tirto.id - “Saya abis pinjem online 10 aplikasi dapat 170 juta, saya haka Antam tadi langsung 500 lot. Tolong kak.”
“Kalau KAEF ARB tidak ada yang beli, lalu gimana ya pak? Karena saya beli saham KAEF menggunakan uang arisan dan titipan ibu-ibu. Sekarang di portofolio sudah minus hampir 25%.”
Demikian bunyi pesan yang beredar di media sosial mengenai pengalaman seseorang mencicipi rasanya berinvestasi di pasar modal. Alih-alih cuan, pesan itu sudah barang tentu menggambarkan seseorang sedang berada dalam kondisi gawat.
Fenomena ini tentu sedikit-banyak mencoreng pamor investor retail yang dibanggakan pemerintah dan otoritas bursa. Betapa tidak, investor retail diyakini menjadi sebab IHSG langsung meloncat usai terjun ke titik terendah sepanjang sejarah, yaitu level 3.937,63 poin, pada 24 Maret 2020. Per Selasa (19/1/2021), IHSG sudah menyentuh posisi 6.321,86 poin melampaui periode awal pandemi.
Tahun 2020 otoritas juga mendapuk sebagai tahunnya kebangkitan investor retail. Pasalnya jumlah investor retail naik signifikan dan menyumbang kenaikan investor pasar modal yang mencapai 54,38 persen dari 2,48 juta (2019) ke 3,88 juta (2020).
Menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK), jumlah investor retail domestik mencapai 3,84 juta orang alias 98,96 persen investor pasar modal. Fakta menariknya, usia di bawah 30 tahun mendominasi 54,8 persen keseluruhan investor individu diikuti usia 31-40 tahun 22,6 persen dan sisanya berusia 41 ke atas.
Direktur PT Anugerah Mega Investama Hans Kwee mengatakan saat ini peran investor retail tak dapat dipungkiri semakin besar. Ia juga mendapati investor retail yang umumnya didominasi perorangan juga semakin agresif sejak November 2020 bahkan melampaui Maret 2020.
Bursa Efek mencatat kepemilikan saham oleh investor domestik mencapai 50,44 persen per November 2020, membalikkan posisi November 2019 ketika 50,64 persen masih dikuasai asing.
Sayangnya sikap agresif ini tidak diimbangi dengan pemahaman yang memadai. Ia mengingatkan fenomena membeli saham untuk memperoleh untung cepat jelas keliru apalagi dana investasi berasal dari pinjaman. Hans mengatakan seseorang harus memahami investasi di pasar modal tidak melulu pasti untung. Kalau pun untung, jumlahnya tidak bisa langsung signifikan.
Sebelum memulai investasi, Hans mengingatkan pentingnya memeriksa fundamental perusahaan yang bersangkutan seperti kinerja, laba, sampai risikonya. Menurutnya informasi suatu saham sedang naik-naiknya maupun ajakan influencer tidak cukup dan layak menjadi dasar memutuskan investasi.
Ia mencontohkan saham emiten ANTM sempat naik 100 persen dari Rp1.700/lembar saham di akhir Desember 2020 ke titik tertinggi Rp3.400/lembar saham per awal Januari 2020. Namun baru-baru ini ANTM mengalami ARB dua hari berturut-turut pada 18-19 Desember 2020 hingga nilainya tersisa Rp2.910/lembar saham saja karena dilanda aksi profit taking.
“Investasi itu berisiko dan investasi harus dalam waktu panjang. Harus dari dana yang menganggur. Kalau pakai pinjaman dan rugi lalu dia terpaksa jual dan pinjaman belum bayar, ruginya berlipat-lipat,” ucap Hans kepada reporter Tirto, Selasa (19/1/2021).
Perencana Keuangan sekaligus pendiri Finansia Consulting Eko Endarto menyatakan maraknya masyarakat yang berutang dan menggunakan dana operasional untuk berinvestasi memang salah kaprah. Ia mengatakan investasi tak boleh menggunakan dana yang pasti dan bakal menimbulkan beban keuangan seperti bunga dan harus dikembalikan di kemudian hari. Misalnya utang, dana arisan, gadai, sampai dana pengeluaran sehari-hari.
Menurut Eko, investasi cukup diambil dari penghasilan yang dapat disisihkan secara rutin minimal 10 persen. Jika mampu lebih dari 10 persen akan lebih baik, tetapi ia mengingatkan tidak boleh menjajah pengeluaran sehari-hari apalagi menimbulkan piutang.
“Investasi dana khusus harus dialokasikan. Tidak terganggu dengan kebutuhan yang dicairkan dalam waktu pendek,” ucap Eko kepada reporter Tirto, Selasa.
Seseorang yang mau berinvestasi di pasar modal juga harus mampu membedakan dengan tegas antara berinvestasi dan trading saham, katanya. Jika seseorang menanamkan uangnya ke saham untuk memperoleh untung besar dalam jangka pendek, maka pemikiran itu lebih cocok untuk trading.
Ketika memilih jalan ini, seseorang dengan sadar atau tidak membuka dirinya pada risiko fluktuasi nilai saham yang tidak pernah pasti. Ia pun tak heran bila banyak orang mengeluh di media sosial karena investasinya berujung rugi bahkan “nyangkut”.
Sebaliknya, investasi mengharuskan seseorang dengan sadar memiliki pandangan jangka panjang. Rata-rata perencana keuangan menyarankan investasi saham berkisar 5 tahun, bahkan Eko mengaku lebih suka 10 tahun. Investasi jenis ini tetap berisiko dan dapat mengalami penurunan tetapi strateginya mengincar pertumbuhan perusahaan yang pastinya semakin baik tiap tahun.
Pola pikir ini pun tidak bisa dilepaskan dari pentingnya kesadaran memeriksa dengan teliti profil perusahaan yang ingin dibeli sahamnya.
Idealnya seseorang perlu memahami jenis industri, rekam jejak, kinerja, sampai prospek perusahaan yang bersangkutan dengan teliti. Tips lebih sederhana, seseorang bisa menilai seberapa dekat dirinya dan masyarakat luas pada produk perusahaan yang bersangkutan. Bila produknya banyak digunakan, praktis yang bersangkutan relatif tidak perlu terlalu khawatir.
“Saham itu kita seolah beli perusahaannya dan enggak ada yang sebulan naik 100 persen, Pasti per tahun. Mengukurnya pasti jangka waktu panjang,” ucap Eko.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Rio Apinino