Menuju konten utama
Anies Baswedan (Bagian 2)

"Kampanye Saya Dua Bulan Ini Seperti Perjalanan Spiritual"

Anies Baswedan membagi pandangannya tentang berbagai persoalan yang merundung Jakarta berikut cara-cara yang ia tawarkan untuk mengatasinya.

Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Anies Baswedan. TIRTO/Andrey Gromico

tirto.id - Ia dikenal dengan citra kebapakan, pendidik, dan dalam banyak kesempatan disebut sebagai negarawan. Sejak 2007 ia menjabat Rektor Universitas Paramadina dan namanya semakin luas dikenal sebagai tokoh publik setelah mendirikan Yayasan Indonesia Mengajar pada akhir 2009. Kiprahnya di Indonesia Mengajar membuatnya banyak mendapatkan pujian, simpati, dan dukungan dari berbagai kalangan.

Pada September 2013, ia membidani sebuah organisasi relawan bernama Gerakan Turun Tangan. Mengusung tagline "Melunasi Janji Kemerdekaan," gerakan ini menarik perhatian banyak anak muda. “Janji itu adalah melindungi, menyejahterakan, mencerdaskan, dan membuat keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” katanya di banyak kesempatan.

Dengan pertama-tama didukung oleh mereka yang pernah aktif di Indonesia Mengajar, gerakan ini dengan cepat tumbuh menjadi kampanye massif dan simpatik, terlebih di internet. Ajakan-ajakan untuk berbuat sesuatu untuk negeri, motivasi untuk terlibat dalam berbagai urusan bersama, seruan untuk melunasi janji kemerdekaan wara-wiri di berbagai media sosial, dikemas dengan sangat menarik melalui foto-foto inspiratif, meme, video.

Di pilpres 2014, ia yang pernah menjadi deklarator ormas Nasional Demokrat—sebelum berubah menjadi partai—pada Februari 2010 dan mengikuti Konvensi Calon Presiden Partai Demokrat pada Agustus 2013, akhirnya mendukung Jokowi. Perannya cukup besar untuk kampanye pemenangan Jokowi-JK. Atas jerih payah itu, dan tentu saja rekam jejaknya, ia kemudian menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.

"Saya kira enggak usah saya promosikan, semua juga sudah tahu, dia perintis Indonesia Mengajar," kata Presiden Jokowi saat perkenalan Kabinet Kerja di halaman Istana Merdeka, 26 Oktober 2014.

Tapi sayang, jabatan itu tak bertahan lama di tangannya. Pada 27 Juli 2016 ia dicopot. "Ya, namanya amanat. Amanat itu diberikan, dijalankan. Ditarik, ya dilepaskan. Saya katakan kalau untuk reshuffle dan lainnya biasa itu," katanya menanggapi keputusan Jokowi. "Saya menempatkan diri seperti senopati. Raja memberikan perintah berangkat ke laga di gelanggang pendidikan, itu laga yang ditugaskan ke saya. Ketika senopati ditarik, ya senopati harus siap ditarik. Siap dikirim dan siap ditarik, enggak tanya lagi."

Setelah dua bulan menjadi "pengangguran politik", namanya muncul dalam bursa hingga ditetapkan menjadi calon Gubernur DKI Jakarta, didukung oleh Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera, atas prakarsa Prabowo Subianto, orang yang menjadi lawan politiknya pada Pilpres 2014.

Bagaimana program-program Anies Baswedan sebagai calon gubernur? Berikut wawancara kami di kediamannya pada Selasa, 6 Desember 2016.

Apakah program-program Jokowi saat menjadi Gubernur Jakarta akan diteruskan?

Saya enggak akan mulai dari Pak Jokowi saja. Dari Pak Sutiyoso pun akan saya teruskan. Pak Sutiyoso, Pak Foke, termasuk masterplan pengembangan drainase, masterplan pengembangan sistem transportasi, sebenarnya semuanya ada, hanya selama ini, orang tidak banyak yang memperhatikan.

Terus bagaimana caranya nanti membuat ini beres? Masalahnya banyak kalau dihitung, jangan berharap gubernurnya Superman. Tapi, gubernurnya harus dapat membuat supersistem. Apa sih supersistem yang saya bayangkan? Yang saya bayangkan tuh alat ini [memegang smartphone]. Smartphone atau alat-alat informasi. Gini lho sederhananya. Program jalan apa enggak, kita tahunya di ujung, baru 34 persen.

Kalau saya ditanya sebagai warga Jakarta, tahukah saya berapa alokasi dana untuk warga Cilandak, kelurahan sini? Enggak tahu saya.

Tahukah saya program apa yang harus dijalankan pemda di kelurahan Cilandak? enggak tahu saya. Bener, enggak tahu. Yang ngawasin [program] jalan apa enggak, siapa? Enggak tahu. Nah, itu yang mau saya ubah, saya mau buat informasi itu bisa diakses oleh publik.

Jadi, media, pegiat sosial, warga negara itu bisa menilai kinerjanya saya dan seluruh birokrasi, kenapa? Karena seluruh informasinya dibuka. Hari ini informasinya enggak dibuka. Jadi, cara kita melakukan perubahan justru membuat informasi itu tersedia untuk publik.

Bagaimana dengan program Reklamasi Pantai Jakarta, yang petahana pun berdalih bahwa proyek ini sudah ada sejak 1995, era Soeharto. Anda akan teruskan atau tidak?

Kami akan mengusulkan untuk tidak diteruskan.

Kenapa?

Pertama, soal lingkungan hidup. Kedua, mengembalikan pantai menjadi milik semua, bukan milik sekelompok orang. Ketiga, kita ingin menjadikan ini betul-betul sebagai a maritime territorial. Dan keempat, kita masih punya wilayah yang sangat besar di Pulau Jawa ini yang tidak mengharuskan kita punya tambahan 1,2,3 pulau di depan sana.

Siap menghadapi gugatan-gugatan para pengembang?

Ya kalau memang digugat, diproses saja secara hukum.

Dari Gerindra sendiri bagaimana? Kemarin kan tersangkanya dari Gerindra yang kena kasus korupsi?

Yang tersangka ya proses hukum saja, enggak apa-apa. Kenapa harus pusing-pusing juga, kita?

Enggak ada beban dari partai?

Kekuatan seorang gubernur itu justru pada transparansi. Pengadilan memutuskan menang, syukur. Pengadilan memutuskan kalah, pengadilan yang memutuskan, tapi stand-nya jelas. Di situ saya mau menegakkan hukum, artinya mau menghormati hukum.

Reklamasi itu, menurut saya, dengan Jakarta yang seperti ini, kita masih punya areal yang sangat banyak.

Bagaimana pandangan Anda soal privatisasi air? Selama ini pengelolaan air diserahkan kepada swasta. Sempat ada gugatan LBH Jakpus, menang, kemudian banding, LBH kalah. Siapa yang seharusnya mengelola air?

Nanti saya harus lihat lebih jauh, ya. Tapi untuk rakyat kebanyakan, terutama masyarakat miskin, air disediakan oleh negara. Saya malah berencana menyediakan air bersih lewat pipa untuk rakyat kebanyakan. Terutama untuk rakyat yang ukuran rumahnya di bawah 150 m².

Soal private dan publik, saya belum punya posisi dulu untuk sekarang. Tapi yang menyangkut rakyat banyak, itu termasuk kebutuhan dasar yang menurut UUD negara harus berikan. Pipanisasi harus dilakukan.

Sandiaga punya saham di perusahaan Aetra. Anda tidak khawatir ada conflict of interests?

Dibuka. Semua yang namanya conflict of interests itu hanya bisa menjadi konflik ketika tertutup. Tapi ketika terbuka, semuanya akan bisa kelihatan. Jakarta ini terlalu kecil untuk menyembunyikan apa saja. Dan saya percaya, Sandi kalau ada conflict of interests akan dia lepaskan. Begitu ada potensi conflict of interests, maka public interests is number one.

Kalau public interests enggak jadi nomor satu, enggak usah jadi public official. Sudah, itu saja. Kalau jadi public official, maka public interests harus nomor satu.

Bagaimana Anda mengatasi kemacetan? Mau melanjutkan ganjil-genap?

Mau ganjil-genap, mau pakai jam, saya ngerasain, saya berkantor di situ, suasananya sama saja. Menurut saya, solusinya dengan menambah transportasi massal dalam volume yang besar dengan rute yang lebih banyak dengan transit point yang lebih banyak dan dengan harga yang terjangkau. Karena itu kita merencanakan Rp. 5000 untuk semua rute, termasuk Transjakarta. Rp5000 berangkat dari mana saja, pergi ke mana saja. Termasuk dari Kepulauan Seribu. Kepulauan Seribu kan bagian dari kita, ya, cuma cara kita menempatkan Kepulauan Seribu itu seakan-akan bukan bagian dari Jakarta.

Transjakarta sekarang tarifnya Rp3.500, naik dong?

Ya kan itu hanya buat TransJakarta. Kalau ini Rp5.000 terintegrasi, mulai dari feedernya, mikroletnya, jadi satu.

Untuk sistem transportasi kota, model kota mana yang Anda suka?

Agak unik, ya, Jakarta. Kenapa? Karena kalau di tempat-tempat lain itu govern seluruh sistem, kita ini enggak. Yurisdiksi seorang Gubernur Jakarta berhenti di sungai Pesanggrahan ini, habis itu sudah Tangerang, sampai sana sudah jadi Bekasi, sampai sana sudah jadi Depok, dia enggak bisa ngatur lagi tuh. Jadi, menurut saya, pendekatannya bukan meniru negara lain, pendekatannya adalah menyelesaikan masalah Jakarta dengan belajar dari negara-negara lain.

Misalnya?

Misalnya Busway. Kita kan mengambil dari Bogota. Ini contoh. Masalah di Jakarta ini lebih efisien jika menggunakan kendaraan di atas tanah, bukan di bawah tanah. Tahun 70-an ke belakang, di bawah tanah itu masih lebih murah, kalau sekarang justru di atas tanah. Bahkan sekarang mulai elevated busway, memang lebih murah dengan elevated. Intinya adalah massal.

Selanjutnya adalah rute. Rute harus mencerminkan mobilitas. Sebagai contoh, kenapa [kami] tidak setuju dengan enam tol dalam kota, meskipun sudah ada Perpresnya? Karena [kami] melihat data bahwa traffic terbesar tol itu dari luar ke luar. Dari luar Jakarta ke luar Jakarta [lewat tol dalam kota], bukan traffic di dalam Jakarta. Jadi, yang dibutuhkan itu penambahan JORR. Bayangkan orang dari Bekasi mau ke Cengkareng, lewatnya mana? Tol dalam kota semua. Dalam kota makin tambah tolnya, makin berat macetnya. Karena yang menggunakan tol itu mayoritas malah berasal dari luar.

Bagaimana dengan MRT yang ada bagian di dalam tanah?

Nggak ada masalah. Attitude-nya bukan menghentikan yang sudah ada. Kalau sudah jalan, teruskan. Nanti ketersambungannya, konektivitasnya, kita cari yang paling efisien 10 sampai 15 tahun ke depan. Karena MRT itu juga kan studinya dilakukan 30 tahun yang lalu, eksekusinya saja yang baru. Karena Pak Jokowi ulet, jadi jalan proyek ini. Dulu kan mandek terus.

Jangan-jangan sudah lewat juga masanya?

Ya, tapi kalau sekarang, saya nggak mau menyentuh soal MRT itu. Karena menurut saya, sudah yang itu jalan saja.

Kami justru membayangkan kendaraan seperti Metromini, Mikrolet, itu bukan semata-mata peremajaan, tapi diupgrade dan penghitungan biayanya diganti. Kenapa sih pada ngetem? Karena revenue-nya dihitung berbasis penumpang. Kalau revenue-nya dihitung berbasis jarak, enggak ada yang ngetem. Insentive system-nya diubah.

Saya ingin menghormati mereka-mereka, ide-ide terobosan yang sudah dipakai di banyak tempat, gagasan-gagasan yang sudah jalan.

Anda orang yang melihat persoalan secara holistik. Tapi teknis program dalam anggaran kan jadi renik-renik yang terpisah, pelaksananya terpisah, sangat teknis, sangat partikular. Bagaimana Anda memastikan semuanya berjalan dan saling mendukung?

Begini caranya. Jadi, anggaran itu harus diwujudkan dalam bentuk nyata. Saya mengalami saat di Mendikbud, mengelola Rp. 53 triliun, itu agak banyak, loh. Kemudian anggaran untuk pendidikan yang saya koordinasi jumlahnya Rp. 254 triliun—peruntukannya saya yang menentukan, tetapi eksekusinya dilakukan oleh Pemda. Yang 53 triliun, 100 persen dalam kontrol saya.

Bagaimana ide besar diwujudkan dalam bentuk anggaran? Good question. Saya minta kepada semua unit untuk menggambarkan kepada saya apa yang dihasilkan tahun ini. Jadi, biasanya kalau di birokrasi itu, misalnya Dirjen Pendidikan Dasar, atau Pendidikan Umum, dia mengalokasikan untuk pembuatan jalan sekian miliar, untuk jembatan sekian ratus miliar, kan begitu. Pertanyaannya, menyelesaikan secara holistik enggak tuh? Saya ubah. Anda gambarkan berapa kilometer dan di mana. Berapa jembatan dan di mana. Tau apa yang terjadi? Uang 53 triliun yang muncul dalam Kemendikbud itu, yang muncul dalam bentuk [bangunan] hanya 39 triliun, terus yang 14 triliun apa? Itu lemak semua.

Lemak itu artinya, itu hal-hal yang nyelip-nyelip, nggak jadi barang tuh sebenarnya, tapi [dananya] tetap keluar. Ketika dalam bentuk rupiah ga keliatan tuh berapa jembatan. Karena anggaran enggak menyebut jumlah jembatannya, yang disebut alokasinya berapa, alokasinya berapa. Saya paksa untuk satu level lagi, tempatnya di mana dan gambarnya.

Jadi ketika saya mengatakan tahun ini, misalnya, saya ingin seluruh kampung di Jakarta konbloknya terpasang. Begitu diterjemahkan dalam bentuk anggaran, dia bisa mencocokkan di situ, jadi apa enggak. Tapi, jika bentuk pendekatan anggarannya seperti sekarang ini, dengan memasukkan anggaran sekarang ditambah sekian persen [asumsi peingkatan harga], enggak akan jalan.

Yang kita butuhkan adalah orang yang menelisik anggaran di saat perencanaan 2-3 bulan sebelum diajukan. Di situ kuncinya. Kalau ditelisik di situ beres, maka ketika pengajuan, aman. Yang sering terjadi adalah kita tidak membereskan di awal. Sudah jadi rancangannya, terus baru dicocokkan dengan visi kita, baru ketemu masalah, waktunya sudah enggak cukup, sudah harus pengetokan anggaran karena harus masuk periode anggaran baru. Kira-kira gitu solusinya.

Anda dan Sandi pernah punya Salam W, terus berubah lagi jadi Salam Lima Jari. Kok bisa sih kayak mencla-mencle begitu?

Sebenarnya enggak mencla-mencle. Di Jakarta ini kan ada Persija, dan ada Persitara. Ini Persija, ini Persitara [sambil memeragakan simbol kedua klub dengan jari]. Jadi supaya fair, dibuatlah Salam W. Dan itu belum jadi simbol kampanye.

Terus saya berpikir, saya percaya kampanye ini bukan hanya sekadar fun, tapi harus mengirim pesan, dan saya ingin sampaikan pesan unity. Karena itu, saya bilang, republik ini dibangun dengan semangat untuk bersama, salam kebangsaan pun diatur. Anda tahu peraturannya? Maklumat Presiden tanggal 31 Agustus Tahun 1945. Dua minggu sesudah kemerdekaan, Bung Karno memberikan petunjuk teknis Salam Kebangsaan. “Merdeka! Merdeka! Merdeka!” Tidak dengan mengepalkan tangan. Tangannya terbuka. “Merdeka!”, dan tangan dibuka. Karena itu Anda enggak pernah lihat Bung Karno begini (mengepalkan tangan), pasti begini (melambaikan tangan).

Saya katakan, republik ini sudah terlalu banyak kepalan tangan dan kepalan tangan itu akan mendapat kepalan tangan berikutnya. Yuk, kita berhenti mengepalkan tangan. Karena itu kemudian kita bikin Salam Bersama. Nah, Salam Bersama inilah yang kita putuskan jadi salam kita, sebelum ada nomor. Sebelum ada nomor, sebelum ada konflik-konflik, kita udah bicara “Unity, Unity, Unity”. Karena itu, ketika ada orang yang ngomong nggak benar, “Anda ini enggak perlu ngomong begitu, ngapain pula? Disturbing Unity.

Cuma ketika sudah kampanye, setelah ada nomor, mau enggak mau harus pakai nomor 3.

Jadi ganti lagi?

Bukan ganti lagi. Pesannya tetap Salam Bersama, Pilih Nomor 3.

Anda sepertinya sudah menguasai sekali masalah Jakarta. Padahal rentang waktu dari jabatan Menteri ke Calon Gubernur kan enggak terlalu jauh. Anda kok pintar banget, kok bisa menguasai masalah itu dengan cepat?

Enggak, saya enggak pintar, saya jauh dari pintar.

Apa sih sebenarnya kekuatan kita sebagai orang yang belajar? Kekuatan untuk mengambil hikmah, membuat framework, nanti itu bisa dipakai untuk menyelesaikan segala macam urusan.

Kehebatan orang kuliah karena dia berpikir analitik, berpikir sistematik, berpikir terukur. Jadi nanti ketika diketemukan dengan suatu masalah, apapun, Anda bisa gunakan alat yang sama. Dan jika kita menempatkan diri sebagai pembelajar, kita akan dingin dalam melihat fenomena. Misalnya, kasus macet, kasus kemiskinan.

Mungkin ini kekurangan, atau kelebihan, saya ini reflektif. Saya memikirkan apa yang saya jalani. Itu menjadi kelemahan karena kemudian saya dalami, menjadi kekuatan karena saya melakukannya dengan perasaan.

Kata Plato itu bagus. Philosopher King.

Mungkin. Saya jalan ke sebuah kampung, ke sebuah desa, keluar dari sana saya akan ingat wajah orang-orang itu dan saya akan tulis catatan. Bukan diingat satu-satu, ya, tapi event-event penting, itu saya ingat. Satu contoh begini:

“Pak Anies, anak saya ini pintar, Pak, tapi anak saya ini nggak bisa masuk sekolah negeri, Pak.”

“Kenapa Bu?”

“Orang daftarnya pakai internet, Pak.”

Coba?! Saya enggak bisa kemudian pulang, terus ”Oh, it's just a question.” Tidak bisa. It hits to the very bottom of my thinking. Berarti logika pemerintahan kita selama ini surviving middle class. Bukan berarti saya pintar, bukan, tapi saya merefleksikan segala sesuatu yang ada itu menjadi, “Begini berarti policy-nya,”. Saya reflektifnya justru dari situ, makanya tadi saya katakan perjalanan dua bulan ini lebih dari kampanye. Dua bulan ini seperti spiritual journey, karena saya bertemu dengan ibu ini. Dan apa sih yang Anda bayangkan bila saya jadi ibu itu? Anaknya masuk sekolah yang enggak bermutu, dia kehilangan harapan anaknya menjadi lebih baik, hanya karena daftarnya online, karena ibunya nggak bisa [memakai internet]. Sebuah eskalator gagal mengangkat seorang anak bangsa untuk naik kelas.

Saya harus belajar cepat.

Anda mengumpulkan ahli-ahli?

Ya, ahli-ahli banyak berkumpul, banyak diskusi. Dan kebetulan, dulu ketika saya sekolah, saya memang banyak belajar soal public policy, fokusnya pada international economics. Dulu saya mikir, buat apa belajar begini, tapi ketika sudah mengalami, “Oh, this is why. This is the key. It’s important”. Ya, ketemunya ketika menghadapi masalah-masalah itu.

Dari dua lawan politik Anda sekarang, menurut Anda yang mana yang paling kuat?

Dua-duanya kuat.

Normatif sekali.

Yang enggak normatif gimana?

Sebut salah satu.

Ya sekarang Anda lihat surveinya. Masih sama semuanya. Dari mana kita bisa bilang salah satu lebih kuat? Saya berharap pemilih di Jakarta ini benar-benar melakukan pemilihan. Pemilihan itu, artinya dia membandingkan. Kalau membandingkan, itu artinya dua hal: Satu, dia membandingkan orangnya. Dua, membandingkan rencananya. Dan rasanya, orang Jakarta, rasanya, modalnya ada. Let’s hope so.

Bagaimana kebiasaan Anda membaca berita?

Sekarang bacanya dari WA. Kan ada grup, tema-teman banyak. Pagi saya baca koran, koran yang konvensional, terus habis itu saya baca media online, jarang browsing. Paling berita-berita menarik dari grup itu saya klik, saya baca. WA ini yang menjadi jawaban.

Buku terakhir yang Anda baca?

Sekarang ini karena lagi Maulid Nabi, saya baca The First Muslim. Baca ulang, cerita riwayat nabi. Itu bacaan ringan. That’s my reading. Mumpung bulannya bulan Maulid.

Apa buku fiksi favorit Anda?

Fiksi...saya suka cerpen. Dan kumpulan cerpen yang saya suka: Anton Chekov. Saya juga menyukai puisi, Taufik Ismail.(*)

==================

Wawancara Anies Baswedan (Bagian 1): "Saya Menyalahkan Ahok dan Menyalahkan Total."

==================

Simak analisis tentang tiga kandidat Gubernur DKI dalam Pilkada 2017:

Agus Harimurti Yudhoyono Si Peselancar Politik

Kejayaan dan Kejatuhan Mulut Ahok

Anies Baswedan Akhirnya Benar-Benar Turun Gunung

Baca juga artikel terkait PILKADA DKI JAKARTA atau tulisan lainnya dari Maulida Sri Handayani

tirto.id - Mild report
Reporter: Arlian Buana & Wan Ulfa Nur Zuhra
Penulis: Maulida Sri Handayani
Editor: Maulida Sri Handayani