tirto.id - Satu yang tampaknya pasti: tak ada yang berani bertanya kapan menikah ke Prabowo Subianto bin Sumitro Djojohadikusumo.
Waktu ada pembajakan pesawat Woyla pada 1981, usia Kapten Prabowo ini sudah 30 tahun. Sang kapten sudah berada lebih dari lima tahun di korps baret merah. Tapi di korps itu, bukan Prabowo saja yang dianggap "telat" menikah.
Seniornya, Sintong Hamonangan Panjaitan, baru menikah—dengan Lentina Napitupulu—pada 1971. Saat itu Sintong berusia sekitar 31 tahun dan juga berpangkat kapten. Sementara itu, Benny Moerdani yang lebih senior lagi, menikah pada 1964. Usia Benny kala itu sudah 32 tahun, dan menjabat sebagai Mayor
Namun Prabowo bukannya tak pernah punya gandengan romanits. Dalam biografi sang ayah, Jejak Perlawanan Begawan Pejuang (2000:416-417), disebut bahwa Prabowo pernah punya hubungan istimewa dengan seorang gadis dari Yogyakarta. Sayang hubungan itu kandas. Prabowo dianggap terlalu fokus pada karier militernya. Setelah putus, Prabowo berangkat ke Jerman Barat pada 1981, untuk berlatih di GSG9 (satuan elit polisi anti teror).
Usai mengikuti pelatihan, Prabowo punya pacar baru. Sumitro kaget melihat siapa pacar anaknya itu: Siti "Titiek" Hediati Harjadi, mahasiswinya di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia sekaligus putri Presiden Soeharto. Hubungan ini tampak serius, sebab selain mengenalkan Titiek pada keluarganya, Prabowo juga membawa Titik ke rumah neneknya, Siti Katoemi Wirodihardjo.
Pada awalnya Sumitro agak was-was dengan hubungan itu, karena ketika masih menjabat Menteri Perdagangan Sumitro pernah menolak titah Tien Soeharto untuk memberikan hak impor cengkeh kepada Sukamdani Sahid. Penolakan ini belakangan jadi masalah. Sumitro tak ingin agar hubungan Prabowo dan Titiek membawa masalah baru.
"Kalau kali ini kau tidak serius, payah deh kamu," ujar Sumitro kala itu.
Rupanya, hubungan Prabowo dan Titiek ini sudah diketahui juga oleh Bu Tien. Suatu hari Bu Tien bertemu dengan Sumitro.
"Eh, Pak Mitro. Bagaimana?" tanya Bu Tien membuka obrolan.
Yang ditanya tak paham arah pertanyaan itu, dikira menanyakan kabar. "Baik-baik saja, Bu."
"Bagaimana anak-anak kita?"
Sumitro akhirnya tahu arah pembicaraan itu. "Ya, kita serahkan saja pada anak-anak, Bu," jawabnya bijak.
Setelahnya Sumitro pun melamarkan Titiek untuk Prabowo. Acara lamaran ini tidak dilakukan dalam Bahasa Jawa karena ibu Prabowo adalah orang Minahasa. Keluarga Soeharto pun tidak keberatan menerima Prabow, meskipun Titiek masih berstatus sebagai mahasiswi kala itu. Dua keluarga itu tampak berusaha terima, jika kondisinya, "...yang satu perwira yang tak mengerti adat Jawa dan yang wanita masih suka disko.”
Soeharto, keluarga dan juga ajudannya pun sibuk. Ada 300-an orang yang jadi panitia. Soeyono—yang belakangan jadi Kepala Staf Umum ABRI dengan pangkat terakhir Letnan Jenderal—pun masuk dalam kepanitiaan. Acara pernikahan disiapkan dalam waktu 60 hari.
“Pesta pernikahan tersebut terlaksana di Taman Mini Indonesia Indah (TMII),” tulis Benny Siga Butarbutar dalam Soeyono: Bukan Puntung Rokok (2003:101). Mereka menikah pada Minggu Wage 8 Mei 1983. Malam Minggu sebelumnya tak lupa diadakan kenduri.
Acara nikahnya secara Islam. Wakil Presiden Umar Wirahadikusuma dan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Jenderal M. Jusuf, mantan Panglima ABRI sekaligus atasan Prabowo, bertindak sebagai saksi dalam pernikahan itu. KH Muchtar Nasir, kepala wilayah Departemen Agama DKI Jakarta Raya membacakan khotbah nikah. Acara ini berjalan lancar dan rapi.
“Selalu bapak yang menyusun acaranya,” aku Tien Soeharto kepada Tempo (14/05/1983). “Pelaksananya anak-anak, adik-adik Ibu, adik-adik Bapak.”
Demi acara pernikahan ini, Soeharto sudah meliburkan acara kenegaraannya sejak beberapa hari sebelum acara. Tak hanya itu, Soeharto bahkan rela turun ke lapangan memeriksa tarub di rumah Jalan Cendana. Soeharto bahkan tidak keberatan memberi penjelasan soal keris kepada muda-mudi yang ada dalam acara persiapan.
Robert Edward Elson dalam Soeharto: Sebuah Biografi Politik (2005:476), menyebut bahwa Prabowo dan Titiek menikah dengan upacara yang megah. Acara dilakukan dengan adat Jawa. Ada sungkem-sungkemnya dan suap-suapannya. Seperti dilaporkan Tempo, acara yang dimulai pada pukul 09.30 itu berjalan mulus karena cuaca hari itu cukup bersahabat. Gerimis baru turun kecil-kecil pada pukul 13.00, ketika tamu-tamu perlahan-lahan menghilang pulang.
“Pawang memang menjamin sampai pukul dua kok,” kata seorang panitia seperti dikutip Tempo. Dilaporkan pula, sekitar 2 km dari tempat hajatan itu, hujan deras turun.
Acara tidak hanya dilangsungkan di Taman Mini, keluarga laki-laki pun bikin hajatan. Senin malam, esok harinya, tanggal 9 Mei 1983, acara kenduri diadakan di Balai Kartini, Jakarta. Pengantin laki-laki, memakai seragam kebesarannya sebagai kapten dalam korps baret merah. Sementara pengantin perempuan, mengenakan pakaian adat Jawa.
Usai menikah, Titiek mengaku pada Tempo ingin menjadi ibu rumah tangga yang baik. "Sudah masanya berhenti macam-macam," ujarnya. Tempo juga iseng bertanya soal hobi disko Titiek. "Sudah pensiun," jawabnya. Tempo lantas bertanya banyak hal pada Titiek, yang sebenarnya menampakkan perbedaan cukup kentara antara Prabowo dan Titiek. Misalkan, Titiek geli pada cacing ataupun tidak suka naik kuda.
“Anda suka berkebun?”
“Ih, geli sama cacing.
“Main bowling?”
“Kadang-kadang.”
“Berenang?”
“Nggak seberapa.”
“Naik kuda?”
“Gak suka.
“Golf?”
“Nggak suka.
“Disko?”
“Sudah pensiun.”
“Baca buku?”
“Kadang-kadang, kalau ada waktu. Kalau nggak malas.”
“Suka masak?”
“Kalau punya rumah sendiri baru masak. Sekarang belum. Hobinya baru makan saja.”
Setelah pernikahan itu, Titiek tidak hanya menjadi istri dan ibu rumah tangga yang baik. Titiek juga hendak menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Ekonomi UI. Maklum sudah tingkat V. Di tahun berikutnya, Titiek belum juga lulus kuliah, karena sibuk dengan kelahiran putranya, Regowo Hediprasetyo alias Didiet. Dua tahun setelah menikah barulah Titiek menjadi sarjana ekonomi. Di tahun-tahun terakhir kepresidenan Soeharto, Prabowo-Titiekberpisah, walau beberapa kali santer diberitakan mereka akan rujuk.
Editor: Petrik Matanasi