tirto.id - Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan memutus kerja sama dengan sejumlah rumah sakit. Pemutusan dilakukan lantaran rumah sakit tersebut dianggap tak memenuhi persyaratan akreditasi.
Beberapa rumah sakit di Jawa Tengah yang tercatat dibatalkan misalnya Rumah Sakit Umum Islam (RSUI) Kustati Solo, RS Amal Sehat Sragen dan juga RS Amal Sehat Wonogiri. Sementara di Jakarta, tiga rumah sakit yakni RSUD Jati Padang, RSUD Kebayoran Lama dan RSUD Cipayung.
Imbasnya, beberapa rumah sakit itu terpaksa menghentikan sementara layanan untuk pasien BPJS. Di Jakarta tiga rumah sakit yang menghentikan sementara layanan BPJS kesehatan itu hanya menerima pasien UGD.
Kepala Humas BPJS Kesehatan, Iqbal Anas Ma’ruf mengatakan, penghentian kontrak kerja sama itu wajar belaka. Alas hukumnya adalah Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 99 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional. (PDF)
Menurut Iqbal, aturan itu mencantumkan fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS di tahun 2019 harus sudah atau diwajibkan memiliki sertifikat akreditasi.
"Diharapkan rumah sakit dapat memenuhi syarat tersebut. Sesuai dengan Perpres 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan di pasal 67 untuk fasilitas kesehatan swasta yang memenuhi persyaratan dapat menjalin kerja sama dengan BPJS Kesehatan, dan ketentuan persyaratan diatur dalam Peraturan Menteri," ujar Iqbal kepada reporter Tirto, Jumat (4/1/2018).
Syarat untuk akreditasi sebenarnya sudah dicantumkan dalam Permenkes 71/2013 yang sudah direvisi dengan Permenkes 99/2015. Namun baru kali ini penerapannya dilakukan efektif terhadap beberapa RSUD di 33 Provinsi di Indonesia.
Pelaksana tugas (Plt) Kepala Dinas Kesehatan DKI Khafifah Any menyebut alasan penerapan akreditasi adalah klausul dalam Perpres nomor 82/2018 yang disebutkan Iqbal.
Pasal 67 (2) itu berbunyi: "fasilitas kesehatan milik pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang memenuhi persyaratan wajib bekerjasama dengan BPJS Kesehatan."
Problemnya, akreditasi membutuhkan waktu yang tak sebentar. Jika akreditasi dilakukan kepada sejumlah rumah sakit yang telah bekerja sama dengan BPJS, layanan kesehatan masyarakat bisa terganggu. Misalnya, penumpukan pasien BPJS di beberapa rumah sakit.
Oleh karena itu, Khafifah meminta fasilitas kesehatan di Jakarta yang belum tersertifikasi tetap bisa bekerja sama dengan BPJS dengan rekomendasi dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
Permohonan agar kerja sama bisa dilanjutkan berbekal rekomendasi ini juga sudah dibahas bersama BPJS Kesehatan dalam rapat evaluasi yang berlangsung Kamis (3/1/2019).
"Kemarin (permohonan rekomendasi) diajukannya langsung. Karena kemarin, kan, rapat evaluasi sama BPJS-nya. Nah, BPJS nunggu rekomendasi dari Kemenkes. Jadi enggak bisa kalau mereka putuskan sendiri," tutur Khafifah.
Meski demikian, ia juga belum memastikan berapa lama rekomendasi soal akreditasi itu dapat dikeluarkan oleh Kemenkes. Yang jelas, ujar dia, "kami kawal terus prosesnya, dan seharusnya kalau cepat akhir bulan Januari sudah bisa keluar."
Akreditasi Bukan Syarat Utama
Koordinator BPJS Watch Indra Munaswar menilai pemutusan kontrak karena aturan baru soal kewajiban akreditasi cuma akal-akalan. Ia menduga BPJS Kesehatan sedang menekan laju pengeluaran untuk pembayaran tagihan rumah sakit yang bikin keuangan mereka defisit.
Lagi pula, kata Indra, jika dalihnya adalah aturan, mengapa sejak awal rumah sakit yang tak memiliki akreditasi tetap diperbolehkan bekerja sama. Ia mencontohkan, misalnya, RSUD Jati Padang yang sudah membuka layanan bagi pasien BPJS kendati baru berdiri pada 2017 dan belum terakreditasi.
"Kalau akreditasi, kan, sudah ada aturannya dalam Undang-undang rumah sakit, Undang-Undang Pelayanan Publik dan lain-lain, kenapa sekarang baru kencang," ucapnya kepada reporter Tirto, kemarin.
Secara terpisah, Dirjen Pelayanan Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan Bambang Wibowo mengakui akreditasi bukanlah syarat wajib untuk kerja sama rumah sakit dengan BPJS.
Kewajiban itu hanya ditekankan kembali agar rumah sakit yang belum terakreditasi berkomitmen untuk segera akreditasi dan memenuhi standar pelayanan seperti diamanatkan Undang-Undang nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
"Jadi sebenarnya bukan wajib. Kami ingin mendorong mereka melakukan akreditasi untuk memastikan pelayanan kesehatan ke masyarakat sesuai dengan standar," tutur Bambang kepada reporter Tirto.
Terkait sejumlah Rumah Sakit yang layanan BPJS-nya berhenti sementara, ia menyampaikan layanan kembali bisa diakses Sabtu (5/1/2019) hari ini. Namun, rumah sakit harus mengajukan surat komitmen mengikuti akreditasi.
"Kalau sudah ada komitmen, mereka bisa lanjutkan kerja samanya. Hari ini [Jumat malam] sepertinya sudah semua, insya Allah. Ada 156 rumah sakit yang membuat komitmen ke kami," ungkapnya.
Sementara itu terkait defisit, Iqbal mengakui defisit masih terjadi meski pemerintah lewat Kementerian Keuangan sudah menggelontorkan dana Rp10,1 triliun pada 2018. Masalah ini terjadi karena pendapatan iuran dari peserta kesehatan yang tak sebanding dengan pembayaran manfaat.
"Itu dikarenakan setting hitungan iuran belum sesuai aktuaria. Tahun 2017 BPJS Kesehatan mendapatkan Rp74 triliun, biaya manfaat Rp84 triliun. Tahun 2016 juga tidak berimbang," ujarnya.
Sebagai gambaran, iuran kelas 3 secara aktuaria seharusnya sebesar Rp53 ribu namun realisasinya hanya Rp 25,5 ribu, pun demikian dengan kelas 2 yang secara aktuaria harusnya Rp 63 ribu, tapi ditetapkan Rp51 ribu. Sementara yang relatif imbang terjadi pada kelas 1 yakni Rp 80 ribu.
Namun, BPJS Kesehatan tidak punya wewenang dalam penyesuaian iuran yang diharapkan sesuai aktuaria tersebut.
"Usulan terkait iuran bukan kewenangan BPJS Kesehatan. Itu domain DJSN," ujar Iqbal.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Mufti Sholih