tirto.id - Letaknya 250 kilometer dari Kolombo, Ibu Kota Sri Lanka, tepatnya di selatan Hambantota. Saat diresmikan 2013 lalu oleh Mahinda Rajapaksa, Presiden Sri Lanka kala itu, bandara ini diniatkan sebagai lambang pembangunan di negara sisi selatan India ini. Bandara Mattala Rajapaksa International Airport (MRIA) merupakan bandara internasional kedua di Sri Lanka yang berkonsep hijau. Luas bandara ini memang tak megah-megah amat, hanya 12 ribu meter persegi, yang cukup mampu menampung 1 juta penumpang per tahunnya.
Beberapa tahun beroperasi, Bandara Mattala Rajapaksa sudah banyak dililit masalah. Sebuah pepatah jauh panggang dari api sangat cocok menggambarkan nasib bandara ini. Bandara Mattala Rajapaksa harus menyandang gelar sebagai bandara paling sunyi di dunia. Wade Shepard, kontributor penulis untuk Forbes mendeskripsikan ‘kesunyian’ MRIA dalam tulisannya berjudul “Kisah di Balik Bandara Internasional Paling Lowong”.
“Saat berjalan, langkah kakiku bergema di sepanjang gedung. Ada beberapa suara lain—(tapi) tak ada pengumuman penerbangan lewat PA (Public Announcement), tak ada senda-gurau penumpang yang menelepon lewat seluler mereka, tak ada supir taksi yang mencari penumpang. Koridor berplafon tinggi absen dari pengunjung lainnya, kecuali diriku sendiri.”
“Lain dari itu, semua terlihat sebagaimana bandara seharusnya: anjungan informasi dipenuhi tiga perempuan berpakaian rapi, satuan pengamanan ada di pos mereka, petugas kebersihan mengepel lantai, cendera mata berkilap di toko-toko, dan ada sebuah kafetaria kecil lengkap dengan juru masak dan kasir yang sedang bekerja. Bandara ini siap melayani, meski sebenarnya punya alasan layak untuk tidak,” tambah Shepard.
Di awal beroperasi, MRIA membuka tujuh penerbangan dengan penumpang penuh setiap harinya. Namun, itu tak berlangsung lama, pada 2014 atau setahun setelah beroperasi, MRIA cuma melayani 21 ribu penumpang untuk 3 ribu penerbangan yang mereka tawarkan atau dirata-ratakan, hanya ada tujuh penumpang dalam setiap penerbangan.
Sejumlah maskapai yang awalnya antusias, akhirnya mundur secara teratur. Dimulai dari AirArabia yang langsung menarik diri setelah enam bulan pertama mencicipi bandara ini. Disusul Mihin Lanka dan SriLankan Airline. Di awal 2016, hanya ada dua maskapai yang beroperasi di MRIA: Flydubai dan Rotana Jet. Baru pada Mei 2016, Cinnamon Air membuka rute penerbangan langsung dari MRIA menuju Kolombo.
Kondisi ini tentu berdampak pada pekerja di bandara ini, setidaknya jumlah staf yang sudah dipangkas 50 persen dari 600 orang jadi 300 orang. Wajar saja, bandara ini hanya melayani 10-20 penumpang per harinya, bandara ini pun merugi hingga $18 juta per tahun. Kerugian ini jelas pukulan berat bagi pengelola, Bandara Mattala Rajapaksa harus membayar utang dari pinjaman Cina.
Proyek Ambisi dan Cengkeraman Cina
Sri Lanka yang berada di dekat Samudera Hindia—salah satu titik jalur pelayaran tersibuk di dunia—diam-diam punya ambisi besar. Di bawah pimpinan Presiden Mahinda Rajapaksa yang terkenal korup, negeri ini ingin memanfaatkan keuntungan letak geografisnya secara maksimal. Membangun pelabuhan udara serta lautnya agar bisa menampung muatan lebih banyak dan jadi tempat singgah perdagangan dunia.
Rajapaksa kemudian punya gagasan untuk membangun bandaran dan pelabuhan di Hambantota, daerah kelahirannya yang masih didominasi hutan. Sekaligus menjadikan kampung halamannya sebagai metropolis kedua terbesar di Sri Lanka.
Megaproyek ini tentu saja membutuhkan pendanaan yang tak sedikit. Untuk semua cita-cita muluk itu, Sri Lanka memang kesulitan mencari sumber dana, terutama dari dunia Barat. Sebab ada kebijakan Amerika Serikat dan Uni Eropa yang menutup konsesi ekonomi dan bantuan untuk Sri Lanka, terkait perang saudara yang pernah terjadi di sana.
Proyek MRIA kurang lebih menghabiskan dana $209 juta atau sekitar Rp2,8 triliun. Anggaran negara Sri Lanka punya keterbatasan membiayai proyek besar ini. Rajapaksa kemudian mengundang Cina, hasilnya 90 persen biaya pembangungan Bandara MRIA digelontorkan dari pinjaman Cina.
Cina juga banyak memberikan pinjaman pembangunan infrastruktur, misalnya di Hambantota juga dibangun Pelabuhan Laut Magampura Mahinda Rajapaksa serta Stadion Kriket Internasional Mahinda Rajapaksa. Kurang lebih ada pinjaman lunak $4,8 miliar dari Cina ke Sri Lanka selama rezim Rajapaksa berkuasa. Biaya pembangunan infrastruktur di Hambantota dengan utang Cina, membawa Sri Lanka berutang hingga lebih dari $8 miliar.
Utang biaya infrastruktur yang kian menggunung tak diimbangi dengan mimpi besar Sri Lanka untuk menggerakkan ekonomi dari infrastruktur secara instan. Selain Bandara MRIA yang merugi, Pelabuhan Laut di Hambantota yang diharapkan jadi sumber pemasukan juga mengalami defisit. Lengkaplah sudah penderitaan Sri Lanka.
Akhirnya, untuk mengatasi perkara utang ini, Perdana Menteri Ranil Wickremesinghe menyerahkan pengelolaan pelabuhan kepada perusahaan Cina. China Merchants Holdings (International) Company Ltd mengambil alih 80 persen pemasukan Pelabuhan Hambantota dengan perjanjian ditukar untuk melunasi $1,1 miliar utang Sri Lanka pada Cina.
Sementara nasib Bandara MRIA masih terkatung-katung. Pemerintah sudah mengumumkan statusnya yang ingin disewakan kepada investor. Berdasarkan laporan Sunday Times, Koran Sri Lanka, perusahaan teknologi dari Cina bernama IZP tertarik untuk mengelola bandara. Namun, hingga kini belum ada kejelasan. Sama hal tak jelasnya konsep pembangunan bandara ini sejak awal yang tak mempertimbangkan populasi, infrastruktur komersial, daya tarik bagi orang asing. Semua ini tak tersedia di Hambantota sebagai lokasi bandara.
“Bandara, saya merasa lokasinya salah,” kata Ekonom Senior dari Hayleys Plc di Kolombo, Deshal de Mel seperti dikutip dari Forbes.
Penulis: Aulia Adam
Editor: Suhendra