika itu semua sudah di genggaman, maka, saya yakin sebuah festival akan berjalan baik. Bisa awet sekaligus tetap menjunjung idealisme.
========================
Wawancara ini adalah bagian dari serial liputan Musik dan Kota. Dalam beberapa hari ke depan, Tirto akan menurunkan liputan kancah musik di kota-kota luar Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta.
Editor: Nuran Wibisono