tirto.id - Fitriani sempat menjadi kepala tim penelitian bertajuk intoleransi dan radikalisme di kalangan perempuan Indonesia. Riset yang digawangi Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Wahid Foundation, dan UN Women itu dilakukan di lima wilayah berbeda, Bogor, Depok, Solo Raya, Malang, dan Sumenep.
Berdasarkan Permendagri 64/2011 junto Permendagri 7/2014, penelitian yang dilaksanakan di lebih dari dua provinsi berbeda harus mendapat izin pemerintah pusat (pasal 10 ayat 1). Izin tersebut berwujud surat rekomendasi penelitian yang dikeluarkan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) melalui Direktorat Politik dan Pemerintahan Umum (Dirjenpolpum).
Fitriani dan timnya berhasil mendapatkan rekomendasi tersebut. Namun, itu saja belum cukup. Ada pintu perizinan lain yang mesti dibuka dan kuncinya berada di Badan Kesatuan Bangsa dan Politik, baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
"Sudah minta izin nasional. Saat kami turun ke lapangan, kami harus minta izin lagi ke provinsi, lalu ke daerah (kabupaten/kota). Untuk meneliti di wilayah Bogor, saya harus minta izinnya ke Bakesbangpol Jawa Barat yang berkantor di Bandung. Untuk di Malang, saya mesti izin ke Bakesbangpol Jawa Timur di Surabaya," ujar Fitriani kepada Tirto.
Meski sudah memperoleh izin, Fitriani tetap harus berhadapan dengan masalah. Saat mengadakan Focus Group Discussion (FGD) dengan sejumlah stakeholder di Sumenep, tiga orang yang mengaku intelijen polisi, masing-masing dari tingkat daerah, resor, sektor, beserta satu orang dari Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI datang. Intelijen polisi meminta surat izin keramaian dan bahkan bermaksud menghentikan acara.
"Kami sudah dapat izin dari tingkat nasional, provinsi, tapi mereka meminta surat ijin keramaian. Kami nggak bikin itu, lha wong kami bikin acara itu di hotel, kan ngga ramai," Fitriani mengingat jalannya penelitian.
Berapa Lama Waktu yang Dibutuhkan?
"Bukan hanya rumit pada saat mengurusnya, tetapi yang mendasar, keberadaan izin itu sendiri mengasumsikan adanya larangan meneliti. Masak mau meneliti, kok, dilarang? Dunia akademik, kok, dilarang? Sekarang sudah era keterbukaan informasi."
Kalimat itu diucapkan Robert Endi Jaweng, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), kepada Tirto. Berdasar pengalaman Endi mengurus penelitian tingkat nasional untuk KPPOD, butuh waktu 7-10 hari untuk mendapatkan surat rekomendasi penelitian dari Kemendagri.
"[Walau sudah dapat izin dari Kemendagri] itu belum bisa dilakukan penelitian. Kemudian kami ke provinsi. Kami harus bawa rekomendasi dari Kemendagri ke Bakesbangpol tingkat provinsi. Izin penelitian dari Bakesbangpol provinsi keluar sekitar 3-5 hari," Endi menuturkan pengalamannya.
Setelahnya, peneliti pun mesti mendapat izin Bakesbangpol kabupaten atau kota. Menurut Robert, waktu yang dibutuhkan sekitar 4-5 hari. Total waktu yang dihabiskan untuk mengurus izin di Kemendagri hingga Bakesbangpol kabupaten/kota mencapai sekitar 14-20 hari.
Perizinan tersebut hanya berlaku untuk mengambil data instansi pemerintahan. Dari sanalah muncul masalah tambahan saat mencari data instansi swasta, baik di tingkat nasional atau daerah. Menurut Robert, narasumber di instansi swasta banyak yang takut dan akhirnya menghendaki surat izin penelitian juga.
"Ternyata aturan yang dibuat Kemendagri itu berdampak ke mana-mana, termasuk ke instansi di luar pemerintah. Ketika mengurus izin memang tidak ada biaya, kecuali untuk beli materi 6000. Tetapi, di lapangan, ada biaya administrasi lain dan ongkos menginap di hotel untuk menunggu izin keluar," ujar Robert.
Masa berlaku surat rekomendasi juga menjadi masalah lain. Masa berlaku rekomendasi bervariasi, dari 3 sampai 6 bulan. Selepas itu, peneliti mesti mengulang proses perizinan dari tingkat Kemendagri hingga Bakesbangpol kabupaten/kota lagi.
"Penelitian di bidang antropologi butuh waktu tahunan. Kalau izin penelitiannya habis, mereka harus balik ke Jakarta untuk mengurus izin," ujar Robert.
Kemendagri sempat meluncurkan aturan baru bertajuk Permendagri 3/2018 pada 17 Januari 2018 sebagai respons atas kritik berbelitnya proses perizinan penelitian. Permendagri itu diklaim mempermudah peneliti mendapatkan izin penelitian.
"Permendagri yang lama, menurut masukan beberapa pihak, sudah tidak sesuai dengan zaman. Karena itu, aturan tersebut diperbaiki agar lebih memudahkan. Aturan tersebut mengubah yang semula peneliti harus mendapatkan rekomendasi penelitian menjadi surat keterangan penelitian (SKP)," ujar Kepala Puslitbang Inovasi Daerah Badan Penelitian Kemendagri Syafrizal ZA kepada Tirto.
Menurut Syafrizal surat keterangan berbeda dengan surat rekomendasi. "Rekomendasi kan, isinya anjuran-anjuran, juga pendapat. Namanya juga rekomendasi. Tetapi SKP menyatakan keterangan pemerintah bahwa pihak ini (peneliti) sedang melakukan penelitian," Syafrizal menerangkan lebih lanjut.
Syafrizal mengklaim Permendagri 3/2018 membuat peneliti tidak lagi harus meminta izin ke Bakesbangpol, melainkan cukup melalui Unit Layanan Administrasi (ULA) di Kemendagri. ULA akan mengurus berkas SKP secara daring. Dengan begitu, para peneliti tidak perlu lagi menghadapi Kesbangpol yang kerap mengajukan pertanyaan interogatif.
"Tinggal masuk ULA, seperti mau bayar sesuatu. Ambil antreannya, ke loket, lalu pulang. Terus bisa diambil. Kalau dulu perizinan penelitian langsung ditangani Bakesbangpol. Itu yang ramai kenapa masalah penelitian kok mesti izin ke Bakesbangpol," sebut Syafrizal.
Namun, umur Permendagri 3/2018 tak sampai satu bulan. Pada 6 Februari 2018, Mendagri Tjahjo Kumolo menangguhkan aturan tersebut karena diprotes banyak pihak. "Pada waktu itu, orang menyangka Kemendagri membuat (aturan) baru yang memaksa peneliti harus memeroleh izin," ujar Syafrizal.
Terlilit Dinamika Politik Daerah
Nyatanya masalah lain masih menghantui para peneliti. Selain birokrasi, peneliti juga mesti berhadapan dengan dinamika politik lokal. Pengalaman Roy Murtadho, periset yang berkantor di Sayogjo Institute, menelaah kebijakan pariwisata di Kota Batu Jawa Timur bisa menjadi contoh.
"Meski izin sudah dikirim seminggu sebelumnya, respons mereka lambat. Disposisinya pun tidak jelas. Terkadang mereka juga menutupi. Ada banyak bagian, terutama untuk isu sensitif, memang agak susah," ujar Roy kepada Tirto.
Dalam penelitian tersebut, Sayogjo Institute meminta data hotel-hotel di Kota Batu yang tidak memiliki dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal). Data tersebut ada di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Batu. Meski sudah mendapatkan surat rekomendasi, usaha Sayogjo untuk melakukan penelitian akhirnya gagal.
"Kami minta data ke Bappeda Kota Batu dan ternyata sulit sekali. Kami nggak dapat, hanya dapat indepth-review saja," Roy mengisahkan.
Padahal, di satu sisi Dinas Lingkungan Hidup Kota Batu berani membeberkan data yang menyebut 70 persen hotel di Kota Batu tidak memiliki Amdal. Amdal yang ada juga masih bisa dipermasalahkan. Misalnya, Amdal lahan di dekat mata air gemulo menyatakan menyatakan lahan terkaji subur untuk pertanian, bukan untuk dibangun hotel. Namun saat diminta datanya, mereka enggan memberikan.
Pengalaman Fitriani meneliti ketimpangan sosial di beberapa daerah menunjukkan hal lain: data berbayar justru menimbulkan persaingan di antara lembaga riset. Pangkal permasalahan itu adalah Badan Pusat Statistika (BPS) yang tidak memiliki data ketimpangan sosial untuk tingkat kabupaten atau kota. Data ketimpangan hanya dihimpun BPS sampai tingkat provinsi.
"Kami minta ke BPS nggak dikasih. Harus beli. Harganya 17 juta hanya untuk menghitung data ketimpangan sosial. Karena itu suruh bayar dan mahal, kompetisi pun muncul antarlembaga riset," Fitriani.
Padahal Undang-Undang 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) menegaskan semua warga negara Indonesia berhak mendapatkan informasi dari pemerintah. Namun Fitriani mengatakan itu tidak menjamin informasi bisa benar-benar diperoleh.
"Akhirnya di lapangan kami menggunakan hubungan inter-personal, pakai orang yang kami kenal. Kalau pakai surat bisa lama, padahal kami tidak bisa berada di lapangan dalam waktu lama. Narasumber pun tidak hanya dari pemerintah saja. Kami juga harus bertanya pada masyarakat setempat,"
Menurut Robert runyamnya birokrasi penelitian di Indonesia menjadi ironi pemerintahan Jokowi.
“Jokowi selalu meminta untuk membuat kebijakan sesuai aspirasi masyarakat. Yang mengerti kebutuhan masyarakat ini bukan hanya partai atau politisi, tetapi juga para peneliti. Ironi dan kontradiksi. Kebijakan menteri ini bertentangan dengan apa yang dicanangkan presiden. Presiden harus bersikap,” ujar Robert.
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Zen RS