tirto.id - Seharusnya kami bertemu seminggu sebelumnya, di Kemang Timur. Tapi karena kesehatannya memburuk, pertemuan itu ditunda. Selasa, 6 Desember sore, kami menyambangi rumahnya di Lebak Bulus II Dalam, Jakarta Selatan.
Rumahnya asri. Di sebelah kiri ada semacam gapura, pintu masuk ke rumah utama, pos satpam. Di sebelah kanan, ada setapak kecil berbatu menuju pendopo yang di sekitarnya ditumbuhi rerumputan dan berbagai jenis bunga dan pepohonan. Di pendopo itu ia menerima kunjungan dari masyarakat, wartawan, atau kegiatan-kegiatan lain yang melibatkan cukup banyak orang. Bagian dalam rumahnya terletak di bawah tanah, dari beranda pendopo bisa terlihat ruang keluarga.
Ketika kami datang, ia masih menerima wawancara dari sebuah stasiun televisi. Kami diterima anak-anak muda bersemangat yang sehari-hari mendampingi setiap kegiatannya. Di bagian belakang rumah, terlihat anak-anak dan beberapa polisi sedang bermain bola. Setelah menunggu sekitar satu jam, kami dipersilakan masuk pendopo dan menyiapkan perkakas-perkakas wawancara sementara si empunya rumah sembahyang magrib.
Ia menyalami dan menyapa kami dengan ramah dan menjawab pertanyaan-pertanyaan kami dengan tenang. Berikut bagian pertama wawancara bersama Anies Baswedan.
Apa saja aktivitas Anda setelah menjadi calon gubernur?
Kampanyelah.
Ke mana saja, apa saja kegiatannya, kok sampai sakit?
Bayangkan, Anda bicara sehari enam kali, tujuh kali di lingkungan yang polusinya luar biasa tinggi, nonstop, mikrofon gonta-ganti, jalan dua bulan. Alhamdulilah, kalau manusia biasa ya batuklah. Kalau robot, enggak batuk.
Tapi saya menikmati. Ini lebih dari sekadar kampanye. Saya merasa ini seperti perjalanan spiritual. Saya menyaksikan sisi-sisi lain dari kehidupan berbangsa kita.
Anda dikenal sebagai orang yang terbiasa berbicara dengan bahasa kelas menengah ke atas, dalam kunjungan-kunjungan itu mengalami kesulitan?
Komunikasi itu pengirim pesan, isi pesan, dan penerima pesan. Kalau saya berkomunikasi, saya bukan berekspresi. Kalau berekspresi, itu tergantung saya. Kalau berkomunikasi, tergantung [dua arah]. Ketika saya berkomunikasi dengan ibu-ibu rumah tangga di kampung-kampung, ya saya harus menggunakan bahasa yang bisa dipahami oleh penerima pesan. Jadi kalau Anda lihat saya ngomong di sana, pasti berbeda dengan saya yang lagi ngomong di sini dan beda lagi kalau ngomong di forum internasional.
Ada pengalaman unik?
Oh, macam-macam. Macam-macam, macam-macam. Dari mulai yang emosional sampai yang jenaka. Itu ada semua. Yang lucu, misalnya ada yang bilang, “Pak Anies, minggu lalu saya baru mantu. Tendanya belum lunas, Pak.” Lucu betul. Sampai pertanyaan yang serius. Soal kebijakan mendasar, kemacetan, reklamasi, banyak juga itu. Dan yang emosional, emosional. Bayangkan ibu-ibu, dugaan saya usianya 75 tahun, datang dan enggak mau melepas tangan saya.
Fans?
Bukan. “Tolong, Pak, saya sudah lama miskin. Tolong, lindungi kita, Pak.” Ini yang saya katakan sebagai perjalanan spiritual.
Nomor satu, saya gak pernah daftar jadi gubernur. Saya gak pernah mengajukan diri. Saya ini diundang dan saya mengerjakan. Dan ketika saya mengerjakan, saya melihat justru ini seperti tanggung jawab moral yang harus saya lunasi. Warga menyampaikan aspirasi. Saya tidak melihatnya sebagai sebuah transaksi, tetapi titipan harapan. Dan titipan harapan itu, sebagian bisa kita dengar dengan telinga, sebagian bisa kita lihat dengan mata, tetapi mayoritas dirasakannya pakai hati. Anda lihat, Anda rasakan.
“Pak, saya ini sudah susah.”
“Ibu sudah berapa lama di sini?”
“Saya di pinggir sungai ini, Pak, sejak tahun 69.”
Anaknya enam, semuanya di situ. Jangan pernah tanya mereka, “KTP-nya Jakarta apa enggak?” Mereka sudah di Jakarta sebelum kita semua ke Jakarta.
Itu kenapa Anda pernah bicara di media bahwa kemiskinan itu bukan soal angka, bukan soal data, tetapi soal rasa? Di media sosial dan beberapa forum internet, Anda diolok-olok karena bicara begitu. “Pak Anies ini kok ngomongnya mengawang-awang? Kemiskinan itu ada angkanya, ada datanya, harusnya Pak Anies ngomong langsung apa programnya—segala macam.” Tanggapan Anda?
Ya. Di situlah problemnya ketika kemiskinan direduksi jadi angka. Saya seorang ekonom. Master saya di bidang moneter. Dan saya bisa challenge Anda soal kebijakan moneter. Saya bisa ngomong angka sampai detail. Saya bisa ngomong derivatif sampai detail. I know numbers. Karena saya dilatih sebagai seorang ekonom, sebagai ahli statistik, ekonometri, justru karena itu saya menghargai rasa di balik angka. Kebanyakan dari kita enggak.
Ketika kemiskinan turun dari 7 persen jadi 6 persen jadi 5 persen, buat saya itu bukan penurunan. Kemiskinan itu masih ada. Siapa sih yang bilang kemiskinan itu sekadar angka? Semua pemimpin dunia, Anda cek saja, semua pemimpin dunia pasti akan mengatakan kemiskinan itu bukan soal angka.
Kemiskinan adalah kondisi hidup, soal rasa orang hidup. Di situ ada kompleksitas, lebih dari sekadar angka. Ketika pikiran diekspresikan dalam bentuk huruf-huruf yang jumlahnya tak lebih dari seratus empat puluh, maka kompleksitas itu mengalami reduksi yang luar biasa dan, saat itu, kita sudah mengolok-olok diri kita sendiri karena kita tidak bisa memahami kompleksitas persoalan sosial itu.
Saya merasa bersyukur bahwa itu menjadi bahan olok-olok. Karena itu nanti akan dicatat oleh sejarah. Dan saya bersyukur. Kenapa? Karena nanti saya akan berani berhadapan dengan sejarah. Ini yang saya katakan. Justru karena saya mengetahui angka, justru karena itu saya bisa merasakan apa yang ada di balik angka. Saya malah berharap, siapapun yang memimpin Jakarta jangan melihat kemiskinan itu sebagai persoalan angka. Kata-kata ini saya ungkapkan sudah hampir sepuluh tahun lebih, “Jangan bicara tentang penuntasan kemiskinan.”
Coba lihat konstitusi kita, ada enggak “penuntasan kemiskinan”?
Tidak ada.
Ya, tidak ada. Adanya “memajukan kesejahteraan umum.” Ada enggak “mengurangi kebodohan”? Adanya “Mencerdaskan kehidupan bangsa.” Kenapa? Karena ada rasa di balik kata.
Nah, akhir-akhir ini kata-kata kurang dihargai, sehingga kata-kata itu sering nggak dianggap penting. Karena kata-kata sering tidak dianggap penting, maka makna di balik kata tidak terlalu dipikirkan. Lah, kalau makna di balik kata enggak dipikirkan, enggak ada Tirto, enggak ada koran, enggak ada semuanya. Itu kan ada karena ada makna di balik kata.
Anda bertemu banyak ibu-ibu yang tinggal di pinggiran sungai. Apa yang akan Anda lakukan terhadap warga yang tinggal di bantaran sungai itu? Kita tahu Ahok banyak dikritik karena melakukan penggusuran, apa solusi dari Anda?
Saya tidak melihat ini sebagai persoalan pemukiman saja. Saya melihatnya sebagai masalah keadilan sosial: Ada masalah penghidupan, ada masalah kesehatan, ada masalah pendidikan, ada masalah tempat tinggal. Nah, kita kebanyakan mendekatinya sebagai permasalahan tempat tinggal. Itu sebabnya saya mau menawarkan kepemimpinan dengan tiga level. Gagasan. Kata. Karya. Menyelesaikan masalah itu ada potret besarnya. Ini kan tidak semata-mata masalah tinggal di pinggir sungai. Solusinya apa? Solusinya, harus empat-empatnya dimasukkan. Langkah konkretnya apa?
Satu, penataan ekosistem. “Wuih, rumit betul bahasan—penataan ekosistem.” Kita lagi-lagi tidak mau menghormati kompleksitas, maunya yang sederhana. Apa sih ekosistem itu? Ekosistem adalah interaksi antar pelaku. Di laut ada ekosistem laut. Kalau ini ekosistem manusia. Jadi, perbaikan ekosistem manusia. Caranya bagaimana? Satu, secara fisik dibuat bersih, dibuat nyaman, dibuat rapi, soft infrastructure, dibuatkan ruang terbuka supaya warga bisa berinteraksi, dibuatkan ruang untuk kegiatan mereka belajar, kegiatan berolahraga, kegiatan seni. Sehingga menjadi sebuah tempat yang hidup.
Selama ini, daerah yang kotor, kumuh, kita pandang “Oh, itu miskin, dan miskin harus dihilangkan dari pemandangan”. Karena itu kita pindahkan ke tempat yang baru. Di situ kenapa problematik. Karenanya, saya justru akan menata lingkungan itu. Bagaimana menatanya? Begini, kalau menata, jangan memulai dari nol. Kenapa enggak dari nol? Memangnya Indonesia negara yang pertama yang punya masalah slum? Memangnya Jakarta kota pertama yang punya masalah slum? Lihat Surabaya, sudah berhasil menata. Lihat Malang, berhasil menata. Lihat Jogja, berhasil. Lihat Bandung.
Jadi, bukan rakyat dipindah, tetapi justru membuat tempat ini menjadi living neighbourhood. Bersih, sehat. Bisa? Bisa. Bisa dikerjakan, sangat bisa.
Saya beri contoh. Jika sebuah kampung, misalnya, ini nyata nih di Jakarta, jumlah rumahnya 80, jumlah KK-nya 800. Artinya, satu atap itu bisa dibagi sepuluh KK. Kenapa kita dari pemerintah tidak memperbaiki dari infrastruktur, hard infrastructure, bukan dibongkar? Dicat ulang, dibersihkan ulang, gorong-gorong dibersihkan. Kemudian, panggil para seniman, para arsitek, bantu tuh garap di satu wilayah sehingga tempat itu menjadi bersih. Bayangkan 20-30 arsitek, kompetisikan saja, di 20-30 RW, bandingkan mana yang lebih bagus. “Ayo,” arsiteknya suruh merancang itu. Terus panggil private sector, “Anda siapkan catnya, Anda siapkan CSR-nya,” jadi tuh. Bukan sekadar dipindah. Tapi bring dignity, bring beauty.
Terus gimana caranya kalau di Jakarta? Saya membayangkan, jangan dikerjakan semuanya langsung. Kerjakan sepuluh sampai lima belas titik, jadi contoh. Terus sepuluh sampai lima belas titik itulah yang diduplikasi. Kalau kita langsung mau mengerjakan semuanya, gak bisa. Kira-kira begitu.
Itu bisa dikerjakan dalam waktu cepat?
Bisa. Justru lebih cepat daripada Anda membangun Rusunawa. Cek saja. Kenapa? Karena tidak melakukan land clearing. Tapi ada catatan, ya—ada beberapa daerah yang memang tidak bisa dibegitukan.
Misalnya?
Misalnya, tempat yang di situ ada bantaran sungai, dan sungainya tersisa dua meter, tiga meter. Ya itu memang harus dipindah, enggak ada pilihan. Karena memang ini daerah aliran sungai yang akan mengganggu. Tapi kalau tidak [di daerah aliran sungai], saya sih membayangkan kampung-kampung ini menjadi kampung seni. Orang-orang datang ke Jakarta bisa melihat: Inilah kampung seni Indonesia.
Untuk yang perlu direlokasi tadi, bagaimana, kira-kira ada solusi apa? Menghadapi kompleksitas, eksistensinya begitu, caranya?
Pembicaraan saya selama ini dengan warga, hampir semua mengatakan, “Kami tidak keberatan dengan relokasi...”
Asalkan?
Diajak bicara. Ketersinggungan terbesar itu justru karena mereka tidak pernah diangggap…
Dibuldozer.
Precisely. Kita harus melihat ini sebagai sesama warga negara. Dan saya ingin kelas menengah ke atas menghormati mereka yang masih miskin, sebagai saudara sebangsa. Jangan mereka yang masih miskin ini dianggap masalah yang harus ditiadakan di kota ini. Jakarta ini berapa banyak sih penduduk aslinya? Mayoritas juga kan datang ke sini. Nah, tugas pemimpin adalah membangun, uniting spirit. Bukan malah dividing spirit, yang justru membuat seakan-akan si miskin harus ditiadakan dari kota ini dan ramai-ramai membangun opini ”Mari kita bersihkan mereka dari kota ini”.
Pengalaman saya berdialog dengan mereka, “Pak, gimana kalau harus pindah?”, “Siap, tapi kami diajak bicara”, pindahnya itu kemana, diberitahu, prosesnya seperti apa, durasinya berapa lama, itu.
Untuk kasus penggusuran, mengapa Anda tidak lebih lantang dan ofensif kepada petahana?
Sehingga?
Sehingga lebih banyak dibicarakan publik, dan orang jadi lebih tahu program Anda.
Ya, itu buat teman-teman media mungkin menarik.
Oh, bukan begitu. Misalnya ketika penggusuran di Kampung Pulo, jika Anda lebih vokal, seperti Romo Sandyawan, bukankah isunya jadi lebih terdengar? Dan kelas menengah kita akan lebih sadar tentang hak-hak si miskin, bukan hanya mengiyakan penggusuran. Ini bukan cuma sensasi media.
Iya. Tapi juga begini. Saya malah melihat salah satu masalah di kita: Makin hari makin tajam. Kata-kata dibebaskan meluncur dari mulut kita masing-masing. Dan saya tidak mau ikut berkontribusi di situ. Mulut kita ini makin tajam. Twit kita makin tajam. Facebook kita makin tajam. Saya memilih untuk tidak terlibat dalam proses tajam itu. Kenapa? Karena yang terjadi ini, percikan-percikan ini, menghilangkan unity. Saya memilih enggak terlibat.
Di situasi sekarang, banyak orang menggebuki inkumben bukan karena kebijakannya, yang menggusur dan sebagainya, tetapi justru selip omongannya. Anda menulis di Facebook, seharusnya Ahok tidak mengucapkan itu, padahal Anda selalu berbicara tentang kebhinekaan, tenun kebangsaan, dan sebagainya. Alih-alih mendinginkan, bahwa ini sebaiknya biarkan saja, bahwa kita tidak perlu tersinggung, mengapa Anda malah menyalahkan Ahok?
Saya menyalahkan dan menyalahkan total. Saya menyalahkan sekali. Menurut saya itu konyol.
Ucapannya memang konyol, tapi tidak seharusnya kita…
Justru itu problemnya. Ketika saya mengatakan itu, Anda justru bilang, “tolong jangan kritik Ahok”. Anda enggak konsisten. Ketika saya katakan terus terang, ketika saya mengungkapkan, Anda malah mengatakan,”Pak Anies, Anda harusnya melindungi.”
Untuk yang ini, bukan yang gusur-gusuran.
Anda yang enggak konsisten di situ dan Anda harus berkaca. Justru saya katakan, pilih kata-kata itu, hormati kata-kata itu.
Ketika Anda pejabat publik, Anda mengungkapkan sesuatu itu punya konsekuensi. Di situ [Facebook] saya tidak mengatakan [Ahok] menista atau tidak, setuju atau tidak. Saya katakan, “Enggak perlu diungkapkan”.
Anda yang melencengkan, kenapa harus saya yang meluruskan? Kenapa saya yang harus meluruskan? Anda jelaskan dulu ke saya, kenapa saya harus ikut tanggung jawab? Dan saya katakan begini, ini negara hukum. Dan saya tulis di situ, ketika Anda melakukan sesuatu, Anda harus mau bertanggung jawab, secara hukum.
Menurut saya, problem sekarang ini dicampur-campur. Antara urusan kebhinekaan dengan urusan penegakan hukum. Kalau sekarang saya bilang “Tirto adalah sebuah koran atau majalah online yang menebar kebohongan”, terus Tirto protes, saya bilang “Eh, enggak dong, jangan protes”, ya tidak bisa. Anda bawa ke pengadilan ya bawa saja. Saya yang harus mempertanggungjawabkan kata-kata saya. Nggak ada urusannya bhinneka atau tidak.
Apa sih penyebab kebutaan nomor satu di Indonesia? Katarak. Nomor dua? Politik. Dan itu yang sedang terjadi. Mendadak Anda buta. Anda yang tadi berpikir jernih, mendadak Anda buta. Mendadak Anda tidak lagi jernih melihat. Mendadak Anda tidak lagi bisa membedakan mana masalah hukum dan masalah diversity.
Bahkan saya tidak setuju jika ada yang mengatakan, “Pancasila itu mencapai puncaknya ketika minoritas menjadi pemimpin.” Tidak. Menurut saya Pancasila itu mencapai puncaknya ketika ada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kita ini sedang dalam dunia yang kering, kering sekali. Di mana-mana ada polarisasi. Kelompok-kelompok ekstrem muncul di seluruh dunia. Bukan hanya di Indonesia. Polarisasi itu luar biasa keras. Dalam kondisi begitu, seorang pemimpin harus bisa menyadari bahwa dia sedang berada dalam iklim yang kering. Kalau cuaca sedang kering, analoginya ya, kalau Anda masuk hutan, jangan bawa puntung rokok. Karena puntung rokok, kalau kering, jatuh saja bisa membuat hutan terbakar.
Nah, yang sering jadi masalah adalah begini: ada yang buang puntung rokok, terus orang lain yang disalahkan karena enggak memadamkan api. Terus Anda menengok kepada semua orang, “Hei, Anda enggak memadamkan api”. Lah, Anda ini bagaimana, yang buang rokoknya siapa? Terus Anda kecewa, kecewa sama siapa? Coba. Itulah kebutaan nomor dua.
Itu sebabnya saya enggak mau terlibat dalam tembak-tembakan tajam. Saya ingin bisa dua atau tiga langkah lebih jauh, lebih tinggi, dari apa yang sedang terjadi. Kalau enggak, saya enggak bisa jadi pemimpin.
==================
Wawancara Anies Baswedan (Bagian 1): "Kampanye Saya Dua Bulan Ini Seperti Perjalanan Spiritual."
==================
Simak analisis tentang tiga kandidat Gubernur DKI dalam Pilkada 2017:
Agus Harimurti Yudhoyono Si Peselancar Politik
Penulis: Maulida Sri Handayani
Editor: Maulida Sri Handayani