tirto.id - Kesalahan yang dilakukan Joko Widodo di Komisi Pemilihan Umum ketika menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya pada Jumat (21/9/18) lalu bukanlah satu-satunya kekeliruan yang pernah dia lakukan.
Sesaat sebelum memulai sidang pleno pengundian nomor urut untuk pemilihan presiden 2019, para hadirin diminta berdiri oleh pembawa acara. lagu kebangsaan Indonesia Raya bakal dinyanyikan.
Pasangan calon pun terlihat kompak berdiri dan bernyanyi. Yang membedakan cuma satu: Jokowi satu-satunya orang yang bernyanyi dengan tangan kanan memberi hormat. Menurut Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009, sikap tersebut salah.
Ketua DPP Demokrat, Ferdinand Hutahaean, mengkritik sikap ini. Katanya via Twitter: "Dia sedang hormat apa sih? Ohhh mungkin menghormat bos-bosnya yang sedang nonton TV." Dia tak menjabarkan apa yang dimaksud "bos-bosnya".
Jokowi memang kerap melakukan kesalahan-kesalahan kecil lewat tindakan atau ucapan. Dan karena itu pula dia kerap dikritik.
Semisal pada Juni 2015, Presiden ke-7 Indonesia itu pernah salah sebut kota kelahiran Soekarno. Dia menyebutnya di Blitar, padahal yang betul Surabaya. Sukardi Rinakit, penulis teks pidato, meminta maaf. Ia menyebut kesalahan sepenuhnya ada pada dirinya.
Beberapa bulan kemudian, tepatnya Desember 2015, Jokowi salah ucap lagi. Ini terjadi saat ia bersama Iriana sedang kunjungan ke Papua. Ketika itu ia mencuit via Twitter: "Hari ini di Merauke, ujung paling barat Indonesia, saya letakkan Kapsul Waktu: Impian Indonesia 2015-2085-Jkw."
Kita sama-sama tahu kalau Merauke tidak ada di ujung paling barat Indonesia, melainkan ujung paling timur.
Pada awal 2017 juga demikian. Dalam pidato yang diliput oleh stasiun TV pelat merah TVRI, Jokowi salah mengucapkan laa hawla wa laa quwwata illa billah dengan lakalawakalatailabillah.
Tentu kesalahan-kesalahan kecil ini mendapat kritik dan respons dari pihak oposisi maupun—lagi-lagi—warganet.
Dalam kasus salah sebut nama tempat kelahiran Soekarno, Jokowi disindir oposisi, semisal Wakil Ketua DPR dan politikus Gerindra Fadli Zon, Ketua MPR dari PAN Zulkifli Hasan, dan oleh kader PAN lain, Teguh Juwarno.
"Kelahiran itu kan sejarah dasar. Pelajaran Sekolah Dasar," kata Fadli Zon.
Perlakukan yang sama sebetulnya juga pernah dirasakan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto. Prabowo adalah penantang Jokowi pada pemilu mendatang.
Warganet pernah mencibir ketika beredar spanduk berukuran 1X4 meter tertulis "Bergeraklah Merebut Kenangan" di Bojonegoro, Jawa Timur, dengan foto Prabowo di dalamnya. Tulisan asli seharusnya "Bergeraklah Merebut Kemenangan".
Biasa Saja
Dalam derajat tertentu, kita bisa menyebut kesalahan tersebut tak fatal. Dan dengan begitu kritik atau sindiran terhadapnya juga sebetulnya tidak begitu penting. Beda, misalnya, dengan kritik terhadap kebijakan tertentu.
Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P LIPI) Firman Noor mengatakan kalau kritik dan sindiran sebetulnya wajar dalam demokrasi. Dan ini tak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di negara lain.
"Amerika sudah seperti itu. [Donald] Trump dikritik perkara rambutnya atau Barack Obama yang dikritik garis keturunannya. Itu kan informal dan receh semua," katanya kepada Tirto, Minggu (23/9/2018).
Dalam amatan Firman, tak hanya kubu oposisi yang berlaku demikian, kubu petahana juga begitu. Dan ini sudah terjadi sejak lama, termasuk ketika Susilo Bambang Yudhoyono masih jadi presiden (2004-2014).
"Memang kelemahan mendasar dunia politik kita suka mengkritik hal-hal kecil dan remeh," katanya.
Meski begitu, Firman bilang kalau semua tak bisa dipukul rata. Dia mengatakan dalam banyak juga yang tidak asal sindir, tapi mengkritik dengan baik.
"Di ILC juga banyak kritik dengan substansi tinggi secara formal," pungkas Firman.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino