tirto.id - Menteri Kesehatan Nila Moeloek mengatakan rumah sakit yang belum terakreditasi pada tahun lalu harus tetap memberikan pelayanan secara normal kepada pengguna BPJS Kesehatan. Akreditasi sendiri merupakan syarat mutlak untuk memperpanjang kerja sama dengan BPJS.
“Masyarakat tidak perlu khawatir dengan ini. Mereka tetap bisa berkunjung [ke rumah sakit] dengan normal, seperti biasanya,” kata Nila dalam jumpa pers di kantornya, Jakarta, Senin (7/1/2019) kemarin.
Nila menyebutkan, hingga 1 Januari lalu memang sudah ada dua rumah sakit yang resmi diputus kontraknya. Mereka tak bisa lagi melayani pasien pengguna BPJS. Akan tetapi Nila menyebutkan itu lantaran keduanya tidak memenuhi syarat kredensial—evaluasi terhadap tenaga keperawatan untuk menentukan kelayakan pemberian kewenangan klinis—meskipun sudah memenuhi syarat akreditasi.
“Beberapa rumah sakit yang belum akreditasi akan dibantu dan dikawal oleh Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan. Kami harap semua selesai, serta tidak ada rumah sakit yang diputus kerja samanya,” ujar Nila.
Penegasan dari Nila itu muncul setelah mencuatnya isu pemutusan kerja sama antara BPJS Kesehatan dengan sejumlah rumah sakit mitra. Tanpa kerja sama, rumah sakit tak mungkin menerima pasien pengguna BPJS. Dengan begitu pada akhirnya yang dirugikan adalah masyarakat.
Sejumlah beleid yang mengatur soal akreditasi ialah Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 56 Tahun 2014 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit, serta Permenkes Nomor 34 Tahun 2017 tentang Akreditasi Rumah Sakit. Selain itu, akreditasi juga dikatakan sebagai amanat dari pasal 28H ayat (1) dan pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Berdasarkan data yang dihimpun Kementerian Kesehatan, sampai saat ini setidaknya ada 341 rumah sakit yang tercatat belum terakreditasi namun telah menyampaikan komitmennya untuk memenuhi persyaratan tersebut.
Apabila mengacu pada sejumlah aturan yang berlaku, kerja sama BPJS Kesehatan dengan rumah sakit mitra yang belum terakreditasi sebetulnya bisa langsung tidak diperpanjang. Namun, Nila memilih untuk mengeluarkan diskresi yang memberikan perpanjangan waktu bagi rumah sakit hingga 30 Juni 2019.
Menurut Nila, perpanjangan waktu itu semestinya cukup mengingat bakal ada sekitar 200 surveyor yang diturunkan ke lapangan. Ia bahkan optimistis dengan jumlah surveyor sebanyak itu, akreditasi bisa selesai dalam sebulan saja.
Nila juga menyebutkan bahwa jumlah rumah sakit mitra yang sudah terakreditasi jumlahnya lebih banyak. Dari 2.217 rumah sakit mitra, Nila mengklaim yang sudah mengurus dan memperoleh akreditasi ada 1.759 rumah sakit. Karena itu, ia tak khawatir semisal hingga tenggat masih ada yang belum merampungkan akreditasi. Masyarakat, katanya, akan tetap dapat haknya.
“Apabila memang ternyata ada rumah sakit yang tidak ada izin operasionalnya, atau diputus kerja samanya, tentu peserta JKN di situ akan dipindahkan ke rumah sakit di sekitarnya agar tetap mendapatkan akses kesehatan,” jelas Nila.
Selain menegaskan tidak akan menelantarkan peserta Jaminan Kesehatan Nasional di rumah sakit yang diputus kontraknya, BPJS Kesehatan juga mengklaim telah melakukan pemetaan dan analisis sehingga kenyamanan peserta tidak terganggu.
Senada dengan yang disampaikan Nila, Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris pun mengklaim isu akreditasi rumah sakit tidak akan mengurangi hak masyarakat.
Ia yakin pelayanan tetap terjaga lantaran jumlah rumah sakit mitra yang sudah terakreditasi lebih banyak. Di samping itu, rumah sakit yang belum melakukan akreditasi pun diwajibkan untuk tetap memberikan layanan secara normal. Itu harus dilaksanakan sembari mengurus persyaratan akreditasi.
Fahmi menegaskan bahwa 341 rumah sakit yang belum terakreditasi itu tidak bisa disebut putus kontrak dengan BPJS Kesehatan.
“Kami berharap rumah sakit bisa memanfaatkan toleransi yang diberikan pemerintah untuk segera menyelesaikan akreditasinya,” ucap Fahmi.
Dalam kesempatan yang sama Fahmi juga membantah anggapan jika syarat akreditasi dipicu defisit keuangan BPJS Kesehatan. Menurut Fahmi, dalam perjanjian kerja sama memang sudah disepakati ihwal persyaratan akreditasi tersebut. Di sana dijelaskan jika sampai batas waktu yang ditentukan syarat tersebut tidak dipenuhi, maka BPJS Kesehatan bisa memutus kontrak dengan rumah sakit.
“Ada anggapan penghentian kontrak dikaitkan dengan kondisi defisit keuangan. Informasi itu salah. Kalau kami telat bayar pun, BPJS Kesehatan juga akan dihukum dalam bentuk denda 1 persen per bulannya,” ungkap Fahmi.
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Rio Apinino