Menuju konten utama

RUU Permusikan: Cerminan Cara Pikir Legislator yang Doyan Bui Orang

Anggara menilai logika berpikir legislator yang menyusun regulasi keliru, karena jika ada UU, harus ada larangan dan sanksi.

RUU Permusikan: Cerminan Cara Pikir Legislator yang Doyan Bui Orang
Sejumlah musisi yang tergabung dalam Kami Musik Indonesia menghadiri pertemuan dengan Badan Legislasi DPR di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (7/6). ANTARA FOTO/M Agung Rajasa

tirto.id - Rancangan Undang-Undang Permusikan yang digagas Komisi X DPR RI tak hanya dikritik para musisi, tapi juga disorot etnomusikolog Aris Setiawan hingga praktisi hukum Anggara Suwahju. Keduanya sama-sama mempersoalkan pasal “karet” yang terdapat dalam pasal 5 regulasi itu.

Poin ini berisi beberapa larangan bagi para musisi: dari mulai membawa budaya barat yang negatif, merendahkan harkat martabat, menistakan agama, membuat konten pornografi hingga membuat musik provokatif. Sementara ketentuan pidananya diatur dalam pasal 50.

Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara Suwahju menilai para penggagas RUU Permusikan punya logika berpikir yang salah soal hukum dan peraturan. Ini tampak dari cara pandang anggota legislatif dalam rumusan RUU Permusikan.

“Cara berpikir legislator kita yang seolah-olah [jika] ada undang-undang, artinya perlu juga ada pelarangan atau sanksi,” kata Anggara saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (31/1/2019).

Anggara menilai logika seperti itu keliru dalam menyusun regulasi. Sebab, dalam pembuatan aturan atau undang-undang, sebenarnya tidak wajib memasukkan pelarangan atau sanksi, terlebih aturan terkait penistaan agama atau pornografi telah diatur dalam UU lain.

“Dianggapnya [setiap aturan] kalau enggak ada larangan, itu bukan UU, ini [logika yang] salah,” kata Anggara.

Kekeliruan berpikir ini, kata Anggara, yang membuat legislator memasukkan poin-poin larangan di dalamnya. Ditambah lagi klausul tersebut rentan menjadi pasal “karet”, seperti pasal-pasal di UU ITE yang selama ini sudah banyak memakan korban.

Selain itu, kata Anggara, pelibatan musisi dalam pembahasan RUU Permusikan ini masih minim.

Hal tersebut, kata Anggara, yang turut membuat RUU Permusikan bukannya melindungi para musisi, tapi justru mengancam dan berpotensi membelenggu kreativitas musisi dan pekerja seni.

Menurut Anggara kejadian serupa terjadi saat pembentukan UU ITE yang bertujuan melindungi masyarakat dari kejahatan cyber, justru menjadi “momok” karena terdapat sejumlah pasal “karet.”

“Sebenarnya [untuk] kejahatan yang menggunakan teknologi komunikasi itu kompleks, yang khasnya cyber, bukan yang seperti ini. Ketika itu masuk ke DPR [pembahasan UU ITE], muncullah larangan-larangan lain,” kata Anggara.

Perlu Dirombak dan Libatkan Musisi

Terkait ini, musisi sekaligus etnomusikolog dari ISI Surakarta, Aris Setiawan, meminta Komisi X DPR RI merombak total pasal-pasal “karet” yang terdapat dalam RUU Permusikan. Jika tidak dirombak, ia meminta RUU tersebut lebih baik dibatalkan.

“Maka dari itu pasal-pasal karet yang terkandung di dalamnya harus dirombak total. Atau jika tidak memungkinkan dirombak, batalkan saja RUU Permusikan ini,” kata Aris saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (31/1/2019).

Menurut Aris, RUU Permusikan ini semestinya hanya mengatur soal tata industrinya bukan konten musiknya. Sebab dengan mengatur pelarangan hingga ke konten, bisa membuat musisi rawan “dikriminalisasi.”

Aris khawatir jika tetap ada klausul soal larangan, maka hal tersebut akan memengaruhi proses kreativitas musisi. Alasannya, musisi akan melakukan penyensoran terhadap karyanya untuk menghindari agar tidak terjerat pidana.

“Tentu saja ini akan membatasi dan menghalangi proses kreatif musisi. Kenapa? Kalau dipandang dari kacamata musik sebagai seni, musisi harus punya hak prerogatif dalam berkarya. Mereka harus punya kebebasan untuk berkreasi apa pun bentuknya. Maka, konten apa yang akan dihadirkan dalam karya musik itu adalah bebas sesuai kemauan sang musisi,” kata Aris.

Infografik CI RUU Musik

undefined

Suara Para Musisi

Sejumlah musisi yang diwawancara reporter Tirto, mulai dari vokalis band Efek Rumah Kaca, Cholil Mahmud; vokalis band metal rock Seringai, Arian Tigabelas; penyanyi genre folk Iksan Skuter; Glenn Fredly; hingga musikus beraliran folk Jason Ranti mengkritik keras RUU Permusikan ini.

Mereka ramai-ramai menilai ada klausul yang rentan menjadi pasal “karet” dalam RUU tersebut. Disebut “karet” karena ia tak memiliki tolak ukur yang jelas.

Apalagi, kata Cholil Mahmud, interpretasi aparat tak selalu sama dengan pembuat lagu. Padahal, di satu sisi, kreativitas sangat dibutuhkan untuk menciptakan seni.

Sementara Jason Ranti menilai RUU Permusikan hanya membikin musik Indonesia seperti era Orde Baru.

“Seperti mundur ke belakang. Pasal 5 dalam RUU itu baunya Orde Baru sekali. Terus saya diharapkan buat lagu yang seperti apa? Lagu yang baik-baik saja? Lho, memangnya keadaan Indonesia sedang baik-baik saja? Kan, tidak,” kata Jason saat dihubungi reporter Tirto.

Dalam kasus RUU Permusikan ini, Jason Ranti juga mengkritik Anang Hermansyah yang saat ini duduk di Komisi X DPR. Ia dinilai tidak bisa berbuat banyak terkait munculnya pasal “karet” dalam RUU yang dikritik sejumlah musisi ini.

Anang Hermansyah tidak mempersoalkan kritik yang diajukan kepada RUU Permusikan yang sedang dibahas komisinya. “Proses RUU ini untuk disahkan masih panjang. Silakan diperdebatkan dan dikritisi. Enggak apa-apa,” kata Anang kepada reporter Tirto, Kamis (31/1/2019).

Tentang kritik yang mulai diarahkan kepadanya sebagai musisi yang duduk di Komisi X, Anang juga tidak keberatan.

“Enggak apa-apa, kok, kritikan mereka. No problem. Saya tidak tersinggung. Saya yakin itu bentuk kasih sayang mereka ke industri musik Indonesia. Saya tidak menyalahkan mereka semua, karena saya tahu mereka tidak paham prosesnya,” kata Anang.

Baca juga artikel terkait RUU PERMUSIKAN atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Fadiyah Alaidrus & Haris Prabowo
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Mufti Sholih