tirto.id - Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sudah dua kali menerima bailout dari Kementerian Keuangan sebesar Rp10,1 triliun pada 2018. Namun, bantuan tersebut belum mampu menyehatkan kondisi keuangan mereka.
Keluhan tunggakan BPJS Kesehatan terhadap rumah sakit sudah sering terdengar. Awal Desember 2018, seorang dokter sekaligus pemilik Rumah Sakit Harapan Bunda bernama Afnizal pernah mengunggah video yang isinya keluhan atas tunggakan BPJS Kesehatan.
Hanya berselang sebulan, tepatnya awal Januari 2019 ini, kabar tak sedap soal BPJS Kesehatan kembali muncul. Enam rumah sakit (RS) di Kabupaten Bogor memutus kontrak kerja sama dengan BPJS.
Keenam RS itu adalah RS Citama, RS Bina Husada, RSIA Annida, RS dr. Sismadi, RSIA Permata Pertiwi, dan RS Asysyifaa. Manajemen membatalkan kerja sama dengan BPJS per 1 Januari 2019.
Namun, pemutusan kerja sama ini tak berkaitan dengan tunggakan. Menurut Kepala Hubungan Masyarakat BPJS Kesehatan Iqbal Anas Ma'ruf pembatalan dilakukan karena terganjal aturan terkait RS.
"[Putus kontrak] karena kendala syarat di peraturan yang mengatur rumah sakit kerja sama dengan BPJS Kesehatan dalam pelayanan JKN-KIS," kata Iqbal kepada reporter Tirto, Jumat (4/1/2019).
Aturan yang dimaksud Iqbal adalah Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 99 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan No 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional.
Dalam Beleid itu, tercantum fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS di tahun 2019 harus sudah atau diwajibkan memiliki sertifikat akreditasi.
Iqbal menambahkan, sampai saat ini pembayaran oleh BPJS Kesehatan tetap berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
"Apabila ada fasilitas kesehatan yang belum terbayarkan BPJS Kesehatan, rumah sakit dapat menggunakan skema supply chain financing dari pihak ke-3 yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan," ujar Iqbal kemudian.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Alexander Haryanto