Menuju konten utama

Di Balik Pidato Jokowi Soal "Berani Berantem" yang Menuai Kritik

Jokowi melarang relawannya melakukan fitnah dan ujaran kebencuan. Namun, relawan harus berani ketika diajak "berantem".

Di Balik Pidato Jokowi Soal
Presiden Joko Widodo menyampaikan arahan saat Pembukaan Rapat Koordinasi Nasional Pembinaan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Pusat dan Daerah Tahun 2018 di Jakarta, Senin (14/5/2018). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari.

tirto.id - Pidato Presiden Joko Widodo yang meminta para relawannya agar tidak takut dan berani berantem mendapat kritik. Wakil Sekjen Partai Gerindra, Andre Rosiade mengatakan, seharusnya Jokowi sebagai kepala negara memberikan imbauan soal pemilu yang bermartabat, yaitu “adu gagasan dan program, bukan adu otot.”

“Tapi Pak Jokowi malah membangun narasi kebencian. Ia mendorong tindakan kekerasan dalam Pemilu 2019 nanti,” kata Andre di kawasan Fatmawati, Jakarta Selatan, Minggu (5/8/2018).

Pernyataan Andre itu sebagai respons atas pidato Jokowi di hadapan para relawannya, di Sentul International Convention Center, pada Sabtu (4/8/2018). Saat itu, Jokowi melarang relawannya untuk melakukan fitnah dan ujaran kebencian. Namun, ia menegaskan bahwa relawannya juga harus berani ketika diajak untuk berantem.

"Lakukan kampanye yang simpatik. Tunjukkan bahwa kita relawan yang bersahabat, jangan membangun permusuhan, jangan membangun ujaran-ujaran kebencian, jangan membangun fitnah-fitnah. Tidak usah suka mencela, tidak usah suka menjelekkan orang lain. Tapi kalau lo diajak berantem juga berani," kata Jokowi.

Jokowi sebetulnya telah memberikan klarifikasi sesegera mungkin soal ucapannya tersebut. Tak lama setelah mengucapkan hal itu, masih di forum yang sama, mantan Gubernur DKI Jakarta itu menambahkan ucapan: "Tapi jangan ngajak [berantemn] loh. Saya bilang tadi, saya garisbawahi: jangan ngajak."

Klarifikasi serupa juga diungkapkan Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Johan Budi SP. Menurutnya, pernyataan Jokowi yang meminta relawannya agar berani berantem apabila mendapat serangan hanya kiasan belaka.

“Saya kira yang disampaikan oleh Pak Presiden Jokowi kiasan, berantem jangan diartikan secara fisik, bukan begitu,” kata Johan Budi di sela pembekalan bacaleg PDIP di Jakarta, seperti dikutip Antara, Minggu (5/8/2018).

Johan Budi menegaskan, konteks yang dikatakan Jokowi tentang berantem bukan fisik, tetapi untuk melawan pihak yang memfitnah dan melakukan ujaran kebencian. “Saya kira tidak [provokatif], jangan berantem itu diartikan fisik. Sebelum bicara itu Pak Presiden berpesan untuk menjaga persatuan dan kesatuan,” kata Johan Budi.

Akan tetapi klarifikasi itu tampaknya tidak berpengaruh. Pidato Jokowi tetap dinilai blunder karena pernyataan itu tak sesuai dengan jabatannya sebagai presiden. Andre Rosiade, salah seorang juru bicara Partai Gerindra untuk isu Pilpres 2019, menilai Jokowi telah gagal memposisikan dirinya sebagai kepala negara yang semestinya memberikan contoh yang baik.

Andre mengatakan, dirinya bisa memaklumi bahwa Jokowi tentu ikut dalam persaingan dan harus mengalahkan calon lain. Tetapi sebagai kepala negara, kalimat-kalimat Jokowi dinilai tidak etis.

“Kami sangat sayangkan karena pernyataan itu ada indikasi mengajak relawannya melakukan kekerasan kepada relawan Pak Prabowo. Itu, kan, provokasi,” kata Andre. “Mungkin saja dia mau menggertak, tapi bagi kami gertakannya enggak ampuh.”

Menurut Andre, dirinya menangkap ada kepanikan dari Jokowi hingga mengeluarkan pernyataan bernada “kekerasan” itu. Ia merasa, hal ini karena dukungan kepada Prabowo kian bertambah, terlebih setelah Partai Demokrat merapat ke kubu oposisi.

“Itu menunjukkan beliau panik sehingga menimbulkan pernyataan seperti itu, apalagi relawan Pak Prabowo militan. Kan emak-emak itu militan sekali,” kata Andre yang juga menjabat sebagai Wakil Sekjen Partai Gerindra.

Andre tidak menganggap ucapan Jokowi merupakan bentuk balasan dari serangan-serangan terhadap dirinya. Sejauh ini, kata Andre, tidak ada serangan yang menjelek-jelekan Jokowi.

Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Hinca Panjaitan tidak mau menilai terlalu jauh apakah pernyataan Jokowi merupakan bentuk serangan terhadap oposisi atau tidak. Namun demikian, Hinca merasa bahwa ucapan itu tak sesuai dengan kapasitas Jokowi sebagai kepala negara.

Seharusnya, kata dia, dalam waktu pendaftaran Pilpres 2019 dan menjelang masa kampanye mendatang, Jokowi bisa beradu dengan pesaingnya dalam masalah gagasan. Apa yang diujarkan Jokowi justru menjadi bumerang karena terkesan mengajak untuk beradu dengan cara sebaliknya.

“Kami ingin mengajak semuanya berkontestasi yang dalam bahasa teman-teman di politik: festival gagasan. Kami ingin agar semuanya teduhlah. Kami ingin semuanya berjalan fair apalagi beliau kan presiden, kepala negara, kami ingin sekali semuanya berjalan dengan demokratis, fair, jujur, dan adil dan menyenangkan. Tidak ada sesuatu yang membuat kita gelisah,” kata Hinca.

Jokowi Gerah dengan Serangan

Menanggapi tudingan itu, Ketua DPP Partai Nasdem Bidang Media Willy Aditya mengatakan, Jokowi memang sedang membangun narasi kesolehan. Ia menilai hal itu berguna untuk melawan narasi kebencian yang menjadi momok di berbagai tempat.

Salah satu bentuk serangan yang dilakukan, menurut Willy, adalah soal cawapres Jokowi. Menurut Willy, nama cawapres yang belum dibeberkan oleh Jokowi tidak sepatutnya dipertanyakan. Hal itu adalah keputusan pribadi dan hak dari Jokowi.

“Mengapa kami dibilang panik karena sampai sekarang belum mengumumkan nama cawapres? Bukankah itu narasi kebencian yang dibangun? Jadi teman-teman semua, jangan mau dikibulin dengan narasi kebencian,” kata Willy.

Sementara itu, pengamat politik dari CSIS, Arya Vernandez menegaskan, Jokowi mengatakan hal tersebut karena persaingan politik semakin ketat. Arya memandang Jokowi belum sampai pada tahap "panik", tetapi baru pada tahap kekhawatiran. Selain itu, kata Arya, Jokowi memang sedang berusaha untuk menguatkan dukungan dari para relawannya.

“Itu sinyal kepada relawan untuk terus solid dan 'mensolidasikan' diri untuk mendukung Jokowi. Dia juga mengkhawatirkan kampanye-kampanye berbasis isu negatif akan menguat,” kata Arya kepada Tirto.

Dari sisi komunikasi politik, Arya menilai, penggunaan diksi "berantem" secara internal ingin menyolidkan dukungan internal, tetapi juga ingin memberikan tantangan kepada lawan politiknya. Menurut Arya, Jokowi mulai menyadari bahwa kompetisi pada masa pendaftaran capres-cawapres ini mulai memanas. Namun, kata dia, seharusnya Jokowi bisa mengontrol perkataannya di momen krusial seperti ini.

“Jokowi merasa isu-isu negatif merugikan dan mempengaruhi. Makanya muncul diksi-diksi seperti itu karena ada kekhawatiran,” kata Arya. “Pemilihan diksi yang normatif seharusnya lebih aman daripada diksi itu menimbulkan kontroversi.”

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Politik
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Abdul Aziz