tirto.id - Rakyat Brazil menangis tatkala tim nasional mereka kalah 7-1 dari Jerman di Piala Dunia 2014 yang digelar di negeri sendiri. Kekalahan pahit tersebut tambah mengiris hati, sebab kali terakhir mereka kalah telak adalah dari Uruguay dengan skor 0-6. Laga itu terjadi di gelaran Copa America 1920 alias 74 tahun lalu.
Usai laga, David Luiz yang didaulat menjadi kapten Selecao kala itu, meminta maaf kepada rakyat Brazil sembari menangis akibat kekalahan tragis tersebut.
“Saya meminta maaf pada semua orang, maaf kepada rakyat Brazil, kata Luis seperti dilansir The Telegraph. “Saya hanya mau melihat orang Brazil tersenyum.”
Dalam video yang dilansir Daily Mail, salah satu fans Seleção sampai menghancurkan televisinya karena kecewa dengan penampilan timnas kesayangannya. Diperlihatkan, pria itu membawa televisinya ke jalan lalu membantingnya ke aspal. Sementara itu, fans lain melampiaskan kemarahannya dengan membakar seragam timnas Brazil.
Setelah turnamen usai, Luis Felipe Scolari, tidak lagi diberi kepercayaan untuk melatih timnas Brazil. Salah satu media di Brazil bahkan menuliskan VÁ PRO INFERNO VOCÊ, FELIPÃO! yang jika diartikan menjadi: Matilah kau, Felipao! (sapaan akrab Scolari).
Sementara itu, bek Jerman, Mats Hummels, menolak anggapan jika timnya sengaja mempermalukan Brazil kala itu. Menurutnya, kendati pun mereka sudah unggul 5 gol hanya dalam 29 menit di babak pertama, Jerman hanya fokus kepada permainan sendiri. Dikutip dari Bleacher Report, Hummels mengatakan:
"Saat itu, kami memilih untuk fokus dan tidak mempermalukan mereka. Kami berikrar untuk tetap serius dan konsentrasi di babak kedua. Itu sesuatu yang Anda harus tunjukan di lapangan saat bermain."
Dua tahun sebelumnya, dalam laga final Euro 2012, Italia juga pernah kalak telak dari Spanyol dengan skor 0-4. Iker Casillas, kapten sekaligus penjaga gawang La Furia Roja kala itu, sempat meminta kepada asisten wasit yang tengah berada di dekat gawangnya untuk segera menghentikan laga saat injury time.
“Hormati rival kami. Hormati Italia,” teriak Casillas. Tak lama, peluit pun berbunyi.
Apa yang dilakukan Hummels dan Casillas sejatinya merupakan bentuk pencegahan running up the score: mencetak angka terlalu jauh yang tak lebih dari usaha mempermalukan lawan dan seringkali dicap sebagai tindakan tidak sportif.
Menang tapi Tak Terhormat
Dalam tulisannya di Journal of the Philosophy of Sport (1992), Nicholas Dixon selaku dosen filsafat dari Universitas Alma di Michigan, AS, menyebut running up the score sebagai anti-blowout (AB). AB, menurut Dixon, pada hakikatnya adalah sebuah tindakan tidak sportif yang dilakukan pemain dan tim untuk memaksimalkan kemenangan mereka dalam pertandingan yang sudah pasti dimenangkan.
Namun, Dixon pribadi tidak setuju dengan defiinisi umum tersebut. Baginya, “tidak ada teori sportivitas yang mendukung pelarangan AB.”
Kendati demikian, running up the score tetap menjadi masalah dalam olahraga. Hal itu memang tidak mendapatkan sanksi resmi dari badan olahraga terkait, tapi acapkali muncul "sanksi sosial" dari lawan atau penonton.
Selain itu, running up the score juga menimbulkan beberapa kemungkinan lain: kericuhan antartim, cidera pada pemain bersangkutan, serta upaya balas dendam berlebihan dari tim lawan.
Salah satu dampak buruk akibat running up the score ini adalah pertandingan basket NBA antara Indiana Pacers melawan Toronto Raptors pada 2017. Meski waktu tinggal 6,6 detik dan Raptors telah ketinggalan telak 105-90 dari lawannya shooting guard Pacers, Lance Stephenson memilih melakukan tembakan lay-up.
Usai melakukan itu, pemain Raptors segera berkerumun di dekat Stephenson. Mereka memprotes aksi tersebut, sekaligus menganggap apa yang dilakukan Stephenson sama sekali tak perlu dan tak ubahnya penghinaan. Untungnya keributan itu berhasil dicegah oleh wasit dan pemain lainnya.
Hal berbeda sempat terjadi pada tahun 2006 saat laga NBA Denver Nuggets melawan New York Knicks. Dalam laga yang berakhir dengan skor 123-100 itu, kedua tim terlibat baku hantam pada saat waktu menyisakan 1 menit 15 detik lagi.
Bermula dari small forward Nuggets, J.R Smith, yang dijatuhkan oleh point guard Knicks, Mardy Collins, saat hendak melakukan lay-up. Setelah itu kericuhan tidak bisa dihindarkan. Tujuh pemain, gabungan dari kedua tim, dikenai sanksi akibat peristiwa adu jotos tersebut.
Pelatih Nuggets, George Karl menuding keributan itu merupakan arahan dari pelatih Knicks, Isiah Thomas. Sedangkan yang dituding beralasan, hal ini terjadi karena running up the score yang dilakukan Nuggets. Meski perbedaan angka cukup jauh, tetapi pemain utama Nuggets masih di lapangan.
Saat waktu menyisakan 1 menit 32 detik, Thomas sejatinya sempat mengatakan kepada pemain Nuggets, Carmelo Anthony, agar tidak lagi mendekati ring Knicks. Dalam pembelaannya, Thomas mengaku ucapan itu adalah upaya mencegah tindakan Nuggets mempermalukan Knicks lebih jauh lagi.
“Tidak perlu mendekati ring kami. Jangan berlebihan. Bukan sebuah tindakan yang baik untuk masuk ke daerah kami dan melakukan dunk. Kami tertinggal 18, 19 angka. Tidak perlu berbuat seperti itu. Tunjukkan sedikit martabat," ujar Thomas seperti dilansir New York Times.
Dalam sepakbola, kritik terkait running up the score seringkali terjadi dalam skala internasional. Pertandingan Piala Dunia Wanita 2019, misalnya, ketika timnas AS mencetak 13 gol ke gawang timnas Thailand, Taylor Twellman selaku mantan pemain timnas pria AS, mengaku malu dengan tindakan juniornya tersebut.
“Melakukan selebrasi, (seperti saat gol ke-9) meninggalkan kesan tidak enak bagi saya,” cuit Taylor melalui akun Twitter pribadinya.
Sedangkan mantan pesepakbola wanita Kanada, Kaylyn Kyle, juga merasa terhina dengan adanya upaya AS memerlakukan tim yang baru dua kali mengirim anggotanya ke Piala Dunia itu. Kyle menyebut, meski kemenangan penting, selalu ada cara terhormat untuk mencapainya.
“Mereka [Amerika] tim terbaik nomor 1 di dunia. Dan bagi saya pribadi, saya merasa jijik,” kata Kyle.
Cara Mengatasi dan Menghindari
Ada beberapa cara untuk menghindari running up the score, antara lain dengan mengulur waktu dan mengganti pemain utama. Ini biasa terjadi di basket dan rugbi: para pemain utama akan turun dan pemain cadangan akan mengisi seluruh lini untuk membuat permainan menjadi lebih pasif. Tindakan ini juga bisa memberi kesempatan lawan mencetak angka lebih banyak.
Efek lain dari running up the score juga hadir dalam aspek pendidikan. Dalam laga AS melawan Thailand dengan skor 13-0 tadi, Kyle turut menyatakan: “ada anak-anak yang menonton”.
Perhatian Kyle terhadap anak-anak tersebut diamini oleh Adrian Wojnarowski, kolumnis ESPN. Menurutnya, "pembantaian" seperti itu bisa membuat anak tidak akan sadar betapa pentingnya sporitivitas dan menghambat mereka berkembang.
Adrian juga sempat mengkritik pelatih sebuah tim basket SMA yang membiarkan anak didiknya bernama Epiphanny Prince mencetak 113 poin dalam sebuah pertandingan. Menurut Adrian, pelatih tersebut telah melakukan tindakan yang "sangat konyol". Bukan tidak mungkin jika Prince nantinya mudah bosan karena tidak mendapat lawan sepadan atau hanya betah mempermalukan mereka yang lebih lemah.
Pada tahun 2013, orang tua dari siswa SMA Western Hill mengajukan tuntutan terkait dugaan bully yang dilakukan oleh SMA Aledo Bearcats. Perkara ini terjadi karena Aledo mengalahkan Hill dalam rugbi dengan skor 91-0.
Dalam beberapa kasus serupa, beberapa sekolah sebenarnya telah mengambil kebijakan tegas. Salah satunya adalah dengan memecat pelatih yang membiarkan pertandingan tidak berimbang terus terjadi. Lainnya adalah melarang pelatih untuk tampil dalam beberapa pertandingan.
Namun, pada akhirnya, sulit untuk mencegah running up the score secara maksimal dan akan tetap menjadi perdebatan kusir. Pasalnya, jika tim yang lebih kuat bermain mengalah ketika menghadapi lawan yang lebih lemah, hal itu kelak juga akan dianggap sebagai sikap tidak hormat. Seperti yang pernah diucapkan pelatih timnas perempuan AS, Jill Ellis, seperti dilansir CNN:
“Saya pikir, kami justru melakukan penghormatan kepada musuh dengan bermain maksimal melawan mereka.”
Editor: Eddward S Kennedy