Menuju konten utama

Rugikan Petani, Pemerintah Didesak Cabut Larangan Ekspor CPO

Larangan kebijakan ekspor CPO dan turunannya menimbulkan dampak merugikan, salah satunya bagi petani sawit.

Rugikan Petani, Pemerintah Didesak Cabut Larangan Ekspor CPO
Sejumlah truk pengangkut Tanda Buah Segar (TBS) kelapa sawit mengantre untuk pembongkaran di salah satu pabrik minyak kelapa sawit milik PT.Karya Tanah Subur (KTS) Desa Padang Sikabu, Kaway XVI, Aceh Barat, Aceh, Selasa (17/5/2022). ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas/rwa.

tirto.id - Anggota Komisi VI DPR RI, Rudi Hartono Bangun mendesak pemerintah untuk segera membuka kembali ekspor Crude Palm Oil (CPO) dan produk turunannya. Sebab, larangan kebijakan tersebut menimbulkan dampak merugikan, salah satunya bagi petani sawit.

“Jadi petani yang sekarang hasil sawitnya tidak laku, tidak diterima pabrik, busuk di pohon, busuk di mobil, itu sudah merugi beberapa bulan ini. Jadi pemerintah harus melihat itu, ini dampak kebijakannya begini, harus ada kajian kan enggak bisa sesuka-suka. Jangan petani yang jadi korban,” tegas Rudi di Jakarta, Kamis (19/5/2022).

Rudi mengatakan saat ini petani sawit mengalami kerugian yang besar. Selain karena harga tandan buah segar (TBS) yang bisa mencapai Rp1.000 per kilogram, petani sawit kini juga mengalami kesulitan dalam menjual TBS dikarenakan pabrik-pabrik yang belum bisa menerima kembali TBS dari petani karena kelebihan stok.

"Jadi ketika menekan satu atau sekelompok pengusaha agar menormalkan CPO, jangan juga dikorbankan petani-petani kecil yang sejumlah 20 juta lagi," katanya.

Untuk itu, menurut Rudi, pemerintah perlu serius menyelesaikan permasalahan CPO ini dengan menyelesaikan permasalahan mafia minyak goreng. Selain itu, pemerintah juga perlu dengan tegas menerapkan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO), sehingga rantai pasok dalam negeri dapat lebih aman dan cukup. Termasuk kepada jajaran Kementerian Perdagangan untuk tidak bermain-main.

"Kebijakan DMO dan DPO kuota minyak goreng dalam negeri itu yang serius lah. Itu yang benar-benar Kementerian Perdagangan jangan main mata, kan kebutuhan kita cuma 16 juta ton dalam negeri, produksi kita 65 juta ton. Kalau 16 juta ton pemerintah betul-betul bilang setop jangan diekspor, semua aparaturnya mengawasi, itu stok aman," tegasnya.

Ketua Umum DPP Apkasindo, Gulat Manurung mengatakan, harga TBS petani jatuh sekitar 40-70 persen dari harga ditetapkan sebelumnya. Hal ini terjadi karena dari 1.118 pabrik sawit se-Indonesia, 25 persennya telah menyetop pembelian TBS sawit petani.

"Ini terjadi secara merata sejak larangan ekspor tanggal 22 April lalu. Dampaknya luar biasa," kata Gulat dalam pernyataannya, ditulis Kamis (19/5/2022).

Para petani kelapa sawit Indonesia yang tergabung dalam Serikat Petani Indonesia (SPI) dan Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) bahkan mengeluhkan sawit hasil panennya dibeli murah oleh pabrik.

Ketua Umum SPI, Henry Saragih mengatakan, kesulitan yang dihadapi petani kelapa sawit di Kabupaten Kuantan Singingi, misalnya terjadi akibat Perusahaan Wilmar melalui anak perusahaannya PT Citra yang memiliki tiga PKS sampai dengan saat ini masih tutup. Sehingga berpengaruh terhadap penurunan harga TBS kelapa sawit yang cukup tinggi.

"Ditingkat petani, harga TBS kelapa sawit berkisar Rp1.600-1.750 per kg," terangnya.

Sementara penetapan harga TBS kelapa sawit Provinsi Riau untuk periode 11 - 18 Mei 2022, telah terjadi penurunan harga sebesar Rp972 per kg menjadi Rp2.947 per kg untuk sawit umur 10 - 20 tahun. Padahal sebelumnya pada periode 27 April - 10 Mei 2022, harga TBS kelapa sawit umur 10 - 20 tahun di Riau ditetapkan Rp3.919 per kg.

Baca juga artikel terkait CPO atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz