Menuju konten utama

Langkah Berani Mahathir Batalkan Proyek-Proyek Cina di Malaysia

Mahathir tak mau Malaysia bernasib seperti Sri Lanka yang tak bisa bayar utang ke Cina.

Langkah Berani Mahathir Batalkan Proyek-Proyek Cina di Malaysia
Mantan perdana menteri Malaysia Mahathir Mohamad berbicara selama wawancara dengan Reuters di Putrajaya, Malaysia, 30 Maret 2017. REUTERS / Lai Seng Sin

tirto.id - Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad harus terbang ke Cina untuk sebuah misi krusial sejak 17-21 Agustus 2018. Agenda utama misi ini adalah membicarakan upaya penangguhan berbagai proyek infrastruktur di Malaysia senilai $22 miliar yang bersumber dari pemodal Negeri Tirai Bambu.

Mahathir secara mengejutkan telah meninjau ulang manfaat pembangunan tiga proyek infrastruktur di Malaysia warisan rezim Najib, antara lain East Coast Railway Link (ECRL) atau proyek kereta api jalur pantai timur Malaysia dan juga dua proyek pipa penyalur gas alam. Mahathir mengedepankan narasi mengutamakan keuntungan Malaysia dan semangat memberangus sisa-sisa proyek peninggalan Nazib Razak.

“Malaysia tidak mendapat apa-apa dari investasi infrastruktur yang dilakukan Cina itu. Kami tidak menerima keuntungan apa-apa. Jadi, sebisa mungkin saya ingin membatalkan kerja sama pembangunan proyek itu,” kata Mahathir kepada Associated Press di Kota Putrajaya beberapa waktu lalu.

Ia memang menggarisbawahi Malaysia tetap ingin menjaga hubungan baik dengan Cina, tapi bila ada proyek yang tak menguntungkan negaranya, maka keputusan membatalkannya adalah langkah tepat.

Proyek ECRL rencananya akan menghubungkan lepas pantai timur Semenanjung Malaysia dengan rute pelayaran strategis ke barat Selat Malaka sepanjang 688 Km. Proyek bergengsi ini menelan dana investasi sampai dengan $20 miliar.

Sedangkan dua proyek pipa penyaluran gas alam di Semenanjung Malaysia dan juga Sabah dengan panjang masing-masing 600 Km dan 662 Km, memiliki nilai investasi sampai dengan $2,3 miliar. Investor asal Cina terlibat dalam seluruh proyek yang dibatalkan ini.

Sejak menjabat sebagai Perdana Menteri, Mahathir sangat kritis terhadap manfaat yang akan didapat Malaysia atas berbagai proyek infrastruktur yang disepakati pendahulunya. Pasca resmi menjabat, Mahathir aktif melakukan negosiasi ulang berbagai persyaratan proyek infrastruktur yang turut didanai asing bahkan ketika proyek tersebut telah memasuki tahap konstruksi. Proyek kereta cepat Singapura-Kuala Lumpur salah satunya.

“Banyak dari proyek infrastruktur yang disepakati pemerintahan sebelumnya, tidak memberikan keuntungan yang masuk akal kepada Malaysia,” kata Mahathir seperti diwartakan South China Morning Post.

Mahathir menemukan indikasi kesalahan hitung yang dilakukan oleh pemerintahan Najib Razak atas nilai proyek infrastruktur ECRL. Hitungan ulang Mahathir, nilai proyek ECRL lebih tinggi 50 persen dari nilai perkiraan pemerintahan Najib Razak yang sebesar $20 miliar. Ini artinya, jika pembangunan proyek tetap dilakukan, maka pemerintahan saat ini harus menambal kekurangan dana investasi infrastruktur sebelumnya.

Pembatalan berbagai pembangunan proyek infrastruktur ini, juga mengindikasikan langkah diplomasi Malaysia yang tidak ingin berutang budi kepada negara yang dipimpin oleh Xi Jinping. Mahathir memberi contoh Sri Lanka, sebagai negara yang "kehilangan banyak tanah" karena tidak dapat mengembalikan pinjaman dari Cina.

Perdana Menteri berusia 93 tahun ini mencontohkan pemerintah Sri Lanka yang pada tahun lalu harus mengalihkan pengendalian kelolaan pelabuhan di selatan Kota Hambantota selama 99 tahun kepada Cina, sebagai imbalan atas penghapusan utang.

“Kami tidak ingin menjual potongan negara ini kepada perusahaan asing yang akan mengembangkan seluruh kota. Kami akan tetap bersahabat dengan Cina, tapi kami tidak ingin berutang budi kepada mereka,” ucap Mahathir seperti dilansir Bloomberg.

Ia juga mempertimbangkan sejumlah alasan saat mengkaji ulang berbagai investasi asal Cina di Malaysia. Misalnya saja, dalam melakukan investasi, investor Cina tidak mempekerjakan penduduk Malaysia sebagai tenaga kerja. Absennya pertukaran teknologi juga menjadi dasar Mahathir dalam tinjauan ulang investasi infrastruktur Cina di Malaysia. Dengan begitu, modal investasi yang dikucurkan akan sepenuhnya balik dan menebalkan keuntungan perusahaan Cina.

Pembatalan proyek infrastruktur ini sekaligus sebagai bentuk penolakan Malaysia agar tidak terlalu bergantung kepada Cina ihwal dana investasi, meski pemerintahan Xi Jinping memfasilitasi dana senilai ratusan miliar dolar AS dalam investasi infrastruktur yang tersebar di seluruh dunia.

Di Malaysia, investasi Cina telah menimbulkan keprihatinan atas kedaulatan dan ketimpangan ekonomi meski negara pimpinan Xi Jinping itu merupakan sumber utama investasi asing langsung Malaysia yang menyumbang 7 persen dari total RM54,7 miliar total investasi asing sepanjang 2017. Mahathir merujuk rencana oleh Country Garden Holdings Co. Ltd., yang menginvestasikan $100 miliar di negara bagian Johor untuk membangun apartemen mewah.

Perusahaan pengembang properti asal Cina yang dimiliki Yang Guoqiang dan saat ini dijalankan oleh Yang Huiyan itu, membanderol harga apartemen senilai $258 ribu atau lebih dari RM1 juta. Padahal, pendapatan tahunan rata-rata penduduk Malaysia per tahun 2016 hanya sebesar RM62.736. Bisa saja memang apartemen tersebut menarik minat warga asing untuk berinvestasi sektor properti di Malaysia. Negeri Jiran ini memang memberikan ruang bagi warga asing membeli dan memiliki properti di sana. Namun menurut Mahathir, “Tidak ada negara yang ingin orang asing berbondong-bondong masuk ke negaranya,” ujarnya.

Infografik Investasi Infrastruktur Cina di ASEAN

Nasib Proyek Cina di ASEAN

Ambisi Cina untuk mewujudkan "Jalur Sutra" baru sepertinya masih jauh panggang dari api. Proyek ambisius negeri Tirai Bambu yang ingin mewujudkan konektivitas jalur perdagangan antar benua ini, menemui hambatan berupa perlambatan pertumbuhan ekonomi global yang terjadi saat ini. Faktor ekonomi jadi pertimbangan Malaysia dalam rangka pertimbangan ulang bahkan pembatalan sejumlah pembangunan proyek infrastruktur.

Myanmar pun mengungkap alasan yang sama atas dana investasi proyek infrastruktur yang secara besar-besaran dikucurkan Cina di sana. Negara yang dipimpin oleh Presiden Win Myint ini bahkan telah memangkas jumlah proyek pelabuhan yang semula 10 pelabuhan menjadi hanya dua pelabuhan yang akan dibangun dengan dukungan dana investasi Cina.

Pemangkasan dilakukan karena pemerintah Myanmar khawatir tidak bisa membayar utang jumlah besar kepada Cina. Myanmar memangkas proyeksi dana investasi pembangunan Pelabuhan Kyaukpyu, yang merupakan bagian penting dari ambisi Cina mewujudkan "Belt and Road Initiative", dengan rencana awal pembangunan 10 pelabuhan mencapai $7,3 miliar.

Wakil Menteri Keuangan Myanmar Set Aung, yang ditunjuk untuk memimpin negosiasi proyek pada Mei 2018, mengatakan kepada Reuters "ukuran proyek telah sangat diperkecil". Biaya investasi pun direvisi menjadi sekitar $1,3 miliar. Para pejabat negara Myanmar juga mempertimbangkan pengalaman Sri Lanka yang harus merelakan pengelolaan pelabuhan selama 99 tahun kepada Cina sebagai kompensasi pelunasan utang.

“Pengalaman itu tentu meningkatkan kekhawatiran Myanmar dapat masuk dalam perangkap utang Cina,” kata Set Aung dalam sebuah wawancara kepada Reuters seperti dikutip dari The Guardian.

Di bawah rencana semula, Kyaukpyu akan memiliki kapasitas kontainer untuk menyaingi pelabuhan seperti Manila atau Valencia di Spanyol. Pembangunan pelabuhan dan zona ekonomi khusus yang menyertainya yang diperkirakan menelan biaya hingga $10 miliar, diharapkan akan dimulai pada 2018.

Kyaukpyu adalah titik masuk untuk pipa penyalur minyak dan gas alam sepanjang 770 Km ke provinsi Yunnan di Cina. Pembangunan Pelabuhan Kyaukpyu menjadi keuntungan ekstra bagi Cina, karena menjadi rute alternatif untuk impor energi dari Timur Tengah, sehingga menghindari jalur strategis Selat Malaka. Biaya impor Cina bisa terpangkas dengan keberadaan pelabuhan ini.

Vietnam juga gamang dengan ‘Belt and Road Initiative’ ala Beijing ini. Salah satu pertimbangan Presiden Vietnam, Tran Dai Quang adalah program Jalur Sutra Baru ini dapat menyebabkan "ketergantungan berlebihan" kepada Beijing serta membahayakan wilayah Vietnam dan juga klaim maritim di Laut Cina Selatan.

Pemerintahan Tran Dai Quang juga menyoroti masalah lain, seperti perlindungan hak buruh yang tidak memadai, catatan lingkungan buruk perusahaan Cina, kurangnya transparansi, dan tantangan Cina dalam mekanisme penyelesaian sengketa yang diakui secara internasional.

Pertimbangan lain, meski Cina ingin mendanai proyek-proyek seperti pabrik baja, tenaga batu bara, proyek kereta api berkecepatan tinggi dan jalan raya, tapi pinjaman itu tidak akan murah dan mudah, seperti disampaikan oleh Dr Pham Sy Thanh dari Vietnam Economic and Policy Research Institute (VEPR). Menurutnya, tingkat bunga pinjaman Cina tidak akan serendah yang diharapkan.

“Ini terlihat dari contoh bunga pinjaman sebesar 2,5 persen yang ditawarkan Cina untuk pembangunan jalur rel kereta kecepatan tinggi yang menghubungkan Bangkok dan Nakhon Ratchasima. Bunga pinjaman tersebut terlalu tinggi, dan pemerintah Thailand akhirnya memutuskan untuk tidak mencari pinjaman dari Cina,” tutur Dr Pham Sy Thanh seperti dilansir dari hasil penelitian yang ditulis Le Hong Hiep dari Yusof Ishak Institute berjudul The Belt and Road Initiative in Vietnam: Challenges and Prospects (PDF).

Di sisi lain, kebiasaan Cina yang memaksakan keistimewaan dalam menyalurkan pinjaman seperti penggunaan teknologi, peralatan, dan kontraktor asal negeri Tembok Besar. Dalam kasus ini, Vietnam memiliki pengalaman ihwal melimpahnya tenaga kerja kontraktor asal Cina yang buruk dan penggunaan teknologi di berbagai proyek infrastruktur yang mengurangi penggunaan tenaga kerja domestik.

Le Hong Hiep dalam penelitiannya menunjukkan memang kebutuhan investasi infrastruktur sangat besar bagi Vietnam, tapi pemerintah akan berhati-hati dalam menggunakan pinjaman "Belt and Road Initiative" ini. “Akibatnya, implementasi jalur sutra di Vietnam kemungkinan akan lambat,” tulis Le Hong Hiep.

Indonesia juga menghadapi serupa seperti negara ASEAN lainnya, beberapa proyek infrastruktur seperti PLTU hingga kereta cepat yang dimodali Cina telah masuk ke Indonesia. Pada kasus kereta cepat Jakarta-Bandung 150 Km, pemerintah memang berjanji tak akan memakai uang APBN, tapi menyerahkan kepada BUMN. Kekhawatiran para BUMN terlilit utang kepada perusahaan Cina sempat muncul. Persoalan pembebasan lahan yang mandek mewarnai proyek senilai lebih dari US$ miliar ini.

Pada tahun politik, proyek kereta cepat Jakarta-Bandung barangkali akan menjadi senjata bagi lawan petahana untuk menyerang, dengan narasi pemerintah dinilai gagal tak mencapai target penyelesaian proyek pada 2019. Namun, pemerintah seharusnya tak ragu mengatakan mencoba belajar dari keberanian Mahathir dan negara ASEAN lainnya untuk mengkaji ulang atau membatalkan proyek mercu suar yang bersumber dari perusahaan Cina.

Baca juga artikel terkait MALAYSIA atau tulisan lainnya dari Dea Chadiza Syafina

tirto.id - Mild report
Penulis: Dea Chadiza Syafina
Editor: Suhendra