tirto.id - Maladewa yang berada sekitar 700 km dari Sril Lanka ini adalah surga bagi para pecinta lautan biru dengan pasir putih. Keindahan pantai dan terumbu karang menjadi daya tarik bagi para wisatawan mancanegara.
Keindahan pantainya membuat Maladewa dinobatkan sebagai World's Leading Beach Destination 2016 pada ajang World Travel Awards. Sudah dua tahun Maladewa menyabet penghargaan tersebut. Pada 2015, Maladewa juga dinobatkan sebagai World's Leading Beach Destination mengalahkan Filipina, Meksiko, Yunani dan negara lainnya yang masuk dalam nominasi ajang tersebut.
Selain menjadi destinasi pantai terbaik, Maladewa juga menjadi destinasi bagi para pecinta diving. Pada 2016, Maladewa juga dianugerahi penghargaan sebagai World's Leading Dive Destination mengalahkan Mauritius, Tanzania dan negara lainnya yang juga menjadi destinasi bagi para pecinta diving.
Keindahan Maladewa tersebut mampu menarik sekitar satu juta wisatawan mancanegara setiap tahunnya. Laporan Kementerian Pariwisata Maladewa dalam Tourism YearBook 2016 menunjukkan jika setiap tahun terjadi peningkatan jumlah wisatawan mancanegara dari 994 ribu wisatawan pada 2011 menjadi 1,18 juta wisatawan pada 2015.
Masalah Sampah di Maladewa
Maladewa yang indah dengan penduduk hanya 400 ribu orang ternyata menyimpan permasalahan klasik yakni soal sampah. Meski penduduknya terbilang paling kecil, akan tetapi kunjungan wisatawan yang terus meningkat setiap tahunnya, tentu menambah volume sampah.
Berbeda dengan negara lain yang memiliki lahan luas sebagai tempat pembuangan sampah, pemerintah Maladewa yang memiliki lahan yang kecil harus mencari solusi dari permasalahan sampah agar tak mencemari laut. Pemerintah sepakat untuk membuangnya ke pulau lain.
Pulau Thilafushi, pulau hasil reklamasi ini menjadi tempat penampungan sampah di Maladewa. Sebelumnya, Thilafushi merupakan laguna yang indah. Desember 1991, pemerintah Maladewa memutuskan untuk menjadikan laguna itu sebagai tempat pembuangan sampah. Setahun kemudian, reklamasi dimulai.
Volume sampah yang terus meningkat, membuat ukuran pulau Thilafushi semakin meluas. Dengan volume wisatawan yang lebih dari 10.000 orang per minggu, sampah yang dihasilkan semakin banyak sehingga membuat pulau sampah kini mencapai 50 hektare.
Menurut laporan The Guardian, seorang turis mampu menghasilkan 3,5 kg sampah dan membutuhkan 500 liter air setiap hari. Sehingga setiap hari sekitar 330 ton sampah dibuang di Thilafushi.
Sebagian besar sampah berasal dari Male yang menjadi ibukota Maladewa. Sampah-sampah yang dibuang ke Thilafushi atau “pulau sampah” ada yang didaur ulang, ada yang dibakar serta ada juga sampah yang dikubur.
Setidaknya, di pulau tersebut berdiri lebih dari 30 pabrik. Mulai dari pabrik pengemasan semen dan gas, manufaktur perahu, hingga pergudangan. Pulau ini juga menjadi tempat tinggal sekitar 150 imigran asal Bangladesh yang sehari-hari bekerja untuk memilah sampah.
Sayangnya, pengolahan sampah di Thilafushi dinilai belum maksimal. Banyak sampah yang akhirnya berakhir di lautan. Ada juga yang terhempas kembali ke Male. Sampah juga menyebabkan beberapa situs penyelaman terkontaminasi serta mengancam terumbu karang di wilayah tersebut.
“Kami melihat baterai, asbes, timbal dan limbah berbahaya tercampur dengan limbah padat perkotaan dimasukkan ke dalam air. Meski adalah bagian kecil dari total [sampah], limbah ini merupakan sumber logam berat beracun dan ini meningkatkan permasalahan ekologi dan kesehatan,” kata pemerhati lingkungan Ali Rilwan, seperti dikutip The Guardian.
Kondisi Pulau Thilafushi jelas jauh berbeda dengan kawasan-kawasan wisata pantai yang berpasir putih dan berlaut biru di wilayah Maladewa. Sejumlah orang yang pernah mengunjungi pulau sampah mengungkapkan bahwa sampah, kabut yang bercampur asap terlihat di mana-mana.
Masalah sampah Maladewa bahkan menyeret India. Tempat penampungan sampah yang minim membuat Maladewa “mengekspor” sampah ke India.
“Sebelumnya, kapal-kapal India yang membawa sayuran untuk kami dari India Selatan akan kembali tanpa muatan, tapi sekarang kami mengirim kaleng rusak, logam, kardus untuk mereka. Mereka kemudian menyortir dan mendapat uang tunai,” kata Rilwan.
Pengelolaan sampah menjadi tantangan lingkungan besar bagi Maladewa. Pemerintah dan LSM lingkungan sama-sama telah melakukan inisiatif utama untuk mengatasi masalah itu. Salah satu inisiatif tersebut adalah Peraturan Pengelolaan Limbah baru yang kini telah membuat wajib bagi setiap pulau memiliki situs pengelolaan limbah sendiri yang disetujui oleh Badan Perlindungan Lingkungan (EPA).
Sampah Juga Masalah Global
Tak hanya Thilafushi yang menjadi pulau sampah di dunia. Singapura juga memiliki pulau sampah yaitu Pulau Semakau. Singapura yang juga memiliki lahan minim harus membuang sampahnya di pulau yang berjarak sekitar delapan km di selatan Singapura tersebut.
Pulau itu seluas 3,5 km persegi. Namun dalam hal pengelolaan sampah, Singapura jauh lebih baik sebab Semakau dirancang dengan tempat pembuangan sampah yang dilapisi plastik tebal dan tanah liat untuk mencegah sampah mencemari laut.
Sementara itu, Cina dan Indonesia yang notabene memiliki lahan yang luas yang dapat dijadikan TPA agar sampah-sampah tak mencemari laut malah mendapat predikat penyumbang sampah laut terbesar di dunia. Laporan The World Street Journal mengungkapkan jika Cina menduduki peringkat nomor satu dalam pembuangan sampah ke laut.
Masyarakat Cina setidaknya menghasilkan 8,82 metrik ton sampah dan sekitar 1,32 juta metik hingga 3,5 juta metrik ton di antaranya menjadi sampah laut. Sedangkan Indonesia menghasilkan 3,22 juta metrik ton sampah plastik. Jumlah tersebut setara dengan 10 persen dari total sampah di dunia. Sekitar 1,29 juta metrik ton sampah dari Indonesia berakhir menjadi sampah laut.
Pada 2014, riset di jurnal Plos One mengungkap ada 5 ton sampah plastik mengambang di laut. Beratnya diperkirakan sekitar 250 ribu ton. Padahal di laut, sampah tak hanya mengganggu terumbu karang.
Sampah anorganik dapat melukai dan membunuh ikan, burung laut dan mamalia laut. Setidaknya akan berdampak pada 267 spesies di seluruh dunia, termasuk 86 persen dari semua spesies penyu, 44 persen dari semua spesies burung laut dan 43 persen dari semua spesies mamalia laut.
Teti Suryati dalam Bijak dan Cermat Mengelola Sampah mengungkapkan jika volume sampah tidak terlepas dari pertambahan jumlah penduduk. Hal ini diperparah dengan produksi sampah yang tidak berbanding lurus dengan kecepatan pengangkutan dan pengolahan sampah.
Sedangkan Bank Dunia memprediksi jika pertumbuhan populasi global di tahun 2100 akan menghasilkan sampah tiga kali lebih besar dari sampah yang dihasilkan saat ini. Ini akan menjadi masalah yang sangat serius, tak hanya bagi Maladewa, Singapura, Cina atau Indonesia. Tapi masalah serius bagi dunia.
Penulis: Yantina Debora
Editor: Maulida Sri Handayani