tirto.id - Butuh waktu sekitar setengah jam perjalanan dari pusat Kota Makassar untuk sampai ke Kedai Buku Jenny, sebuah perpustakaan kecil yang berlokasi tak jauh dari Universitas Hasanuddin dan Universitas Bosowa.
Membicarakan Kedai Buku Jenny berarti berbicara tentang dua hal: perannya sebagai ruang baca alternatif serta pendorong geliat kancah musik arus pinggir, atau biasa disebut “musik indie” di Makassar. Kedai Buku Jenny lahir dari imajinasi Bobhy dan Aswin, dua anak rantau yang 12 tahun lalu sedang menempuh studi di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Waktu itu, selain disibukkan dengan agenda perkuliahan, rutinitas keduanya diisi dengan berjejaring bersama beberapa komunitas literasi. Tak cuma literasi, keduanya juga mulai berkenalan dengan kancah musik Yogyakarta yang begitu hidup dan beragam.
Dari banyak band itu, ada satu yang amat melekat di ingatan: Jenny, band rock alternatif yang dimotori Farid Stevy. Kini, Jenny sudah bubar dan menjelma jadi FSTVLST. Namun, nama Jenny diabadikan jadi nama kedai buku milik Bob dan Aswin yang berdiri pada 2011.
Ruangan Kedai Buku Jenny tak terlalu luas. Ukurannya kira-kira enam kali empat petak. Di dalamnya, ada cukup banyak perkakas, mulai dari meja kayu, empat buah kursi, lemari kecil, sampai rak yang tertempel di dinding. Di sebelah kiri ruangan, ada tumpukan kumpulan buku. Sedangkan di sayap kanan, ada tumpukan kaset dan CD.
Di tengah keasyikan menyelami koleksi buku dan kaset itu, sang tuan rumah pun datang. Mengenakan kaos oblong berwarna abu-abu, Bobhy, yang bernama asli Zulkhaer Burhan, menyapa saya dengan ramah. Awal pembicaraan kami sudah menyasar Jenny, band yang terpengaruh oleh The Strokes itu.
“Inspirasinya memang datang dari situ [band Jenny]. Mengingat dulu, waktu di Yogya, band ini cukup menarik atensi saya. Menyenangkan melihat mereka,” katanya kepada Tirto.
Butuh waktu setahun bagi Kedai Buku Jenny untuk mempersiapkan segalanya. Pada 2012, pengurus Kedai Buku Jenny mulai menyusun program yang diharapkan mampu menghidupi keberlangsungan perpustakaan. Inti dari programnya: mengawinkan musik dan literasi. Setelah digodok, lahirlah Kedai Buku Jamming—atau biasa disingkat KB Jamming pada 2013. Mengambil tempat di garasi perpustakaan, KB Jamming punya dua tujuan.
“Mendekatkan scene musik Makassar, terutama indie, yang sebelumnya tidak dapat panggung serta mengenalkan pembahasan tentang kota beserta dinamika yang ada. KB Jamming diawali dengan sesi diskusi dan kemudian ditutup dengan show,” terang Bob.
Edisi pertama KB Jamming membahas tentang keberadaan pasar tradisional di Makassar, sebuah tema yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan musik. Menurut penuturan Bob, acara pertama KB Jamming berlangsung “kurang antusias.” Mereka yang datang kebanyakan menunggu band tampil—dalam format akustik—dibanding mengikuti sesi diskusi.
Tapi, kondisi tersebut tak membikin punggawa Kedai Buku Jenny patah arang. Sesi KB Jamming terus diadakan dengan upaya seperti memperluas segmen bahasan—tak melulu soal isu perkotaan tapi juga soal musik—sampai mengundang pembicara maupun kolektif dari luar Makassar.
Lambat laun, upaya Kedai Buku Jenny membuahkan hasil. Audiens yang datang ke KB Jamming tak lagi sebatas menunggu aksi band tamu, melainkan juga mengikuti sesi diskusi dengan seksama. Tema diskusi kian beragam. Band-band yang dihadirkan juga bervariasi. Banyak dari mereka adalah nama-nama baru dalam kancah musik arus pinggir di Makassar. Dua semesta, musik dan literasi, pun seperti menemukan ruang untuk berinteraksi dan, tak ketinggalan, berkolaborasi. Total, hingga saat ini, KB Jamming sudah berlangsung sebanyak 21 kali.
“Buku, atau dalam hal ini literasi, dan musik pada hakikatnya saling mempengaruhi. Keduanya menciptakan hubungan yang saling membutuhkan dan saling mendukung satu sama lain. Ikatan keduanya layaknya perkawinan,” tutur Bob.
C2O: Dari Perpustakaan Hingga Netlabel
Nyaris tak ada yang berbeda dari C2O Library & Collabtive ketika saya menginjakkan kaki di sana untuk kali kedua. Perjumpaan saya dengan C2O bermula pada 2015. Kala itu, saya memperoleh rekomendasi dari teman yang sedang menempuh studi di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS).
Perpustakaan C2O berdiri pada 2008. Tempat ini lahir sebagai respons atas minimnya perpustakaan yang proporsional—secara pengelolaan—di Surabaya. Dalam kurun waktu itu, masyarakat hanya mengenal perpustakaan milik pemerintah yang jam bukanya begitu terbatas.
“Tujuan lain, kami ingin menyediakan medium untuk temen-temen yang sedang melakukan riset. Selama ini, mereka yang ingin riset, harus ke Jakarta atau Bandung dulu guna memperoleh referensi,” jelas Kathleen Azali, pendiri C2O, kepada Tirto.
Kath beserta rekan-rekannya lantas putar strategi. Mereka mempromosikan C2O sebagai tempat yang tidak semata menekankan aktivitas membaca teks-teks dari buku. Serangkaian program pun dibikin; dari pemutaran film, diskusi musik, sampai kegiatan kreatif lainnya.
“Ini langkah yang hendak kita lakukan bahwa di C2O, kamu tak sebatas bisa membaca teks, tapi juga membaca dunia,” imbuh Kath.
Program-program yang dibuat C2O membuka keran keterlibatan komunitas dengan berbagai disiplin. C2O seperti menjadi ruang sekaligus penghubung komunitas-komunitas yang ada.
“Ditambah, di Surabaya, ruang publik susah diakses. Birokrasi berbelit dan mekanismenya dipersulit. Kebetulan C2O punya space dengan sistem peminjaman yang dipermudah. Jadi, aku rasa, itu juga yang bikin orang datang ke sini,” jelasnya.
Kancah musik arus pinggir di Surabaya adalah salah satu lini yang kena dampak positif dari keberadaan C2O. Anitha Silvia, manajer Silampukau, mengatakan, di C2O terdapat banyak inspirasi yang membantu tumbuh kembang band dan kancah. C2O, Anitha bilang, tak cuma perpustakaan melainkan juga “ruang eksperimen” yang memungkinkan kolaborasi lintas disiplin.
Pada akhir 2013, C2O mengeluarkan SUB/SIDE, sebuah netlabel—label musik berbasis internet—yang ditujukan untuk mendokumentasikan dan menyebarkan musik di Surabaya. Bekerjasama dengan pegiat musik lainnya, C2O, lewat SUB/SIDE, meluncurkan rilisannya secara daring agar publik mudah mengaksesnya.
Tak hanya mempublikasikan rilisan, SUB/SIDE juga menyelenggarakan program bernama SUB/SIDE Live guna mendorong adanya interaksi musik dan budaya antara Surabaya dan wilayah-wilayah lainnya, baik yang terdapat di dalam maupun luar negeri.
Selain mengadakan program sendiri, C2O juga tak ragu untuk membantu band-band lokal mempersiapkan karyanya. Momentumnya terjadi kala mereka mendukung Silampukau, duo folk yang sempat jadi indie darling pada 2015. Dukungan yang diberikan C2O berwujud pembuatan situsweb, penulisan liner notes, hingga perumusan strategi promosi dan penjualan album.
“C2O sangat membantu. Meski begitu, C2O sama sekali tidak mengarahkan musik ini harus ke mana, musik itu harus bagaimana. C2O hanya sebatas membantu dalam sisi manajemen. Dan itu begitu signifikan,” ujar Anitha.
Menjaga Kancah
Band-band Makassar memiliki karakter yang cukup beragam, dari post-rock, shoegaze, eksperimental, noise, folk, punk, hingga indie-pop. Hampir semua genre punya perwakilan masing-masing dan pernah bersinggungan dengan Kedai Buku Jenny. Salah satu contoh band yang mencuri perhatian yakni Theory of Discoustic.
Kolektif ini berdiri pada 2010, tatkala anggotanya sedang menempuh kuliah di Universitas Hasanuddin. Awalnya, baik Adriady Setia Dharma, Dian Mega Safitri, Fadli, Hamzahrullah, Nugraha Pramayudi, maupun Reza Enem hanya menganggap kegiatan bermusik untuk senang-senang belaka.
Namun, kesenangan tersebut membikin mereka ketagihan dan keterusan. Pada 2013, mereka merilis album pendek bertajuk Dialog Ujung Suar. Album ini memuat dua komposisi: “Teras Khayal” dan “Bias Bukit Harapan.” Kendati cuma menyediakan sepasang lagu, mereka cukup menarik perhatian karena ramuan musik yang cukup tak lazim.
Musik Theory of Discoustic berpijak pada ragam folk. Akan tetapi, Anda akan menjumpai banyak elemen yang disertakan mereka di dalamnya; bebunyian tradisi Bugis, deru mesin sampling, hingga ketukan ritmis alat perkusi. Semua dibungkus rapi, menyatu dengan lirik-lirik berbahasa lokal yang bercerita soal kehidupan dan alam semesta.
“Kami memilih folk karena dekat dengan masyarakat kita. Folk yang kami pilih bukanlah folk pop yang biasa dijumpai di Amerika maupun folk Icelandic. Tapi, folk yang benar-benar mencerminkan kedekatan dengan masyarakat dan tak lepas dari akarnya,” terang Reza, gitaris.
Usai debutnya pada 2013, Theory of Discoustic meneruskan kiprahnya dengan merilis album Alkisah (2014) dan La Marupe (2018). Dua album tersebut punya benang merah dari album sebelumnya: mempertahankan corak Bugis di setiap lagu. Kata Reza, bagi Theory of Discoustic, memasukkan unsur tradisi, dalam hal ini Bugis, bukan sebatas gimmick. Mereka tak ingin tradisi dipandang sebagai pelengkap. Mereka meyakini bahwa elemen tradisi bisa menghidupkan sebuah musik lebih dari apa pun.
Selain Theory of Discoustic, Makassar masih punya banyak stok band bernas. Kapal Udara yang memainkan folk, Surgir yang memainkan musik post-rock eksperimental, Urbaneggs yang memilih world music, Minor Bebas yang memacu grunge, hingga Next Delay yang menghamba pada shoegaze. Beragamnya genre yang melekat pada band-band arus pinggir di Makassar ini adalah cara mereka untuk menjaga api kancah terus menyala.
Sementara bagi Surabaya, cara mempertahankan antusias kancah adalah dengan rutin menyelenggarakan gig. Pihak yang getol menempuh jalur ini adalah Rumah Gemah Ripah, sebuah promotor, lewat acara bertajuk “Bojakrama.”
Rumah Gemah Ripah sendiri punya hubungan khusus dengan C2O. Sebagian besar anak-anak muda di dalamnya tumbuh dan mengembangkan diri di perpustakaan itu. Bahkan, berdirinya Rumah Gemah Ripah berawal dari proyek volunteering yang diadakan C2O dalam satu event.
Egha AP, pentolan Rumah Gemah Ripah, menuturkan bahwa nama Bojakrama diambil dari bahasa Sanskerta yang kira-kira berarti, “makan, senang, dan berkumpul.” Pertunjukkan pertama mereka terjadi pada Februari 2016 tatkala mereka mendatangkan band post-rock asal Negeri Jiran, DRGHY. Sejak saat itu, mereka rutin mengadakan gig dengan bintang tamu dari dalam dan luar negeri. Total, sampai saat ini, sudah 15 pertunjukkan yang mereka gelar.
Menurut Khaisar Hafidh, frontman Eisen, band stoner-rock Surabaya, keberadaan Bojakrama cukup membantu berkembangnya kancah di Surabaya. Keunggulan Bojakrama, terang Khaisar, terletak pada proses kurasi yang selektif. Artinya, kualitas pengisi acara tetap diutamakan.
“Dari situ, band-band baru jadi lebih termotivasi dan serius mempersiapkan karya mereka. Semacam trigger untuk terus memacu pedal gas,” ungkap Khaisar. “Di lain sisi, Bojakrama juga punya andil untuk mendorong band-band di sini jadi lebih percaya diri dengan kemampuan mereka.”
Reputasi Bojakrama perlahan mulai menancap kuat di kancah Surabaya. Namun, bagi Egha, itu hanyalah bonus. Harapan mereka sejauh ini adalah terus bisa memperoleh ruang untuk menyelenggarakan gig.
“Sembari kami berupaya memperbaiki sistem produksi Bojakrama agar terus sustainable. Mulai dari merchandise, tiket, dan sponsor,” pungkas Egha. “Target setelahnya adalah festival.”
Apa Selanjutnya?
Di Makassar, band baru banyak bermunculan. Ragam musik yang dibawakan juga beragam. Kesadaran untuk melek literasi kian menjamur di sudut-sudut kota lewat lapak kecil maupun acara besar seperti Makassar International Writer Festival. Bisa dibilang ini buah kesuksesan perkawinan antara literasi dan musik di Makassar.
Pertanyaannya: apa yang masih jadi ganjalan?
Bagi Bobhy, jawabannya: banyak. Masalah di depan mata antara lain: infrastruktur produksi bagi band-band lokal yang minim, panggung mikro yang kian tergerus ekspansi gig bersponsor rokok, hingga regenerasi yang tak jalan. Meski begitu, Bobhy percaya, masalah-masalah itu tak membuat Makassar kehilangan potensinya sebagai salah satu daerah dengan kultur musik arus pinggir yang menakjubkan.
“Harus sabar untuk menghidupi scene ini. Adalah bagian dari proses untuk menciptakan scene yang sehat dan dinamis. Makassar sekarang berjalan ke arah sana,” terang Bobhy yang sehari-hari bekerja sebagai Kepala Prodi Hubungan Internasional di Universitas Bosowa ini.
Sedangkan di Surabaya, menurut Kath, masalah yang sedang dihadapi ialah minimnya ruang publik dan berbelitnya birokrasi dari pemerintah. Kedua hal itu dirasa jadi batu sandungan di tengah menggeliatnya ekosistem musik dan literasi di sana. Tapi, Kath tetap bersyukur bahwa perlahan literasi mulai ambil panggung dan diminati banyak orang.
Tentu, bagi Kath, pencapaian tersebut bisa ada karena terbantu oleh musik. Dua entitas ini, literasi dan musik, terbukti bisa berkelindan dengan baik. Contohnya bisa ditengok di ajang Folk Music Festival 2018 yang menampilkan sesi diskusi dan literasi dalam linimasa acaranya.
“Siapa pun kamu, dari mana pun kamu, semua bisa berkontribusi untuk perkembangan scene. Yang penting, sekarang, adalah bagaimana caranya kita bikin gate guna mengakomodir geliat yang ada," kata Anitha.
========================
Tulisan ini adalah bagian dari serial liputan Musik dan Kota. Dalam beberapa hari ke depan, Tirto akan menurunkan liputan kancah musik di kota-kota luar Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta.
Editor: Nuran Wibisono