tirto.id - Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketahanan Keluarga dikecam oleh sejumlah pihak. Mulai dari pasal-pasal yang ada di dalamnya, hingga naskah akademiknya dinilai “tidak nyambung”, memiliki logika yang aneh, hingga malah menghapuskan perjuangan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
Salah satu poin yang sangat disoroti dalam RUU tersebut adalah pembagian kerja antara suami dan istri yang hendak diatur oleh negara. Pengaturan tersebut tercantum dalam Pasal 25.
Isi dari pasal tersebut berbunyi seperti ini:
(2) Kewajiban suami sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), antara lain:
a. sebagai kepala Keluarga yang bertanggung jawab untuk menjaga keutuhan dan kesejahteraan Keluarga, memberikan keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya, dan bertanggung jawab atas legalitas kependudukan Keluarga;
b. melindungi keluarga dari diskriminasi, kekejaman, kejahatan, penganiayaan, eksploitasi, penyimpangan seksual, dan penelantaran;
c. melindungi diri dan keluarga dari perjudian, pornografi, pergaulan dan seks bebas, serta
penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; serta
d. melakukan musyawarah dengan seluruh anggota keluarga dalam menangani permasalahan keluarga.
(3) Kewajiban istri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), antara lain:
a. wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya;
b. menjaga keutuhan keluarga; serta
c. memperlakukan suami dan Anak secara baik, serta memenuhi hak-hak suami dan Anak sesuai norma agama, etika sosial, dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
“Itu sudah ngaco deh,” ungkap aktivis perempuan Tunggal Pawestri kepada reporter Tirto pada Rabu (19/2/2020).
“Yang ada di situ akan memperkuat pembakuan peran yang sifatnya mendomestikasi perempuan. Ini kayak mundur ke beberapa puluh tahun lalu,” tambahnya.
Padahal, permasalahan semacam ini, jelas Tunggal, seharusnya tak perlu dimunculkan lagi. Belum lagi hal tersebut bertentangan dengan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Selain itu, RUU tersebut juga bertentangan dengan sejumlah perjanjian atau agenda internasional yang sudah diikuti Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan kesetaraan, seperti Sustainable Development Goals (SDGs).
Selain itu, Tunggal pun menilai bahwa naskah akademiknya justru tak berkaitan dengan apa yang dirumuskan dalam RUU Ketahanan Keluarga. Contohnya, jelas Tunggal, salah satu latar belakang masalah yang dijelaskan dalam naskah akademik adalah tingginya angka kematian ibu dan perceraian.
“Tingginya kematian ibu sendiri kan enggak lepas dari masalah pernikahan atau kehamilan di usia dini, dan masalah asupan nutrisi. Ya yang seharusnya diurus masalah-masalah tersebut,” tegasnya.
Selain itu, dalam naskah akademik tersebut pun masalah tingginya perceraian yang disoroti antara lain disebabkan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). “Ya yang diurus seharusnya masalah kekerasannya, kok dalam pasal-pasalnya malah enggak diatur sama sekali soal kekerasan,” jelas Tunggal.
“Ini akar persoalannya apa, jawabannya enggak nyambung,” ungkapnya.
Masalah lainnya, jelas Tunggal, pembagian kerja tersebut memiliki pandangan yang sangat sempit mengenai bentuk keluarga. Pasalnya, bentuk keluarga yang ada di Indonesia sangat beragam, seperti ada ibu tunggal, ayah tunggal, ibu yang bekerja sebagai buruh migran, dan sebagainya.“Nah, lalu bagaimana dengan yang bentuknya keluarganya berbeda? Sudahlah, poin pembagian kerja tersebut tak relevan,” ujarnya.
Dengan berbagai poin yang bermasalah, jelas Tunggal, bahkan hingga naskah akademiknya, Tunggal menilai bahwa keberadaan RUU tersebut tak lagi relevan dan menjawab persoalan yang dipaparkannya.
“Saya sih berharap ini RUU dibuang aja, enggak perlu ada UU ini. Tapi kalau memang dipaksa ada, aturlah UU berdasarkan keadilan gender, HAM, jangan malah meminggirkan perempuan dalam membangun bangsa,” pungkasnya.
Peneliti Support Group and Resource Center on Sexuality Studies (SGRC) Arief Rahadian pun mengkritiknya. Arief menjelaskan bahwa teori yang digunakan dalam naskah akademiknya pun tak nyambung dengan solusi yang dikeluarkan dalam RUU tersebut.
“Mereka menggunakan teori struktural fungsional. Jadi intinya adalah, masyarakat dianggap sebagai satu organisme, atau bagian tubuh, yang ada ginjal, paru-paru, jantung, harus bekerja bersama, itu yang digunakan oleh teman-teman yang merumuskan RUU ini,” jelas Arief kepada reporter Tirto.
“Namun, ada semacam lompatan logika karena kalau menggunakan teori tersebut, seharusnya tidak ada pembatasan peran antara suami dan istri, malah seharusnya peran itu dibebaskan [..] Teori yang sebenarnya sangat egaliter, kemudian di RUU-nya malah ada pembatasan,” lanjutnya.
Arief pun merasa janggal selepas menganalisis pasal-pasal dalam RUU Ketahanan Keluarga. Dalam RUU tersebut, tata keluarga muncul 601 kali, kemudian diikuti dengan agama (56), hormat (12), serta cinta (8).
“Kata ‘setara’, ‘kekerasan’, ‘poligami’, sama sekali tidak diatur. Kenapa justru keyword-keyword pentingnya enggak masuk?” ujar Arief.
Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi pun mencerca isi dari RUU tersebut. Terlebih, masalah pembagian tugas yang diatur di dalamnya.
“Itu bentuk diskriminasi yi subordinasi peran perempuan, melanggengkan budaya patriarki yang mengutamakan laki-laki,” tegas Siti kepada reporter Tirto.
“Prinsipnya lelaki dan perempuan memiliki peran yang setara baik di ranah privat ataupun publik. Pembagian peran, apakah suami menjadi kepala keluarga, istri sebagai ibu rumah tangga, menjadi kesepakatan suami istri,” tegasnya.
Dengan catatan, jelas Siti, seharusnya tak ada subordinasi, kekerasan, memarjinalkan, hingga memberikan beban ganda hanya kepada satu pihak saja, baik suami ataupun istri.
“Pembagian peran ini juga dinamis, bisa saja di satu waktu suami sebagai pencari nafkah, di waktu lain suami mengurus rumah tangga. Begitu sebaliknya. Ketentuan ini juga merugikan laki laki, karena saat ini juga terdapat lelaki yang memilih mengurus rumah tangga,” pungkasnya.
Argumen Mengambang dari DPR
Salah satu pengusung RUU tersebut, yakni Sodik Mudjahid dari Gerindra menyampaikan bahwa pembagian kerja tersebut dilakukan karena laki-laki dan perempuan memiliki kekhasan masing-masingnya.
“Prinsipnya, laki-laki dan perempuan, suami dan istri, itu punya tanggung jawab untuk mengurus keluarga. Kemudian ada, biasa, pembidangan, suami lebih kepada mencari nafkah, pelindungan, kepemimpinan, kemudian wanita untuk mendidik anak, dan lainnya,” jelasnya kepada reporter Tirto.
“Jangan diartikan bahwa wanita mengatur rumah tangga, itu hal teknisnya. Hal teknisnya itu kan bisa diserahkan ke pembantu. Prinsipnya punya tugas yang sama,” lanjutnya.
Kemudian, saat ditanyakan bagaimana RUU tersebut justru berpotensi kembali mendomestikasi perempuan, Sodik membantahnya. Namun, Sodik menilai bentuk “normalnya” memang seperti itu.
“Laki-laki juga, dalam hal tertentu, bisa melakukannya [kerja domestik]. Nanti kita atur mereka bisa saling menggantikan, tapi keadaan normalnya seperti itu,” ujarnya.
Kemudian, saat ditanyakan mengenai rujukan “kekhasan” yang dimaksud oleh Sodik, ia tidak memberikan referensi detailnya. Ia hanya menyampaikan bahwa hal tersebut merujuk pada kajian ilmiah, tetapi ia tak mengungkapkan kajian ilmiah mana yang dimaksud.
“Itu kan dari kajian-kajian. Coba lihat dalam kajian-kajian ilmiah, harus membebasan diri dari kajian-kajian ilmiah yang netral. Kita tak boleh menolak pembedaan-pembedaan itu,” pungkasnya.
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Restu Diantina Putri