tirto.id - Tren pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terus berlanjut. Hingga pukul 15.30 WIB, kurs rupiah yang ditransaksikan antar bank di Jakarta mengalami penurunan 1,53 persen ke level Rp15.160/dolar AS.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abdul Manap mengatakan kondisi ini mengkhawatirkan karena akan berdampak serius pada utang Indonesia. Ia bilang dampak dari depresiasi rupiah akan meningkatkan biaya pelunasan hutang dalam bentuk pokok dan cicilan bunga.
Manap mengatakan dampak pelemahan ini akan kian parah jika pemerintah tak melakukan hedging alias lindung nilai. Maksudnya membuat kesepakatan pembayaran bunga-pokok utang menggunakan nilai tukar awal sebelum mengalami pelemahan.
“Ini mesti tanya pemerintah. Kalau tidak hedging nilai utang itu akan meningkat dan menyebabkan defisit fiskal makin tinggi,” ucap Manap saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (17/3/2020).
Lonjakan utang pemerintah pada situasi saat ini akan sangat memberatkan lantaran penerimaan negara tengah tergerus oleh perlambatan ekonomi. Terlebih, belanja pemerintah kian ekspansif lantaran adanya berbagai insentif untuk menhadapi krisis.
Pembengkakan utang juga diprediksi bakal memperburuk peringkat atau rating utang Indonesia. Saat rating turun, konsekuensinya biaya atau imbal hasil (yield) obligasi untuk utang selanjutnya akan meningkat.
Manap bilang sejumlah pihak mungkin mengklaim Surat Berharga Negara (SBN) Indonesia aman karena porsi dalam valuta asing atau valas sebenarnya masih jauh lebih kecil dari yang diterbitkan dalam rupiah. Masalahnya porsi kepemilikan asing dalam SBN Indonesia cukup besar, yakni sekitar 36 persen.
“Dengan kompleksitas ini depresiasi rupiah akan signfiikan memengaruhi kemampuan pemerintah mengelola utangnya,” ucap Manap.
Di sisi lain, lanjut Manap, kemampuan cadangan devisa Indonesia untuk menahan perlemahan rupiah kian terbatas. “Indonesia harus hati-hati cadevnya terbatas,” ucap Manap.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Hendra Friana