tirto.id - Rivalitas Cina dan Amerika Serikat (AS) tak hanya terjadi pada sektor ekonomi dan perdagangan, tapi juga menyentuh perluasan pengaruh di kawasan termasuk Asia Tenggara, utamanya terkait konflik di Laut Cina Selatan. Di sisi lain, negara-negara anggota ASEAN masih meragukan keduanya.
Pekan lalu, AS baru saja meloloskan undang-undang yang disebut dengan Asia Reassurance Initiative Act. Undang-undang tersebut mengindikasikan keinginan AS untuk menjaga hubungannya dengan para sekutunya dan apabila diperlukan, menggerakkan mereka untuk menangkal langkah-langkah Cina jika diperlukan.
Seperti dilaporkan South Cina Morning Post (SCMP), spesialis keamanan maritim di Nanyang Technological University, Collin Koh, mengatakan ketegangan di antara kedua negara memang sementara waktu cukup mereda baru-baru ini, terutama soal "gencatan senjata" perang dagang. Namun, UU ini dapat berpotensi memberikan dampak negatif pada hubungan kedua negara.
“Kita tidak dapat meremehkan potensi konsekuensi dari [UU] tersebut yang dapat berkontribusi pada penajaman persaingan Cina-AS, kendati soal apakah pemerintahan Trump akan benar-benar menindaklanjuti menjadi cerita yang lain,” kata Koh.
Melalui UU tersebut, AS memang berencana akan mengukuhkan komitmen keamanan mereka dengan para sekutunya dan akan mengalokasikan dana sebesar 1,5 miliar dolar AS per tahunnya untuk meningkatkan pengaruhnya di kawasan Asia dalam 5 tahun ke depan. Selain itu, mereka juga akan membangun kerja sama keamanan dengan sejumlah negara di Asia Tenggara.
Pada November lalu, Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong telah memberikan pesan kepada para pemimpin negara-negara Asia Tenggara bahwa pada suatu titik, ASEAN mungkin harus terpaksa memilih antara visi Cina atau AS.
“Saya pikir kita semua menginginkan untuk tidak harus memihak, tapi mungkin akan ada suatu masa ketika ASEAN mungkin harus memilih satu atau yang lain. Saya berharap situasi itu tidak akan segera datang,” sebut Lee Hsien dalam pertemuan tingkat tinggi tahunan ASEAN.
Sebagai catatan, Presiden AS Donald Trump absen hadir pada pertemuan tersebut, kendati Wakil Presiden AS Mike Pence mengatakan bahwa ASEAN merupakan “rekan strategis yang tidak tergantikan” untuk negara Paman Sam.
Perdana Menteri Cina Li Keqiang, sementara itu, telah meminta negara-negara anggota ASEAN untuk bekerjasama dengan Cina dalam menghalau kebijakan perdagangan AS serta segera merampungkan negosiasi mengenai Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP). RCEP merupakan kesepakatan perdagangan bebas antara 10 anggota ASEAN dan enam negara Asia-Pasifik lainnya, termasuk Cina
Kesepakatan ini penting mengingat Cina kini masih merasakan dampak negatif dari perang dagang dengan AS.
Keraguan ASEAN?
Sejauh ini, para tokoh di ASEAN memang masih terbelah sikap. Ini setidaknya tercermin dari hasil survei terbaru dari Pusat Studi ASEAN di ISEAS-Yusof Ishak Institute yang diterbitkan Senin (7/1) ini. Berjudul “The State of Southeast Asia: 2019,” survei tersebut dilakukan terhadap 1.008 responden yang berasal dari pemerintahan, akademisi, komunitas bisnis, pemimpin masyarakat sipil dan media di ASEAN pada 18 hingga 5 Desember 2018.
Laporan survei tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar responden tidak mempercayai keseriusan AS dalam memperluas pengaruhnya di Asia Tenggara. Sebanyak dua pertiga responden percaya bahwa keterlibatan AS dengan negara-negara Asia Tenggara menurun. Lebih lanjut, sebanyak sepertiga responden mengatakan bahwa mereka memiliki sedikit kepercayaan atau bahkan tidak sama sekali pada AS sebagai mitra strategis dan penyedia keamanan regional.
Lebih dari 50 persen responden, sementara itu, mengatakan bahwa mereka tidak mempercayai kedua negara akan “melakukan yang hal yang benar dalam kontribusi mereka terhadap perdamaian, keamanan, kesejahteraan dan tata kelola global.”
Negara yang mendapatkan kepercayaan besar dari negara-negara di ASEAN adalah Jepang, di mana sebanyak 65,9 persen responden memandang Negeri matahari terbit itu dengan perspektif positif.
Kendati demikian, sebanyak 73 persen dari responden mengatakan bahwa pengaruh ekonomi Cina di kawasan ASEAN sangat terasa. Jumlah ini jauh lebih besar dibandingkan mereka yang percaya bahwa AS memiliki pengaruh ekonomi kuat di ASEAN dengan persentase hanya sebesar 8 persen.
Pendapat para responden mengenai inisiatif sabuk dan jalan Cina (Belt and Road Initiative/BRI) sendiri terbelah dua. Sebanyak hampir 50 persen mengatakan bahwa proyek ambisius Cina untuk memperluas pengaruhnya di Asia tersebut dapat membawa negara-negara ASEAN berada di dalam cengkeraman Cina.
Separuh sisanya, sementara itu, mengatakan bahwa pinjaman yang diberikan Cina terkait inisiatif itu penting untuk pembangunan infrastruktur negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Namun, tidak sedikit pula (70 persen) yang mengatakan pemerintah negara-negara ASEAN harus berhati-hati dalam negosiasi mereka dengan Cina terkait inisiatif tersebut. Ini agar negara anggota ASEAN tidak terjebak pada utang pada Cina.
Moe Thuzar, peneliti utama ASEAN Studies Center di ISEAS, mengatakan hasil survei tersebut menunjukkan bahwa ASEAN bersikap sangat berhati-hati tidak hanya terhadap inisiatif sabuk dan jalan Cina, namun juga terhadap dua kekuatan besar yang tengah berduel di tingkat global tersebut.
“Saya tidak berpikir masyarakat Asia Tenggara - atau ASEAN- ingin berpihak, tetapi mereka sadar bahwa kepentingan AS dan Cina di wilayah ini lebih pada tabrakan daripada persaingan,” sebut Moe, dilansir SCMP.
Pentingnya Otonomi
Dewi Fortuna Anwar, profesor riset di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), menuliskan dalam analisisnya di majalah ASEAN Focus bahwa berkaca dari sejarah kawasan yang pernah tercerai berai karena perang dingin dan ideologi, negara-negara ASEAN pada masa-masa krusial ini memang sebaiknya menjaga otonomi mereka agar dapat mempertahankan perdamaian dan keamanan regional.
“Mengingat keragaman yang luar biasa di antara negara-negara anggota ASEAN dan di dalam masing-masing negara, berpihak dalam persaingan AS-Cina membawa risiko nyata tidak hanya memecah belah ASEAN tetapi juga memperburuk perpecahan internal yang masih ada di sejumlah negara anggota,” tulis Anwar.
Wakil Ketua Dewan Direksi Habibie Center itu mengatakan, meski tidak sempurna dan memiliki banyak kekurangan, ASEAN telah memiliki sejumlah pencapaian. Tidak hanya dikenal dengan keberhasilannya menjaga keharmonisan di antara anggotanya, organisasi kawasan tersebut juga makin dikenal dengan kemampuannya menjadi aktor penggerak dari kerjasama global yang melibatkan negara-negara adidaya termasuk Cina dan AS.
Anwar memperingatkan bahwa konflik yang berujung pada perpecahan negara anggota ASEAN hanya akan membawa kerugian bagi semua pihak, termasuk Cina dan AS, terlebih saat ini hubungan internasional sudah semakin kompleks, tidak hanya menyangkut masalah ekonomi namun juga politik.
“Bagi ASEAN sebagai sebuah institusi dan anggota-anggota konstituennya, mempertahankan otonomi strategis bukanlah suatu kemewahan, itu adalah strategi yang diperlukan untuk bertahan hidup sebagai sebuah kawasan dengan negara-negara anggota yang sangat beragam dan relatif lemah di tengah-tengah persaingan kekuatan-kekuatan besar,” tegas Anwar.
Editor: Suhendra