Menuju konten utama

Saat Pemerintah Bongkar Pasang PEN 2021 karena Terlampau Optimistis

Skema PEN 2021 yang diotak-atik dalam waktu singkat, bagi pengamat ekonomi, menunjukkan betapa terlampau optimistisnya pemerintah dalam melihat pandemi.

Saat Pemerintah Bongkar Pasang PEN 2021 karena Terlampau Optimistis
Menteri Keuangan Sri Mulyani memberikan keterangan kepada media tentang Stimulus Kedua Penanganan Dampak Covid-19 di kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Jumat (13/3/2020). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/ama.

tirto.id - Belum genap tahun 2021 berjalan dua bulan, pemerintah sudah merombak anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sekurang-kurangnya tiga kali. Perombakan ditengarai karena kondisi saat ini di luar ekspektasi, yaitu COVID-19 sudah relatif terkendali atau semakin dekat untuk berakhir.

Anggaran PEN semula dipatok senilai Rp372,3 triliun yang telah disahkan pemerintah bersama DPR. Kemudian pemerintah memperkirakan anggaran PEN naik menjadi Rp403,9 triliun pada 4 Januari 2021, Rp533,09 triliun 26 Januari 2021, lalu Rp619 triliun berdasarkan perhitungan Kementerian Keuangan per 3 Februari 2021.

Perubahan yang diumumkan Menteri Keuangan Sri Mulyani pada 4 Januari hanya berkaitan dengan sisa anggaran PEN tahun lalu yang tidak terpakai--sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (Silpa) dari PEN 2020 sebesar Rp50,94 triliun. Rincian penggunaan pun relatif sama dengan yang sudah direncanakan sebelumnya.

Setelahnya perubahan anggaran PEN lumayan mencolok. Kali ini anggaran dirombak karena banyak belanja tidak dianggarkan untuk 2021 karena diasumsikan COVID-19 sudah mereda. Pemerintah menyadari belanja itu ternyata masih dibutuhkan sehingga menyiapkan lagi dananya.

Penjelasan ini diutarakan Sri Mulyani dalam rapat virtual bersama Komisi IV DPD RI, Selasa 19 Januari. Waktu itu Sri Mulyani tengah menjelaskan diskon listrik 450VA dan 900VA bagi masyarakat menengah bawah sekaligus bantuan kuota internet yang sempat tidak masuk anggaran 2021 tetapi akan kembali digelontorkan lagi. “Dalam APBN 2021 tidak dianggarkan karena dulu berpendapat 2021 situasi sudah lebih baik. Ternyata tidak,” ucap Sri Mulyani.

Per 26 Januari 2021, PEN pun mengalami perubahan drastis. Anggaran perlindungan sosial kini memuat diskon listrik dan subsidi pulsa. Kartu Prakerja 2021 semula dijatah Rp10 triliun kemudian ditambah lagi menjadi Rp20 triliun lantaran manfaatnya masih sama seperti 2020 yang mencangkup bansos.

Kartu sembako dan BLT bagi 10 juta keluarga penerima manfaat (KPM) juga sama, dinaikkan lagi menjadi Rp300 ribu per keluarga setelah dipangkas menjadi Rp200 ribu. Nilainya disamakan seperti yang berlaku 2020 lalu.

Perubahan PEN semakin runyam ketika anggaran 2021 ternyata dibuat dengan asumsi vaksin COVID-19 dilaksanakan berbayar dan hanya 35 juta dari total 107 juta sasaran yang akan digratiskan. Ketika Presiden Joko Widodo mengumumkan vaksin resmi digratiskan bagi seluruh masyarakat, praktis anggaran kesehatan yang sudah ada tidak cukup sehingga perlu ditutupi dari sumber lain.

Di pos kesehatan, pemerintah juga menemukan masalah lantaran insentif tenaga kesehatan dan santunan kematian tenaga kesehatan (nakes) belum dianggarkan. Anggaran ini baru muncul pada bahan paparan Kemenkeu dalam Komisi XI DPR 26 Januari 2021 dengan status sebagai “tambahan mendesak.”

Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Misbah Hasan menilai perombakan dalam rentang kurang dari dua bulan ini menunjukkan lemahnya perencanaan anggaran. Pemerintah terkesan kurang cermat membuat skenario sehingga alokasi anggaran cenderung terlampau optimistis.

Misbah juga menilai anggaran PEN 2021 mencerminkan pemerintah ingin terburu-buru menggenjot ekonomi. Seolah yakin pandemi tak akan memburuk dan penanganan selama tahun lalu pasti berhasil.

Indikasi orientasi kebelet menggenjot ekonomi tampak karena pada PEN 2021 terdapat anggaran PMN bagi Hutama Karya (HK) untuk melanjutkan tol Trans Sumatra dan ITDC untuk melanjutkan pembangunan infrastruktur pariwisata. Sementara pada anggaran sektoral/pemda, dialokasikan Rp12,7 triliun dengan label kawasan industri dan Rp14,96 triliun untuk ketahanan pangan yang utamanya untuk food estate.

Pada saat yang sama, bantuan sosial sebagian besar sudah dalam posisi ditarik maupun dikurangi manfaatnya. Bahkan insentif untuk tenaga kesehatan. Diduga karena mereka berasumsi perekonomian sudah pulih.

Menurut Misbah, jika pemerintah harus merealokasi anggaran, maka pos infrastruktur dan kementerian dengan dana jumbo seperti Kemenhan dan Polri-lah yang harus dirombak. Ia bilang alokasi anggaran sewajarnya disesuaikan dengan situasi kasus COVID-19 terus naik sementara penanganannya masih buruk.

Kontras dengan itu, ia bilang anggaran insentif nakes sewajarnya dipertahankan. “Kalau nakes sudah kehilangan semangat hanya karena pengurangan insentif, ini akan berdampak sangat buruk bagi negara kita,” ucap Misbah kepada reporter Tirto, Kamis (4/2/2021).

Belum lagi, menurut temuan ICW, penyaluran insentif belum merata. Santunan kematian baru diberikan kepada 153 keluarga atau 20 persen dari 647 tenaga kesehatan yang meninggal. Berdasarkan data LaporCovid-19, per 26 Januari 2021, sebanyak 75,6 persen nakes belum mendapatkan insentif. Sedangkan 24 persen lainnya menerima namun tidak sesuai dengan Kepmenkes 2539/2020.

Dengan segala manuver otak atik ini, Misbah menyimpulkan bahwa “sejak awal pemerintah tidak berani mengambil risiko untuk fokus pada penanganan kesehatan yang akan berdampak pada ekonomi.” Akibatnya persis seperti yang terjadi saat ini: “Sekarang COVID-19 tetap tinggi, ekonomi tidak terdongkrak.”

Baca juga artikel terkait PEMULIHAN EKONOMI NASIONAL atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Rio Apinino