Menuju konten utama

Salah Urus Ekonomi Kota Depok

Data-data statistik menunjukkan Depok tidak produktif dan kalah kompetitif dibandingkan kota-kota penyangga ibukota lainnya.

Salah Urus Ekonomi Kota Depok
Yurgen Alifia Sutarno. tirto.id/Sabit

tirto.id - Seperti kota-kota lain di Indonesia, ekonomi kota Depok dikelola secara autopilot. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) bertambah akibat meningkatnya jumlah penduduk yang searah dengan pertumbuhan konsumsi rumah tangga.

Dengan PDRB Rp53.3 triliun dan jumlah penduduk 2,17 juta jiwa (2016), pendapatan per kapita Depok mencapai Rp24,5 juta. Bandingkan dengan kota penyangga lain yaitu Bekasi (Rp27,5 juta), Bogor (Rp33,2 juta), Tangerang Selatan (Rp38 juta) dan Tangerang (Rp64,9 juta).

Mengapa Depok tertinggal?

Komponen pengurang PDRB yaitu impor bersih (hasil penjumlahan ekspor & impor antardaerah dan luar negeri) terlalu tinggi yaitu mencapai Rp46,2 triliun (2016) atau 86,61% dari kue ekonomi kota Depok. Lagi-lagi bandingkan dengan impor bersih kota Bekasi (60,6%), Bogor (50%) dan Tangerang Selatan (15,3%), sementara kota Tangerang berhasil mencetak ekspor bersih Rp21,3 triliun atau 15,6% dari PDRB. Bahkan pusat pemerintahan Provinsi Jawa Barat, yaitu kota Bandung, dengan populasi lebih tinggi dari Depok mampu menurunkan net impor mereka hingga Rp8 triliun atau hanya 4% dari ekonomi.

Angka-angka ini menunjukkan Depok tidak produktif, kalah kompetitif dan hanya menjadi pasar bagi barang dan jasa yang dihasilkan daerah lain di Indonesia. Salah urus ekonomi Depok terjadi di setiap lapisan yaitu sektor primer, sekunder dan tersier.

Niaga dan Jasa Setengah Hati

Sejak 2006, Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (PRJPD) merancang Depok sebagai kota niaga dan jasa. Dengan model ini, proporsi sektor tersier akan lebih dominan ketimbang sektor primer (pertanian, peternakan dan perikanan) atau sekunder (industri pengolahan dan konstruksi).

Persoalannya kebijakan ekonomi Pemda di sektor tersier berantakan. Misalnya pariwisata. Sektor ini secara langsung menggerakkan lapangan usaha perdagangan, hotel dan restoran serta dihitung sebagai ekspor jasa. Tidak adanya peta jalan (roadmap) yang jelas, minimnya dukungan anggaran dan kebijakan asal-asalan membuat target RPJMD Depok untuk meningkatkan kunjungan wisatawan dari 10.000 orang pada 2015 menjadi 4 juta orang pada 2021 terkesan menggelikan.

Dari enam sektor pariwisata yaitu bersenang-senang (pleasure tourism), rekreasi (recreation tourism), olahraga (sport tourism), wisata budaya (cultural tourism), konvensi (convention tourism) dan usaha dagang atau bisnis (business tourism) (Spillane, 1994, dalam Nizar, 2013), tak jelas mana yang mau diprioritaskan Pemda dan apa strateginya.

Hasil penelitian mahasiswa Administrasi Niaga FISIP UI (Karyadi, 2012) berjudul Analisis Pelaksanaan Place Marketing Kota Depok, Studi Kasus: Upaya Depok Menarik Kunjungan Wisatawan merekam buruknya pengelolaan sektor pariwisata. Karyadi berupaya menganalisis bagaimana cara Depok memasarkan dirinya untuk mendapatkan sasaran yang telah ditentukan.

Ada tiga kelemahan yang saya kutip. Pertama, lemahnya branding dan penciptaan atraksi wisata kota. Silakan akses situsweb pariwisata Depok sebagai gerbang terdepan pemasaran kota. Ketemu? Saya tidak. Yang bisa diakses justru kanal Disparbud Jawa Barat yang tampilannya juga cukup memprihatinkan. Dalam laman tersebut ada enam objek wisata kota Depok dan presentasinya lebih “sederhana” dari merek rumah makan padang. Mengapa sampai hari ini Pemda tak belajar dari laman Wonderful Indonesia?

Kedua, jumlah sumber daya manusia di Disporparsenbud (sekarang Disporyata) Depok sangat minim dan secara umum tidak memiliki latar belakang pendidikan di bidang pariwisata dan pemasaran. Hal ini berdampak langsung terhadap efektivitas kebijakan dan strategi komunikasi pariwisata kota.

Ketiga, minimnya akses transportasi menuju objek wisata. Masjid Kubah Emas adalah salah satu destinasi paling potensial di Depok. Namun akses jalan yang terbatas membuat banyak wisatawan berpikir ulang untuk berkunjung. Hal ini berkaitan dengan tidak adanya masterplan transportasi kota yang terhubung dengan pusat-pusat kegiatan warga.

Perlu disadari bahwa target utama pariwisata Depok adalah wisatawan asal Jabotabek. Hampir tiap pekan mereka rela bermacet-macet ria menuju Puncak atau Bandung demi menyegarkan pikiran. Depok memang tak memiliki iklim sejuk seperti dua wilayah tersebut, namun ceruk wisatawan yang mencari pengalaman rekreasi, olahraga, belanja, kuliner, sejarah dan budaya mestinya bisa disiasasi oleh Pemkot Depok.

Setidaknya dua hal krusial harus segera dilakukan. Pertama, memetakan potensi, merumuskan target dan menghitung sumber daya dalam satu analisis komprehensif Rencana Pariwisata Kota. Kedua, Depok harus mempertimbangkan pembangunan Light Rail Transit (LRT) yang terhubung dengan stasiun LRT Cibubur dan stasiun MRT Lebak Bulus untuk melayani koridor transportasi Barat-Timur dengan konektor tengah Stasiun Depok Baru.

Pembangunan transportasi massal seperti LRT tidak hanya mengurangi kemacetan tetapi memperbaiki konektivitas antara kecamatan dan kelurahan di Depok dengan Jabotabek. Hal ini nantinya akan menciptakan efek pengganda (multiplier effects) seperti investasi di bidang pariwisata, memudahkan akses wisatawan untuk berlibur dan ujungnya menggenjot jumlah wisatawan yang masuk ke Depok.

Petani si Anak Tiri

Tak hanya di sektor tersier, desain kebijakan ekonomi di sektor primer juga mengecewakan. Pertanian, peternakan dan perikanan di Depok memang hanya berkontribusi 1,45% (2016) terhadap PDRB, turun dari 1,68% pada 2010. Namun bukan berarti sektor ini tidak penting. Data menunjukkan luas sawah di Depok menyusut dari 1200 hektare pada 1999 menjadi menjadi 113 hektare pada 2016 akibat alih fungsi lahan. Produksi sejumlah tanaman pangan dan hortikultura otomatis juga menurun.

Di sektor peternakan, produksi telur ayam ras menurun dari 23,7 juta butir (2015) menjadi 18,3 juta (2016). Jumlah ayam ras pedaging yang dipotong di Depok terjun bebas dari hampir 3 juta ekor menjadi 28 ribu ekor. Kenaikan ada pada produksi daging sapi, susu, daging ayam kampung dan sejumlah hasil ternak lainnya.

Di sektor perikanan, jumlah produksi ikan konsumsi sempat turun periode 2012-2015 namun kembali naik tahun 2016 ke angka 1.956 ton. Potensi penurunan produksi ikan konsumsi (lele, nila, mas) tetap ada dan merupakan dampak dari berkurangnya luas kolam yang dialihfungsikan menjadi perumahan.

Tujuan akhir pengelolaan sektor primer bukanlah memenuhi kebutuhan pangan kota karena kapasitas produksinya yang memang minim. Targetnya meningkatkan pendapatan riil pengusaha dan pekerja di sektor primer serta menghasilkan sejumlah bahan makanan yang sering memicu kenaikan inflasi seperti cabai merah, cabai rawit dan daging ayam ras.

Untuk meningkatkan produksi dengan ketersediaan lahan yang makin berkurang, pemerintah Depok bisa belajar dari Singapura yang membantu petani, peternak dan pembudidaya ikan untuk mengadopsi high-tech urban farming. Perusahaan Sky Greens misalnya berhasil menggunakan sistem A-Gro-Gro yaitu menara berbentuk huruf A setinggi 6-9 meter sebagai medium bertanam sayuran dengan teknik rotasi hidrolik palung tanam. Pertanian dilakukan dengan cara vertikal sehingga dengan lahan 1 hektare, hasil produksi sayuran setara dengan hasil pertanian konvensional seluas 5-6 hektare.

Selain itu, tiga perusahaan penghasil telur ayam Singapura dengan teknik automated poultry care berhasil memproduksi 430 juta butir telur padahal hanya menguasai lahan di bawah 50 hektare. Begitu pula 200 kolam ikan yang menggunakan teknik recirculation aquaculture system (RAS) mampu meningkatkan produksi ikan, udang dan kepiting.

Depok bisa mencontoh langkah Singapura yang membangun Kawasan Agroteknologi yaitu kawasan khusus pertanian, peternakan dan perikanan dengan infrastruktur modern. Kawasan ini bisa dipusatkan di Kecamatan Limo saja atau bisa dibagi ke wilayah Sawangan, Bojongsari dan Tapos karena sektor primer paling kuat di keempat kecamatan tersebut.

Jangan Anggap Remeh Industri

Di satu sisi Wali Kota mengeluh penyerapan tenaga kerja masih rendah tapi di sisi lain ia menekankan Depok adalah kota niaga dan jasa, bukan industri. Padahal industri manufaktur padat karya adalah jawaban atas keluhannya sendiri. Sektor ini mampu membuka banyak lapangan pekerjaan dan meningkatkan produktivitas kota. Industri adalah solusi untuk menyerap pengangguran terbuka di kota Depok yang mencapai 72,000 jiwa.

RPJPD tak memuat analisis yang komprehensif tentang nasib industri pengolahan di kota Depok yang diproyeksikan bergantung pada sektor tersier. Tak ada argumentasi yang kuat mengapa Depok harus membiarkan kontribusi industri pengolahan menurun terhadap PDRB.

Usul saya, Pemda Depok harus menyambut rencana Kementerian Perindustrian “Making Indonesia 4.0” dan mendorong pertumbuhan tiga dari lima sektor industri yang diprioritaskan pemerintah pusat, yaitu makanan dan minuman, barang elektronik dan tekstil. Pemda bisa mendesain dua zona ekonomi khusus yaitu Bosali (Bojongsari-Sawangan-Limo) dan Cicita (Cipayung-Cilodong-Tapos). Pemilihan keenam kecamatan ini didasarkan pada kepadatan penduduk yang relatif lebih rendah sehingga cocok untuk industri dan upaya pemerataan pembangunan, mengingat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di keenam kecamatan ini paling tertinggal.

Hal ini perlu disertai reformasi struktural untuk menciptakan iklim investasi yang baik. Di level makro ekonomi, Pemda mutlak meningkatkan kualitas SDM dengan menyiapkan pelajar SMK dan pengangguran untuk memiliki kemampuan yang dibutuhkan oleh industri. Dalam ranah infrastruktur, Pemda bisa menggandeng swasta untuk memperbaiki konektivitas jalan di kedua zona ekonomi khusus tersebut. Langkah yang tak kalah penting adalah menyiapkan daftar insentif yang menarik agar investor memilih Depok untuk membuka usaha.

Sejumlah solusi yang saya sampaikan mustahil dilakukan tanpa merevisi berbagai peraturan yaitu RPJPD, RPJMD dan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW). Jika Wali Kota memang serius mau memajukan perekonomian, Ia harus berani mengambil kebijakan jangka panjang.

Perlu diingat, Depok tidak memiliki garis pantai dan tidak diberkahi sumber daya alam seperti wilayah lain di Indonesia. Pemda perlu mafhum bahwa potensi terbesar yang dimiliki oleh kota adalah sumber daya manusia. Ribuan putra-putri terbaik bangsa setiap tahunnya mendaftar dan lulus dari Universitas Indonesia. Mengapa bakat-bakat terbaik itu pindah dari kota tempatnya belajar? Ibaratnya, merekalah uranium yang dibutuhkan untuk menggerakkan turbin reaktor perekonomian kota.

Selamat ulang tahun ke-19 kota Depok!

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.