Menuju konten utama

Saat Harga Rumah Subsidi Disandera Pengembang

Pemerintah akan menaikkan harga jual rumah subsidi 3 persen-7,75 persen atas masukan pengembang properti.

Saat Harga Rumah Subsidi Disandera Pengembang
Pembangunan perumahan bersubsidi di kawasan Bojong Gede, Bogor, Jawa Barat, Jumat (28/12/2018). ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/kye.

tirto.id - Harga rumah komersial hingga rumah subsidi atau public housing terus meningkat. Baru-baru ini, pemerintah berencana menaikkan harga rumah subsidi sebesar 3 persen sampai 7,75 persen. Kenaikan harga ini merupakan yang kesekian kalinya dalam sewindu terakhir.

“Usulan kenaikan harga rumah 2019 sudah disampaikan kepada Kementerian Keuangan, sekarang dalam pembahasan, usulannya kisaran 3 - 7,75 persen yang dibagi dalam 9 wilayah,” kata Direktur Jenderal Penyediaan Perumahan, Kementerian PUPR Khalawi Abdul Hamid.

Pemerintah beralasan, kenaikan harga rumah disebabkan karena ada kenaikan harga tanah dan material. Alasan lainnya, kenaikan harga rumah subsidi untuk merangsang pengembang atau developer agar tetap mau membangun rumah murah.

“Tidak logis juga untuk menugaskan pengembang membangun rumah subsidi untuk MBR tapi harganya tidak masuk. Nanti tidak ada pengembang yang mau membangun rumah subsidi untuk MBR,” kilah Khawali.

Kenaikan harga rumah subsidi bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) telah memperhitungkan kemampuan masyarakat membeli hunian bersubsidi. Klaimnya, pendapatan MBR juga mengalami kenaikan setiap tahun karena ada kenaikan UMP.

MBR merupakan istilah yang dipakai pemerintah, merujuk kepada masyarakat yang berhak menerima subsidi rumah karena mempunyai keterbatasan daya beli. Kementerian PU membatasi MBR adalah mereka yang punya penghasilan di bawah Rp7 juta per bulan.

“Kami mempertimbangkan tingkat keterjangkauan MBR untuk membeli. Tiap tahun UMR (Upah Minimum Regional) kan naik. Sudah dipertimbangkan karena harga rumah komersial juga semakin tinggi dan yang paling besar faktor kenaikan harga tanah yang sangat tinggi,” kata Khawali.

Lampu hijau dari pemerintah tentu disambut suka cita oleh pengembang. Daniel Djumali, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengembang Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia (APERSI) yakin kenaikan harga tidak akan menyulitkan MBR untuk tetap memiliki hunian. Ia bilang kenaikan upah yang diterima MBR, masih lebih besar ketimbang kenaikan harga rumah subsidi. Ia percaya kenaikan harga tidak akan melemahkan daya beli MBR untuk memiliki hunian.

“Dengan kenaikan harga, terbuka peluang bagi MBR untuk mendapatkan lahan hunian yang baik, tidak terus terpinggirkan, serta bangunan rumah yang tetap bagus dan layak huni,” jelas Daniel kepada Tirto.

Ia bilang, harga rumah subsidi meski naik, tapi bisa memberikan keuntungan berupa kepemilikan rumah. Sehingga, hasil akhir yang diharapkan adalah masyarakat menengah bawah tidak lagi mengontrak ataupun menyewa rumah setiap bulannya tanpa ada kejelasan untuk memiliki hunian.

Ketua Umum Himpunan Pengembang Pemukiman dan Perumahan (Hiperra), Endang Kawidjaja menjelaskan, kenaikan harga rumah subsidi ini perlu dilakukan untuk menjaga ketersediaan barang serta menggairahkan pengembang untuk tetap membangun rumah subsidi. Kenaikan harga juga tidak akan merugikan konsumen.

Menurut Endang, tidak semua pengembang membebankan harga jual rumah subsidi di batas atas harga yang ditetapkan pemerintah melalui PMK. Harga jual rumah subsidi bisa saja berada di bawah ketetapan harga dari pemerintah.

Endang mencontohkan, harga rumah di Tanjung Muncang, Batam, dipatok pemerintah berdasarkan PMK senilai Rp136 juta. Tetapi kisaran harga rumah yang berlaku di wilayah tersebut senilai Rp117 juta sampai dengan akhir 2018.

“Ini karena, harga rumah yang terjual sesuai dengan kemampuan pasar. Kenaikan tidak merugikan konsumen, karena yang menentukan mahal atau tidaknya harga rumah subsidi tersebut bukan PMK, melainkan kekuatan daya beli pasar,” jelas Endang kepada Tirto.

Infografik Kenaikan harga rumah subsidi

Infografik Kenaikan harga rumah subsidi

Klaim para pengembang tersebut berbanding terbalik bila melihat data di atas kertas. Hasil Survei Harga Properti Residensial di Pasar Primer yang dilakukan Bank Indonesia (BI) menyebut, pencairan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP)--sebuah skema subsidi bunga dan uang muka--mengalami penurunan pada triwulan III-2018, pencairan FLPP hanya sebesar 89,87 persen secara tahunan. Realisasi ini lebih rendah dibanding realisasi FLPP kuartal II/2018 yang sebesar 102,11 persen secara tahunan (PDF). Penurunan ini memang tak menjelaskan faktor utamanya, apakah faktor pasokan yang terbatas atau permintaan yang menurun.

Apa konsekuensinya bila harga rumah subsidi naik?

Mari berhitung. Bila pemerintah menetapkan kenaikan harga rumah bersubsidi menyentuh persentase paling tinggi yaitu 7,75 persen, maka MBR hanya memiliki sedikit selisih dari kenaikan upah minimum provinsi (UMP) yang naik sekitar 8 persen setiap tahun.

Beban kenaikan harga rumah belum ditambah dengan besaran inflasi yang berkisar 3 persen setiap tahun sesuai dengan target pemerintah. Artinya jika dijumlah, maka kenaikan harga jual rumah subsidi bila ditambah dengan faktor inflasi, kenaikannya akan lebih tinggi dibanding kenaikan UMP. Bila kenaikan harga rumah subsidi hanya sebesar 5 persen saja, maka kenaikan UMP juga tidak berarti signifikan untuk meladeni kenaikan harga rumah.

Ali Tranghanda, Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch (IPW) mengatakan, gagalnya pemerintah mempertahankan harga rumah subsidi dikarenakan ketidakmampuan pemerintah dalam menjaga harga lahan. Pemerintah selama ini tidak memiliki "bank tanah" atau land bank. Pasokan lahan banyak dikuasai oleh pengembang.

Padahal, bank tanah mutlak dilakukan jika tidak ingin harga rumah subsidi naik setiap tahunnya. Koordinasi yang bermasalah antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, diyakini menjadi penyebab mandulnya pemerintah memiliki bank tanah. Jika saja pemerintah memiliki bank tanah, maka harga lahan tersebut sudah jelas tidak akan mengalami kenaikan karena sudah dikendalikan.

"Dalam hal public housing atau rumah rakyat, pemerintah jelas tidak boleh mengandalkan swasta seperti yang saat ini dilakukan. Karena, ada motif bisnis di sana. Pemerintah jelas tidak bisa memaksa swasta untuk tidak menaikkan harga rumah subsidi, karena bisnis harus terus berjalan," jelas Ali kepada Tirto.

Ali menambahkan, jika dalam tiga tahun ke depan pemerintah tidak juga memiliki bank tanah, maka program terkait rumah rakyat bersubsidi, akan terhenti. Ini karena, selama tiga tahun ke depan pengembang perumahan akan membangun di atas lahan yang saat ini mereka miliki dengan menjual harga makin mahal, atau terus meminta kenaikan harga rumah kepada pemerintah.

Indonesia memang belum punya badan khusus perumahan seperti Housing Development Board (HDB) di Singapura, lembaga nirlaba di bawah Ministry of Development. HDB mengelola sisi permintaan perumahan, juga lembaga penerbit kredit perumahan, mengelola pasokan hunian, dan melakukan pemeliharaan hunian yang sudah dibangun.

"Masalah public housing memang masalah yang kompleks. Sayangnya pemerintah Indonesia tidak memiliki instrumen untuk mengembalikan harga tanah. Jadi sampai kapan pun, masalah ini akan sulit terselesaikan," kata Ali.

Baca juga artikel terkait RUMAH SUBSIDI atau tulisan lainnya dari Dea Chadiza Syafina

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Dea Chadiza Syafina
Editor: Suhendra