Menuju konten utama

Romo Benny Angkat Bicara Soal Vonis 2 Tahun Penjara Ahok

Romo Benny menilai bahwa, aturan hukum yang semestinya menjadi panglima, justru luluh terhadap tekanan publik yang menguasai situasi politik di Tanah Air.

Romo Benny Angkat Bicara Soal Vonis 2 Tahun Penjara Ahok
(dari kiri) Wartawan suara Kebebasan.org Adinda Tenriangke Muchtar, Direktur Maarif Institute Muhammad Abdullah Darraz, Koordinator Lima Indonesia Ray Rangkuti, Ketua tim Ekonomi Gerakan '98 Sulaiman Haikal, Romo Benny Susatyo, Aktivis Kontras Yati Andriyani, dan Pengamat politik dari Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Indonesia Arif Susanto, menunjukan KTP untuk memberikan dukungan kepada Basuki Tjahaja Purnama yang divonis hukuman 2 tahun penjara, Jakarta, (10/5). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Rohaniawan Romo Benny Susatyo menanggapi keputusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang memvonis Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dua tahun penjara. Ia menyebut situasi tersebut masuk dalam jaman disorder.

Romo Benny menilai bahwa, aturan hukum yang semestinya menjadi panglima, justru luluh terhadap tekanan publik yang menguasai situasi politik di Tanah Air.

"Saya nilai putusan [hakim] Basuki Tjahaja Purnama itu keliru. Tekanan publik yang kuasai sangat kuat. Apalagi hal ini menunjukkan adanya situasi jaman dimana disorder aturan hukum menjadi panglima. Tapi demokrasi dan tekanan publik yang justru mengambil peranan," kata Romo Benny dalam diskusi publik di D Hotel di kawasan Menteng, Jakarta Selatan, Rabu, (10/5/2017).

Menurut Romo Benny, situasi seperti ini membuat jaman menjadi tidak normal karena menjadikan asas hukum rimba sebagai garda terdepan dalam menyelesaikan masalah kasus hukum di Tanah Air.

"Harus tegas, untuk itu situasi ini memberi ruang kaum intoleran menunjukkan jati dirinya. Maka lihat hukum rimba dan kekuatan massa bisa mengubah tatanan demokrasi yang sudah ada," kata Romo Benny.

Romo juga menduga bahwa persoalan itu juga tidak bisa terlepas dari unsur politik, yang akhirnya membuka jalur kemenangan pada pasangan calon tertentu. Ia juga menilai, kemenangan di Pilkada DKI Jakarta juga tidak menitikberatkan pada program tertentu agar bisa dipilih warga. Tetapi mengandalkan pada kekuatan massa yang bisa merubah peluang kemenangan menjadi kekalahan nyata.

"Saya rasa ini menyangkut pada politik pesannya jelas enggak perlu pake program yang jelas. Tapi kekuatan massa yang menentukan. Ini kan tidak masuk akal sehat kenapa bisa dikalahkan. Jadi menurut saya ini adalah preseden buruk. Ini jelas kriminalisasi bisa dilakukan," tutur Romo.

Menurut Romo Benny, vonis bersalah selama dua tahun penjara terhadap Ahok sangat merugikan pola pikir masyarakat. Hal itu juga akan berdampak pada paradigma masyakat, dimana setiap penyelesaian masalah akan lebih mudah diselesaikan dengan cara turun ke jalan karena kekuatan people power bisa meluluhkan kekuatan dari tatanan hukum.

Selain itu, menurut dia, hal lain yang dapat dirasakan adalah hadirnya kaum intelektual dalam menggerakkan massa. Ia menilai, hal itu bisa menjadi bola liar yang dapat menghantam pihak-pihak yang tidak disukai oleh kaum tertentu dengan menjual keyakinan beragama.

"Mengapa situasi gaduh? Ketika politisasi agama bertemu dengan politik itu akan meruntuhkan demokrasi, yang menang bukan rakyat tapi kelompok yang gunakan SARA itu. Ke depan kita harus kembalikan lagi politik akal sehat. Harus gunakan etika dan moralitas. Kita harus jujur semua gunakan politik pada kepentingan yang lebih besar. Bukan tujuan golongan tertentu dan menggulingkan pihak tertentu," kata Romo Benny.

Senada dengan Romo Benny, akademisi hukum Islam dari Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Indonesia (PSIK Indonesia) Arif Susanto menganalogikan upaya politis 'pengerahan massa' tersebut sebagai “mobokrasi” atau demokrasi yang dimenangkan oleh kerumunan massa terentu.

"Hari ini eranya 'mobokrasi'. Yang tentukan kebenaran adalah kerumunan massa. Yang menentukan kebenaran jumlah. Ini absennya nalar, ini sudah hampir 2 dekade era reformasi tapi ada side back luar biasa. Hari ini side back-nya lebih parah karena menyangkut bukan hanya soal pukulan para koruptor tapi ormas-ormas yang atasnamakan kebenaran agama," jelas Arief Susanto.

Dampak lain dari 'mobokrasi' menurut Arief Susanto ini akan berimas pada Pilkada serentak 2018 dan Pilpres 2019 mendatang. Dia mengkhawatirkan nantinya ada batasan gamang antara pendukung pasangan calon agama muslim dan pendukung paslon non muslim. Padahal urusan orientasi berpolitik tak bisa dijadikan panutan dalam kepatuhan seseorang itu terhadap agamanya.

"Saya khawatir ini akan menjadi preseden buruk di 2018 dan 2019. Saya khawatir kecenderungan gunakan identitas keagamaan akan berlangsung kembali dengan skala yang lebih masif," kata Arif Susanto.

Politik identitas tersebut adalah masa lalu di Indonesia. Dimana penting untuk mengaku pribumi agar terbebas dari perilaku semena-mena dari golongan tertentu. Arief juga mempertanyakan wajah demokrasi Indonesia yang justru mengalami kemunduran.

Ia menjelaskan, politik identitas juga pernah terjadi di masa 72 tahun silam saat Indonesia masih belajar tentang demokrasi. Saat itu Ir. Soekarno berupaya menghidupkan paham Nasakom 'Nasionalis Agama dan Komunisme' dalam kabinet Demokrasi Terpimpin dan Orde Lama. Sayangnya, di rezim setelahnya orde baru, paham Nasakom justru menjadi bibit kebencian untuk PKI dan etnis Cina.

"Politik identitas itu sudah ada 72 tahun sebelum tahun 1945 Soekarno menyebut bahwa prinsip dasar Indonesia itu kegotongroyongan. Indonesia merdeka itu negara semua. Artinya tidak ada lagi yang diistimewakan. Saya ingin tunjukan pertama bahas demokrasi kenal kebebasan. Kebebasan tidak lantas membuat seseorang melakukan apapun atas nama kebenaran. Termasuk agama," tutur Arif Susanto.

Baca juga artikel terkait SIDANG AHOK atau tulisan lainnya dari Dimeitry Marilyn

tirto.id - Hukum
Reporter: Dimeitry Marilyn
Penulis: Dimeitry Marilyn
Editor: Alexander Haryanto