Menuju konten utama

Tragedi Mirna dan Buruknya Pengawasan Bahan Berbahaya

Membeli bahan-bahan berbahaya di Indonesia semudah jajan di warung. Padahal, pemerintah sudah menggawanginya dengan aturan yang ketat. Tetapi bahan berbahaya seringkali disalahgunakan, Membunuh dengan racun dianggap sebagai metode termudah dan termurah. Membunuh dengan racun juga dianggap paling mudah untuk menghilangkan jejak. penyebab sulitnya mencari jejak racun sianida karena penjualan zat-zat berbahaya yang sangat bebas di Indonesia

Tragedi Mirna dan Buruknya Pengawasan Bahan Berbahaya
Mirna Salihin meninggal karena kopi vietnam yang diminumnya mengandung sianida.

tirto.id - Wayan Mirna Salihin kejang-kejang setelah menyeruput segelas kopi Vietnam di Kafe Oliver, Grand Indonesia, Jakarta, pada 6 Januari 2016. Wanita berusia 27 tahun yang baru saja menikah itu meregang nyawa setelah sempat mendapatkan perawatan di Klinik D. Belakangan, polisi menemukan 3 gram sianida di kopi Mirna. Polisi akhirnya menetapkan Jessica Wongso, teman ngopi Mirna sebagai tersangka.

Kasus kematian Mirna membuka selubung tentang mudahnya mendapatkan sianida dan bahan-bahan berbahaya lainnya. Kementerian Perdagangan memang sudah mengeluarkan aturan tentang tata niaga sianida dan bahan-bahan berbahaya lainnya. Namun, nyatanya bahan-bahan tersebut dengan mudah ditemukan dan diperjualbelikan.

Aturan dibuat untuk dilanggar. Pakem para pelanggar hukum itu nyata-nyata diterapkan dalam kasus peredaran sianida. Di toko-toko online, di pinggir jalan, sianida dengan mudah ditemukan. Tak perlu embel-embel surat keterangan, siapapun bisa membeli sianida dengan bebas. Ada aturan? Masa bodoh.

Dari Kasus Ecek-ecek Hingga Profil Tinggi

Membunuh dengan racun dianggap sebagai metode termudah dan termurah. Membunuh dengan racun juga dianggap paling mudah untuk menghilangkan jejak. Salah satu penyebab sulitnya mencari jejak racun sianida karena penjualan zat-zat berbahaya yang sangat bebas di Indonesia. Karena itu, tak perlu heran jika banyak kasus pembunuhan dengan racun yang tidak terungkap dengan gamblang. Kalaupun terbukti di belakang hari, prosesnya memakan waktu yang cukup panjang.

Salah satu kasus pembunuhan dengan racun yang paling populer adalah pembunuhan terhadap aktivis HAM, Munir. Pada 7 September 2004, Munir diracun di udara saat berada di pesawat dalam perjalanan dari Jakarta menuju Amsterdam, dan sempat transit di Singapura. Dua jam sebelum pesawat mendarat di Amsterdam, Munir dinyatakan meninggal akibat di racun arsenik.

Pollycarpus Budihari Priyanto dinyatakan sebagai orang yang bersalah dalam kasus pembunuhan Munir dengan arsenik. Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat menjatuhkan vonis 14 tahun penjara. MA sempat menambah hukuman Pollycarpus menjadi 20 tahun. Namun, hasil Peninjauan Kembali (PK) memutuskan hukuman dikembalikan menjadi 14 tahun penjara. Pollycarpus kini sudah menghirup udara segar setelah mendapatkan bebas bersyarat usai mendekam di penjara selama 8 tahun.

Racun juga dijadikan sebagai salah satu bahan untuk serangan teroris dengan mengubahnya menjadi sebuah senjata pemusnah massal. Pada 2011 lalu, Detasemen Khusus 88 Anti-Teror, mengendus serangan teroris menggunakan racun. Sasaran tembak dalam aksi tersebut adalah polisi. Santhanam bersama Paimim, Umar alias Dhani, Ali Miftah, Wartoho, Jumarto, dan Budi Supriadi merancang serangan untuk meracuni polisi di Jakarta. Berbagai macam racun mulai dari toluena, metanol, benzena, etil benzena, trimetil benzena, p-xilena, phospire (PH3), arsenic dan sianida yang telah disiapkan akan di sisipkan ke makanan dan minuman di kantin kepolisian. Namun, aksi tersebut belum sempat memakan korban karena Santhanam cs sudah keburu ditangkap pihak berwajib pada Juni 2011. Pengadilan menghukum Santhanam cs enam tahun penjara.

Kapolri saat itu, Jenderal Timur Prandopo mengakui bahan-bahan racun itu mudah didapatkan sehingga dengan mudah dimanfaatkan untuk aksi-aksi tidak bertanggung jawab. Tak hanya dalam skala besar dalam konspirasi pembunuhan Munir ataupun terorisme seperti Santhanam cs, racun juga digunakan untuk aksi kejahatan di kalangan masyarakat umum.

Pada 2014, Paini – seorang Ibu berumur 46 tahun dari Kediri, dengan mudah membeli potassium sianida atau potas yang lazim dipakai untuk meracun ikan atau tikus seharga Rp3.500. Racun itu kemudian digunakan untuk meracun anaknya sendiri, Surani, 29. Paini memasukkan potas itu ke dalam kopi susu yang diminum anaknya. Pembunuhan ini nyaris tak akan terungkap jika Paini tidak mengaku pada polisi.

Mudah Didapat dan Dipalsukan

Bahan-bahan berbahaya seperti arsenik, sianida ataupun potas dengan mudah disalahgunakan, termasuk untuk aksi kejahatan. Padahal, pemerintah sudah mengatur distribusi dan penjualan bahan-bahan tersebut secara rapi dan detail.

Ketentuan tentang bahan berbahaya tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 75/M-DAG/PER/10/2014 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 44/M-DAG/PER/9/2009 tentang Pengadaan, Distribusi, dan Pengawasan Bahan Berbahaya, tertanggal 14 Oktober 2014. Ketentuan tersebut secara tegas mengatur tentang impor, distribusi dan pengawasan bahan-bahan berbahaya, termasuk sianida.

Nyatanya, aturan pemerintah seperti macan ompong. Bahan-bahan berbahaya tersebut tetap dengan mudah dapat ditemukan.

Direktur Kriminal Umum (Dirkrimum) Polda Metro Jaya Kombes Pol Krishna Murti menegaskan sianida seharusnya tidak dijual bebas di pasaran. Untuk bisa membelinya di toko kimia pun harus ada surat izin khusus.

“Tapi ini kan Indonesia. Orang bisa beli apapun di toko kimia tanpa ada surat izin sekalipun,” beber Krishna Murti, seperti dilansir dari Antara.

Apa yang disampaikan Krishna memang benar adanya. Membeli sianida sebebas membeli permen. Jika malas datang ke toko, kita dapat memesan via online. Semudah membeli baju di online shop. Coba saja ketik “jual sianida” atau “jual arsenik” di Google. Mesin pencari itu akan membawa anda ke banyak pihak yang menjual sianida secara bebas.

Reporter Tirto.id sempat mencoba mengontak nomor yang ada satu per satu. Dari lima nomor yang dihubungi, tiga diantaranya sanggup menyediakan sianida. Harganya bervariasi dari Rp20 ribu hingga ratusan ribu rupiah. Variasinya dari sianida sampai arsenik, dalam bentuk padat atau cair.

Para penjual bahan berbahaya tersebut cukup beragam. Ada yang cuek, ada yang kritis. Penjual yang kritis umumnya bertanya tentang peruntukan sianida yang kita beli. Namun, dengan sedikit berbohong, berkilah sana-sini, para penjual itu dengan gampang percaya.

Pembelian secara online ini amat riskan, karena banyak aturan yang diterabas. Misalnya tidak perlu ada surat izin pembelian bahan kimia yang dikeluarkan instansi seperti perusahaan atau kampus. Padahal surat tersebut wajib disodorkan pembeli kepada penjual, untuk dicatat dan di simpan. Lewat penjualan online, identitas si pembeli memang bisa didapat mulai dari nama, alamat ataupun nomor kontak. Namun, semua data itu dapat diakali dan dipalsukan.

Manipulasi identitas inipun bisa terjadi ketika kita membeli bahan kimia berbahaya tersebut di toko-toko resmi. Dokumen-dokumen yang diminta bisa dipalsukan dengan mudah. Para pengecer minim sekali melakukan crosscheck ulang, mengecek kebenaran dokumen tersebut.

Dari penelusuran ketika berkunjung ke toko bahan kimia besar di bilangan Jatinegara, Jakarta Timur, mereka umumnya tak akan curiga jika kita membeli bahan-bahan kimia itu secara eceran dengan jumlah yang sedikit.

Regulasi belum biasa mengatur penjualan bahan kimia berbahaya secara maksimal. Pengumpulan data yang masih dilakukan secara manual salah satu penyebabnya. Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Ilyani Andang Sudradjat mengakui ini.

“Sampai sekarang data-data produsen, distributor dan pengecer yang terdaftar pun belum jelas. Yang terdaftar saja belum jelas apalagi yang tidak terdaftar. Dan yang tidak terdaftar itu jumlah bisa berkali-kali lipat dari yang resmi. Wajar jika jika masyarakat dengan mudah mendapatkan bahan-bahan kimia tersebut,” katanya.

Lewat Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 75 tahun 2014 tentang pengadaan, distribusi dan pengawasan bahan berbahaya, pemerintah memang sudah mengatur agar perniagaan bahan-bahan berbahaya tidak jatuh ke orang yang salah.

Salah satu hal yang diwajibkan di Permendag itu adalah mengenai kewajiban untuk melapor. Pengecer wajib melaporkan data distribusi, misalnya identitas pengguna akhir dan tujuan peruntukan bahan berbahaya yang didistribusikannya. Laporan ini wajib rutin diberikan pada Dinas Perdagangan provinsi setempat setiap tiga bulan sekali.

Faktanya di lapangan aturan ini tak berlaku penuh.

“Memang wajib sih, dulu pas ramai-ramai kasus boraks dan formalin kita harus wajib lapor. Tapi sekarang tidak seketat dulu, tidak ada lagi kewajiban untuk lapor,” kata Tjahyadi, seorang pemilik toko Kimia di Jakarta Timur.

Dalam Permendag tersebut, pengguna akhir bahan kimia pun wajib pula melapor kepada Dinas Perdagangan kota/Kabupaten. Dalam hal ini, pengguna yang mesti berperan aktif.

“Tugas kami ya cuma setor nama aja. Urusan setelah itu tanggung jawab dinas dengan yang beli,” ucap Tjahyadi menambahkan.

Menunggu kesadaran masyarakat untuk melapor sudah pasti hal yang mubazir. Mestinya, data-data yang diberikan pengecer disikapi pemerintah secara pro-aktif dengan jemput bola sesekali mendatangi atau menghubungi si pengguna bahan kimia guna mengecek kebenaran peruntukan bahan-bahan kimia tersebut.

Hukum dibuat untuk ditaati. Sayangnya, hal itu tidak berlaku dalam peredaran bahan-bahan berbahaya tersebut. Penjualannya sangat bebas dan sangat mudah disalahgunakan. Sudah saatnya pemerintah menegakkan aturan yang sudah dibuatnya. Jangan sampai aturan baru ditegakkan ketika sudah bermunculan korban-korban jiwa.

“Masih banyaknya kasus penyalahgunaan bahan-bahan kimia berbahaya menjadi penegas bahwa meski sudah ada peraturan yang mengatur, pengawasan pemerintah tetap saja belum maksimal,” ucap Andang.

Baca juga artikel terkait SIANIDA atau tulisan lainnya

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Aqwam Fiazmi Hanifan