tirto.id - Setahun sebelum tutup usia, pemikir kebudayaan, Radhar Panca Dahana (1965-2021), menulis opini bertajuk “Sakaratul Maut Seni Budaya.” Isinya berupa kritik tajam atas kebijakan kebudayaan yang diusung pemerintah. Menurut Radhar, upaya memperjuangkan kebudayaan agar menjadi fondasi dalam membangun negara, manusia, dan bangsa Indonesia yang berlangsung puluhan tahun hasilnya hampir nihil, bahkan negatif.
Radhar berpendapat, hasil buruk itu didapat karena pemahaman, kesadaran, hingga tindakan (dalam bentuk kebijakan) para pejabat negara, dari tingkat pusat hingga daerah, juga elit politik, bisnis, ekonomi, dan lainnya terhadap kebudayaan masih rendah, keliru, bahkan boleh jadi kian dangkal.
“Kebudayaan, terutama seni sebagai bagian vital di dalamnya, masih dipandang dan diposisikan sebagai obyek yang perlu dieksploitasi dan dimanipulasi,” ungkap Radhar.
Penulis “Menjadi Manusia Indonesia” (2001) ini juga berang dan menuding “napas-napas kebudayaan sedang diputus dengan telengas.” Gara-garanya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengganti Direktorat Kesenian dengan Direktorat Perfilman, Musik, dan Media Baru.
Pada saat bersamaan, adanya direktorat anyar bernama Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan juga dinilai Radhar sebagai kekacauan yang berdampak serius. Di mata Radhar, frasa “Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan” seolah menunjukkan sikap bahwa pemerintah tengah mendestruksi kebudayaan.
Pendek kata, betapa kebudayaan, roh bangsa, justru ditempatkan setara dengan “ayam ternak atau jambu bangkok”, juga dengan “kebun duren atau sapi Australia yang dapat dikembangkan, digemukkan, lalu dimanfaatkan.”
“Siapa mereka (sang pemerintah) kok merasa bisa mengembangkan kebudayaan?… Untuk apa? Income, tentu saja. Pemasukan bagi pemerintah yang sedang kerepotan mencari sumber dana non-utang untuk menutupi defisit neraca ekonominya,” beber Radhar.
Kurator dan Direktur Kreatif Pabrikultur, Hikmat Darmawan, menanggapi pendapat Radhar dengan menyebutnya sebagai pendapat yang nihilistik. Menurut Hikmat, dengan menganggap sebuah kebudayaan mati hanya karena tidak sesuai dengan standar kualitas kebudayaan seseorang atau suatu kelompok, dalam hal ini standar kualitas seorang Radhar Panca Dahana, maka peluang pemajuan kebudayaan pun ditutup atau dinihilkan.
Hikmat menambahkan, sikap demikian juga menunjukkan adanya sebuah elitisme kebudayaan. Padahal elitisme kebudayaan sudah tak masuk akal lagi dalam dunia yang semakin terbuka kini.
“Elitisme demikian juga memperbesar titik-buta dalam memandang dinamika kebudayaan Indonesia saat ini,” papar Hikmat dalam tulisan balasan bertajuk “Pemajuan, Bukan Elitisme Kebudayaan”.
Hikmat juga menyebut pendapat Radhar pada dasarnya meluputkan UU No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Sebuah capaian penting dalam relasi negara dengan kebudayaan. Dengan adanya UU tersebut, masuk akal jika Direktorat Jenderal Kebudayaan membuat Direktorat Perlindungan Kebudayaan serta Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan.
“Istilah ‘Perlindungan’, ‘Pengembangan’, dan ‘Pemanfaatan’ (yang sangat ditentang Radhar) adalah mengacu pada UU Pemajuan Kebudayaan,” tegas Hikmat.
Urgensi UU Pemajuan Kebudayaan
Keterangan Hikmat diamini Koordinator Penelitian Koalisi Seni, Ratri Ninditya. Ratri menjelaskan, salah satu hal penting setelah disahkannya UU Pemajuan Kebudayaan adalah diterapkannya paradigma baru perihal kebudayaan.
Dulu, kebudayaan melulu dianggap oleh pemerintah sebagai artefak peninggalan leluhur yang bersifat tetap, dan karena itu harus terus dijaga serta dilestarikan. Kini, kebudayaan diyakini sebagai entitas yang terus berubah, fluid, serta tidak melulu terpaku pada masa lalu.
“Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan memperluas perspektif terhadap kebudayaan dari sekadar pelestarian ke tiga langkah strategis lainnya, yaitu pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan,” ungkap Ratri Ninditya kepada Tirto.id, Jumat (26/4/2024).
Selain itu, Ratri juga menilai bahwa UU Pemajuan Kebudayaan tidak lagi menempatkan kebudayaan sebagai unsur yang berdiri sendiri, melainkan haluan dasar dalam seluruh strategi pembangunan nasional.
“UU Pemajuan Kebudayaan meninggalkan perspektif orientalistik ala orde baru yang melihat kebudayaan di Indonesia sekadar sebagai objek eksotis. Undang-Undang ini justru melihat kebudayaan di Indonesia sebagai subjek yang secara aktif berkontribusi dalam perkembangan peradaban dunia,” tambah Ratri.
Berikutnya, Ratri menilai pelibatan masyarakat dalam kerja-kerja pemajuan kebudayaan adalah capaian positif lain pasca disahkannya UU Pemajuan Kebudayaan. “Strategi pemajuan yang dimandatkan adalah bottom up dengan pelibatan masyarakat. Objek pemajuan kebudayaan yang menjadi prioritas didata dari tingkat kota/kabupaten, naik ke provinsi, baru ke nasional. Data ini dicatat dalam dokumen Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD), yang kemudian diterjemahkan dalam lini-lini anggaran di tingkat kab/kota dan provinsi.” Jelas Ratri.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menyebut PPKD sebagai asas, dasar, atau intisari dari sebuah pikiran atau gagasan yang dihasilkan oleh seseorang atau kelompok.
Dalam hal ini, pokok pikiran menjadi acuan dasar terbentuknya Rencana Induk Pemajuan Kebudayaan yang dihasilkan melalui berbagai macam tahap, yaitu: 1). PPKD Kebudayaan Daerah Kabupaten/Kota; 2). PPKD Kebudayaan Daerah Provinsi; 3). Strategi Kebudayaan; 4). Rencana Induk Pemajuan Kebudayaan.
Sebagai gambaran, di masa Orde Baru dulu, kebijakan budaya dirumuskan melalui sistem pembuatan kebijakan yang sangat terpusat yang bekerja dalam siklus lima tahunan, yakni lewat Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
MPR, yang diberi wewenang untuk memutuskan arah kebijakan negara tiap lima tahun sekali, menerbitkan Garis Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang kemudian diberikan kepada Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Lewat konsultasi dengan birokrasi, GBHN kemudian diterjemahkan ke dalam Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun).
“Kebudayaan disebutkan dalam setiap rencana lima tahun meskipun dalam Repelita I hanya disebut secara singkat saja (1968/1969-1973/1974). Kebudayaan yang disebutkan sepanjang dua halaman dalam Repelita I, yang juga meliputi olahraga, kemudian berkembang menjadi 40 halaman dalam Repelita V (1989/1990-1993/1994),” ungkap Tod Jones dalam “Kebudayaan dan Kekuasaan di Indonesia: Kebijakan Budaya selama Abad 20 hingga Era Reformasi” (Yayasan Pustaka Obor, Indonesia 2015).
Revitalisasi Komplek Candi Muaro Jambi: Contoh Terbaik
Upaya pemajuan kebudayaan lewat pendekatan pelestarian, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan menemukan contoh konkretnya salah satunya pada program revitalisasi Candi Muaro Jambi.
Program tersebut tidak hanya fokus pada kerja-kerja pelestarian fisik semacam konservasi. Melainkan juga menyasar aspek pembinaan manusia dengan mengirim belasan warga di sekitaran Candi Muaro Jambi ke Vietnam untuk melakukan studi banding.
Di Vietnam, warga di sekitaran Sungai Mekong dan Sungai Thu Bon dinilai berhasil memanfaatkan artefak budaya peninggalan kerajaan Champa dan kota perdagangan kuno Hoi An untuk kepentingan hidup mereka saat ini. Lantaran memiliki kesamaan karakteristik dengan Candi Muaro Jambi, yang lokasinya berada di gigir Sungai Batanghari, pemerintah pun memberangkatkan warga lokal untuk belajar tentang tata kelola dan pemanfaatan warisan budaya.
“Revitalisasi ini harus bergerak ke arah pengembangan SDM. Nanti masyarakat sekitar inilah yang menjadi ujung tombaknya. Kalau mereka belum bisa tentang perlindungan cagar budaya, ya kami ajari dan kami akan mendampingi,” ungkap Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah Jambi Agus Widiatmoko, Sabtu (3/2/2024).
Agus menjelaskan, anggaran yang disiapkan lembaganya untuk merevitalisasi komplek Candi Muaro Jambi berkisar di angka Rp600 miliar. Jumlah sebesar itu dialokasikan pemugaran beberapa candi dan penataan lingkungan, pembangunan museum dan fasilitas pendidikan di lahan seluas 25 hektar, serta pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) setempat.
Sejak 2009, komplek Candi Muaro Jambi didaftarkan menjadi Situs Warisan Dunia kepada Unesco. Luas kawasan Candi Muaro Jambi adalah 3.981 hektar, terdiri atas beberapa candi seperti Candi Kotomahligai, Kedaton, Gedong I, Gedong II, Gumpung, Tinggi, Telago Rajo, Kembar Batu, dan Astano.
Temuan arkeologis di Komplek Cagar Budaya Nasional (KCBN) Muaro Jambi memberi petunjuk bahwa pada masa dahulu, kira-kira abad ke-11 masehi, komplek ini merupakan pusat pendidikan Buddhisme tertua dan terluas di Asia Tenggara.
Revitalisasi Candi Muaro Jambi, ditargetkan selesai tahun ini, juga dimaksudkan untuk melestarikan keanekaragaman hayati di kawasan tersebut. “Oleh sebab itu, penataan KCBN Muaro Jambi menerapkan konsep harmonisasi dengan alam sekitarnya,” ungkap Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbud Ristek Hilmar Farid, Kamis (11/1/2024) lalu.
Merevitalisasi peninggalan budaya, kemudian memberikan pelatihan kepada warga sekitar agar terampil mengelola dan memanfaatkannya, sudah semestinya menjadi kewajiban negara, bukan? Sekarang, hal seperti itu dapat dilakukan bukan semata karena merupakan amanat Undang-Undang, tapi juga karena kebudayaan diyakini dapat berkontribusi menjawab tantangan zaman.
Hilmar Farid menegaskan bahwa kebudayaan adalah solusi, sumber dan hasil sekaligus, dalam menghadapi berbagai tantangan kehidupan. “Kebudayaan adalah sumber daya yang bisa digunakan untuk melahirkan kebudayaan baru yang berkembang secara terus menerus. Itulah esensi dari konsep pemajuan kebudayaan,” ujar Hilmar Farid dalam sebuah kegiatan di Jakarta, Minggu (29/10/2023).
Hilmar pun berharap agar kebudayaan benar-benar dijadikan fondasi dalam pembangunan bangsa ini. “Semoga pembuat kebijakan di bidang pembangunan juga menyadari dan bisa mengintegrasikan sudut pandang, paradigma, dan pengetahuan berbasis kekayaan budaya lokal,” sambung Hilmar. []
(JEDA)
Penulis: Tim Media Servis