tirto.id - Apa yang membuat kamu pergi ke festival musik?
Sejak membaca Music Tourism (2005), buku babon pariwisata musik yang ditulis dua orang akademisi Australia, Chris Gibson dan John Connell, saya sering bertanya tentang apa motivasi orang untuk pergi ke festival musik. Jawabannya tentu amat beragam --setidaknya dari orang-orang yang pernah saya wawancara. Namun yang paling sering saya temui adalah: menonton musisi favorit.
Beberapa festival besar di Indonesia, sebut saja Java Jazz atau Hammersonic, selalu mengundang banyak musisi dari dalam maupun luar negeri. Asyiknya festival adalah sifat alamiahnya yang menampilkan banyak musisi dalam satu acara, dan cukup dibayar dengan satu tiket masuk acara saja (tentu jadi tiga tiket kalau festival berlangsung selama tiga hari). Ini membuat penonton bisa menyaksikan banyak band dengan harga terjangkau. Bayangkan kalau kamu harus membayar satu demi satu tiket menonton Santana, James Brown, Jamie Cullum, atau Goo Goo Dolls. Karena festival musik, penonton bisa menyaksikan ratusan musisi dengan harga terjangkau.
Alasan lain orang datang ke festival musik adalah untuk bertemu manusia lain. Terkesan sebagai alasan yang aneh, tapi tidak begitu adanya jika kamu berada di lingkungan yang berbagi minat sama. Joanne Mackellar, dalam “Conventions, Festivals, and Tourism: Exploring the Network that Binds”, menulis bahwa orang-orang yang datang dalam sebuah festival biasanya digerakkan oleh, “...renjana khusus, masa lalu yang sama, atau kegemaran yang kuat.” Dalam kasus festival musik, segala renjana dan kegemaran itu ya bermuara pada satu hal: musik.
Namun musik bukan satu-satunya penentu tunggal orang datang ke sebuah festival musik. Motivasi orang datang ke festival musik berkembang ke arah yang makin lebar. Setidaknya sudah amat berkembang dari apa yang pernah diperbincangkan dengan asyik oleh Heather E. Bowen dan Margaret J. Daniels dalam “Does the Music Matter? Motivations for Attending A Music Festival” (2005).
Dua orang akademisi yang bergerak di bidang rekreasi ini membuat tiga payung besar motivasi para penonton datang ke festival musik. Pertama adalah apa yang disebut Discovery, atau bisa juga disebut sebagai Pencarian dan Pertemuan. Di payung ini, ada motivasi semisal: ingin mengetahui kultur lokal, bertemu orang-orang antar komunitas, mengalami hal-hal baru, juga rehat dari kesibukan dan rutinitas.
Payung kedua adalah Musik. Di bagian ini, ada motivasi macam mendengarkan dan menonton musik, juga menonton musisi khusus yang menarik perhatian. Di bagian ketiga, ada Enjoyment, bisa juga diartikan sebagai Bersantai. Ada setidaknya tiga motivasi di payung ini: menghabiskan waktu bersama teman dan keluarga, mengalami atraksi non musik (semisal kuliner, diskusi, ataupun workshop), serta pesta dan bersenang-senang.
Dari tiga payung besar itu, tampak bahwa sebenarnya motivasi orang datang ke festival musik itu puspawarna.
“Pertanyaannya, apakah musik itu penting dalam festival musik? Hasil dari kajian ini, tentu saja iya. Tapi dengan catatan. Manajer festival yang mengandalkan hanya musik itu sendiri, atau musisi tertentu untuk menarik penonton dalam jumlah besar, bisa jadi akan kecewa. Karena apa yang sama penting adalah kesenangan dan atmosfer festival yang menawarkan kesempatan untuk bersosialisasi dan adanya pengalaman baru dari hal-hal non musikal,” tulis mereka.
Bertemu, Berjejaring, Bernostalgia, dan Menikmati Festival
Folk Music Festival yang diadakan di Batu, Jawa Timur, 3-5 Agustus 2018 memuat semua apa yang disebut Bowen dan Daniels. Di tempat ini, saya merasakan pengalaman komplit dalam sebuah festival musik. Apa yang saya rasakan, jelas dirasakan oleh banyak pengunjung lain. Hardinansyah Putra Siji juga mengakui itu. Pria yang dikenal dengan panggilan Ardi Siji ini adalah penggagas salah satu festival musik terbesar di Indonesia, Rock In Celebes.
“Pada dasarnya, yang penting dari sebuah festival musik itu bukan hanya musiknya saja. Tapi juga pengalaman menontonnya. Karena sifat festival itu biasanya big day out, orang keluar rumah, berkumpul dan berinteraksi,” ujarnya.
Dalam festival yang dihelat di Kusuma Agrowisata, sebuah area resor dan hotel seluas 70 hektare yang terletak di ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut, apa yang disebut big day out itu benar-benar terjadi. Orang berkumpul, bertemu, ngobrol ini dan itu, tertawa-tiwi, di luar ruangan sembari menikmati musik, minum susu hangat, juga makan kacang rebus.
Folk Music Festival bisa dibilang mengalami perkembangan besar. Pertama kali diadakan di Surabaya pada 2014, festival ini hanya diadakan selama satu hari. Setelah sempat absen pada 2015, festival ini kembali pada 2016. Kali ini festival diadakan di Lembang Dieng, Malang. Lalu pada 2017, juga 2018, acara diadakan di Kusuma Agrowisata.
“Kenapa di Batu, karena ini adalah tempat saya tumbuh besar,” tutur Alex Kowalski, penggagas Folk Music Festival.
Tahun ini, untuk pertama kalinya dalam sejarah Folk Music Festival, turut disertakan acara diskusi. Dengan tajuk Literasi yang diadakan pada hari pertama, ada empat diskusi dengan tema berbeda. Pertama, ada Sekelebat Festival yang menghadirkan pembicara dari Rock in Celebes, Jogja-NETPAC Asian Film Festival, dan Makassar Internasional Writer Festival. Ada juga Folk Indonesia Timur, yang diisi oleh M. Istiqamah Jamad dari Pusakata dan Fuad Abdulgani dari band Elemental Gaze. Usai Maghrib, berlangsung sesi Semesta Media Online yang diampu oleh Sapto Anggoro dari Tirto.id, Ardyan M. Erlangga dari Vice Indonesia, dan Saylow dari Balebengong. Sedangkan di pamungkas, ada sesi Literasi Indonesia Timur yang menghadirkan Mahfud Ikhwan dan Aan Mansyur.
Acara diskusi ini, menariknya, diikuti oleh banyak penonton. Padahal acara ini juga dibanderol harga tiket sebesar Rp75 ribu. Ini membuktikan bahwa memang acara-acara selain musik bisa mendorong orang untuk datang ke sebuah festival musik. Selama ini di Indonesia selalu ada anggapan bahwa festival musik ya cukup diisi musik, tak usah diisi acara lain, apalagi acara “berat” seperti diskusi. Folk Music Festival mematahkan anggapan itu. Selain diskusi, ada sejumlah acara lain di luar musik --yang juga diikuti oleh banyak penonton. Ada dramatic reading oleh Gunawan Maryanto, ada workshop dari Pappermoon Puppet Theatre, lokakarya pewarnaan alamiah untuk batik lewat Biru Bercerita, hingga lokakarya berjudul asyik: Cara-Cara Tidak Kreatif Untuk Menulis Puisi.
Perkara festival juga tidak akan bisa lepas dari makanan dan minuman. Tampak sepele, tapi nyatanya tidak. Connell dan Gibson di Music Tourism (2005) bilang bahwa servis di festival musik itu amat vital, dan ini termasuk adanya booth makanan dan minuman. Sedangkan Bowen dan Daniels memasukkan “pusat penjualan makanan berukuran besar” sebagai hiburan tambahan.
“Pengeluaran terbanyak pengunjung festival adalah untuk makanan, minuman, merchandise, juga penginapan dan transportasi,” tulis Connell dan Gibson.
Di Folk Music Festival, yang ditampilkan tak hanya makanan kiwari. Ada pula makanan-makanan tradisional yang mungkin jarang disantap orang dari kota, atau dari luar negeri. Ada ketan berbalur bubuk kedelai, tahu petis, kacang godog, dan jagung rebus. Sebagai salah satu sentra penghasil susu murni, ada pula susu hangat dan es dengan berbagai rasa. Tentu saja festival seperti ini juga memberikan etalase untuk produk-produk lokal. Salah satu yang paling unik sekaligus menarik adalah minuman botol dengan nama Sam Brewok. Rasanya klasik, apalagi yang Rocker Cola, mengingatkan rasa coffee beer yang dulu pernah berjaya.
Tentu saja yang paling utama adalah sajian musik. Terlepas dari perdebatan klasik tak kunjung usai tentang definisi musik folk --dan ini yang rawan menyempitkan gagrak sebuah festival--, Folk Music Festival berhasil menyajikan pengisi acara yang solid dan beragam. Dari atas dua panggung, penonton bisa menyaksikan Gardika Gigih yang memencet tuts piano sama mudahnya seperti memencet bel rumah, Sandrayati Fay yang selalu mempesona, Adrian Yunan yang bersahaja namun berkarakter kuat, Navicula yang tampil tiba-tiba dan mengejutkan, Daramuda yang merupakan proyek ambisius namun tetap menyenangkan, Efek Rumah Kaca yang rasanya tak perlu penjelasan panjang lebar lagi, Wake Up, Iris! Yang dengan brilian memutuskan tampil di tengah penonton, Fourtwnty yang sedang ada di atas daun industri musik Indonesia, hingga Folktivalist, alias tiga orang personel FSTVLST yang tampil pertama kalinya dalam format akustik.
Di luar semua atraksi musik dan kawan-kawannya, yang juga amat menyenangkan adalah pertemuan dengan manusia lain. Ada kawan-kawan lama yang tetap berbagi api sama, ada kawan-kawan baru dari Jambi, Makassar, Ponorogo, Bandung, juga Malaysia. Ada yang berbagi jaringan. Sejumlah gerombolan lain tertawa-tawa sambil mengudap kacang rebus dan sari apel yang menghangatkan. Rasanya menyenangkan berada di tengah itu semua. Pertemuan ini yang kemudian mengikat semua penonton dan pengisi acara. Mereka berbagi renjana yang sama, kecintaan yang sama. Ada yang datang untuk musik, ada yang datang untuk bertemu kawan, ada pula yang datang untuk piknik.
Di Folk Music Festival, rasanya semua menemukan apa yang mereka cari.
Editor: Nuran Wibisono