tirto.id - Maladewa tersohor karena keindahan bentang alamnya. Birunya laut dan putihnya pasir jadi daya tarik andalan. Tak heran bila wilayah ini menjadi salah satu tujuan wisata favorit para pelancong dari seluruh dunia. Terlebih saat Maladewa berhasil menyabet gelar World's Leading Beach Destination 2015 & 2016 dalam ajang World Travel Award.
Bagi Maladewa, pariwisata juga menjadi tulang punggung. Dalam laporan Travel & Tourism: Economic Impact in Maldives 2017, pariwisata menyumbang 40,9 persen kontribusi langsung pada Produk Domestik Bruto (PDB) Maladewa, dan diperkirakan kontribusinya mencapai 44 persen pada 2027 nanti.
Bernama resmi Republik Maladewa, letak negara ini berada di sebelah barat daya Sri Lanka dan India. Deretan kepulauan terdiri dari 26 atol (pulau koral) inilah yang bila ditotal, punya luas daratan 298 kilometer persegi setara kurang dari setengah luas DKI Jakarta. Membuatnya menjadi negara termungil di Asia.
Di tengah citra Maladewa sebagai negara pariwisata kelas dunia, mantan Presiden Mohamed Nasheed membuat pernyataan mengejutkan: mereka berutang besar pada Cina, dan utang itu bisa membawa petaka. Maladewa terancam diambil alih pemerintahan Beijing pada awal 2019 nanti.
“Kami tidak dapat membayar utang sebesar 1,5 miliar sampai 2 miliar dolar kepada Cina,” kata Nasheed kepada media Jepang, Nikkei Asian Review. Hingga Januari kemarin, surat utang Maladewa yang dipegang Cina sudah menyumbang hampir 80 persen dari total utang luar negeri Maladewa.
Nasheed mengkritik pola pembangunan infrastruktur gila-gilaan yang digenjot oleh Presiden Maladewa saat ini, Abdulla Yameen. Menurutnya itu hanya sebuah “proyek kebohongan” yang tak banyak berdampak pada peningkatan ekonomi kerakyatan.
Cina disebut telah mengambil alih 16 pulau, meski Nasheed tak membeberkan nama-nama pulau tersebut. “Tanpa menembakkan sebutir peluru pun, Cina telah mengambil lebih banyak lahan dibanding East India Company (perusahaan kolonial Inggris) pada puncak abad ke-19,” kata Nasheed lagi.
Tudingan Nasheed kepada Cina yang juga dimuat di media lokal India ini mendapat sanggahan dari juru bicara Kedutaan Besar Cina untuk India, Ji Rong. Dalam sebuah pernyataan resmi kedutaan, ia mengatakan bahwa tuduhan tersebut tidak berlandaskan pada bukti.
Ji Rong menuliskan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, hubungan Cina dan Maladewa didasari pada rasa saling menghormati, kesetaraan, dan sebuah keuntungan bersama. Menurutnya, ketika Nasheed masih menjabat presiden, Cina dan Maladewa sudah meluncurkan proyek kerja sama yang relevan. Ji Rong menilai bahwa tuduhan perebutan tanah yang dilontarkan oleh Nasheed lebih bermuatan politik terutama bagi posisinya sebagai eksil.
Jika merujuk pada data Statistical Yearbook of Maldives 2017 tentang daftar pinjaman asing untuk biaya proyek infrastruktur Maladewa, nama Exim Bank Cina memang mencuat sebagai pengucur dana tertinggi dibandingkan lembaga keuangan asing lainnya.
Pada 2017, pinjaman dari Exim Bank Cina untuk Maladewa diperkirakan mencapai angka 726,6 juta Maldives Rufiyaa atau 46,9 juta dolar. Jumlahnya diperkirakan akan meningkat menjadi 110 juta dolar pada 2019 nanti. Dana pinjaman itu rencananya dipakai untuk pengadaan ribuan rumah, bandara, juga jembatan.
Exim Bank Cina memang bukan satu-satunya pemberi dana pinjaman bagi Maladewa. Ada pula dana dari Saudi Arabia, Abu Dhabi, Kuwait, Islamic Development Bank, OPEC Fund For International Development (OFID), Asian Development Bank (ADB) tapi jumlahnya tak sebesar pinjaman Exim Bank Cina.
Mohamed Nasheed adalah pemimpin kelompok oposisi dari Abdulla Yameen. Negara bekas jajahan Inggris ini terakhir mengalami krisis politik selama kurun waktu 2011 sampai 2012. Demonstrasi damai menanggapi krisis ekonomi pada akhirnya berujung tuntutan penggulingan Presiden Mohamed Nasheed.
Gerakan oposisi kala itu dipimpin oleh mantan diktator Maladewa, Maumoon Abdul Gayoom yang memerintah Maladewa dengan tangan besi selama 30 tahun (1978–2008) sebelum akhirnya kalah dalam Pemilu 2008 yang dimenangkan oleh Nasheed. Presiden baru ini dikenal sebagai aktivis lingkungan dan HAM yang terpilih sebagai presiden secara demokratis pertama sejak 30 tahun terakhir.
Setelah gelombang demonstrasi besar selama tiga minggu berturut-turut dan puncaknya melibatkan aparat polisi, Nasheed dipaksa mengundurkan diri pada 7 Februari 2012 di bawah todongan pistol. Statusnya kemudian menjadi tahanan politik.
Nasheed menjadi bulan-bulanan rezim baru. Ia terpaksa kabur dari negaranya setelah dijerat oleh Undang-Undang Anti Terorisme dan dihukum 13 tahun penjara. Inggris akhirnya memberi status pengungsi politik pada Nasheed, meski itu berbuah kecaman dari pemerintahan Maladewa yang baru.
Sementara kiprah Presiden Abdulla Yameen yang menggantikan Nasheed makin berjalan ke arah pemerintahan tangan besi, meneruskan jejak Gayoom. Yang paling hangat, Yameen memecat dua hakim Mahkamah Konstitusi lantaran pada 1 Februari 2018 telah mengeluarkan putusan pembebasan hukum bagi Nasheed dan pengembalian posisi 12 anggota parlemen yang dipaksa turun oleh Yameen.
Keadaan darurat segera diumumkan oleh pemerintahan Yameen menyusul krisis di tubuh konstitusi Maladewa baru-baru ini. Bahkan, seperti dimuat The Wire, Yameen yang juga saudara tiri Gayoom ingin memperpanjang masa darurat selama satu bulan ke depan.
BBC juga merilis berita bahwa Yameen juga pernah menahan Menteri Pertahanan Maladewa dengan tuduhan perencanaan kudeta. Tampaknya Yameen ingin mempersiapkan Pemilihan Presiden 2018 dengan memastikan tidak ada lawan tangguh. Satu per satu lawan politiknya disingkirkan, dan menciptakan kondisi darurat yang menimbulkan kerusuhan.
Dihimpit Raksasa India dan Cina
Dalam kritik Nasheed mengenai utang Maladewa, ia menyinggung bagaimana Yameen telah berkoalisi dengan pemerintahan Xi Jinping dalam kebijakan luar negeri dan urusan ekonomi bisnis. Yameen kemudian menandatangani program ekonomi Cina bernama “Satu Sabuk Satu Jalan”. Memberi keleluasaan bagi Cina mengucurkan pinjaman dan mengirim perusahaan negara untuk turut mengembangkan berbagai pembangunan infrastruktur di Maladewa.
Di sisi lain, Nasheed selama masa kepemimpinannya dikenal dekat dengan negara-negara Barat sembari menekan
kelompok konservatif Islam yang tengah mekar di Maladewa. Dalam sebuah wawancara dengan Nikkei Asian Review, Nasheed secara eksplisit meminta bantuan India untuk mengintervensi Maladewa yang tengah dalam krisis politik. Ia melihat kehadiran militer India di Maladewa sudah sepatutnya ada.
“Tidak semua orang di Male (ibukota Maladewa) akan terhibur melihat tentara India berkeliaran di jalanan. Tapi, India bukanlah pasukan pendudukan,” kata Nasheed. “Mereka adalah pasukan pembebasan.”
New Delhi pernah merespons desakan Nasheed pada 6 Februari kemarin dengan meningkatkan kehadiran angkatan lautnya di perairan internasional sekitar satu jam dari Male. Tensi kian memanas. Pada Selasa (20/2) kemarin, seperti diberitakan oleh Reuters ada 11 kapal perang Cina yang berlayar menuju Maladewa untuk merespons krisis politik di sana.
Bagaimanapun, pengaruh India di Maladewa telah menyusut sejak Nasheed tak lagi memimpin negara tersebut. Anand Kumar dari Institute for Defense Studies and Analyses di New Delhi mengatakan India harus mempertimbangkan ulang opsi menerjunkan militer di Maladewa. Kumar meminta India untuk belajar dari pengalaman penerjunan pasukan militer ke Sri Lanka pada 1987 silam. Saat itu, bukannya menjaga perdamaian, India akhirnya malah ikut berkubang dalam perang sipil.
Cina sendiri membantah tuduhan bahwa piutang dan bantuan yang diberikan pada Maladewa akan berujung pada pendudukan lahan demi kepentingan politik dan militer. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Geng Shuang meyakinkan bahwa tak ada unsur politik, apalagi penguasaan lahan, yang melanggar prinsip kemerdekaan negara.
"Bantuan Cina ke Maladewa tidak memiliki ikatan politik dan tidak membahayakan kedaulatan dan kemerdekaan Maladewa sama sekali, masih kurang membahayakan keamanan di Samudera Hindia," tuturnya.
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Nuran Wibisono