Menuju konten utama

Rok Mini di Arab Saudi  

Di Arab Saudi, cara perempuan berpakaian, berperilaku, bahkan bermusik diatur oleh pemerintah.

Rok Mini di Arab Saudi  
Aksi wanita cantik Arab Saudi dengan nama Khulood berkeliaran di tempat umum dengan mengenakan rok mini memicu perdebatan publik. FOTO/screenshot/Twitter video

tirto.id - Perempuan berambut panjang itu tampak berjalan menyusuri jalan kecil di sekitar pelabuhan Ushaygir. Ia mengenakan kaos hitam dan rok pendek berwarna abu-abu gelap. Video wanita yang sedang berjalan itu tersebar melalui snapchat.

Sekilas tidak ada yang aneh dengan Khulood, si perempuan berkaki jenjang dalam video tersebut. Sama seperti banyak orang lain yang berusaha eksis di media sosialnya masing-masing. Khulood sepertinya bermaksud merekam hal-hal sepele yang ia lakukan di kesehariannya.

Sayangnya, video tersebut dianggap tidak biasa bagi Arab Saudi. Gara-gara video pendek di snapchat tersebut, Khulood dipolisikan. Ia ditangkap atas tuduhan melanggar aturan berpakaian di Arab Saudi. Rok pendek dan kaos ketat yang dikenakannya dianggap melanggar aturan.

Ushayqir adalah desa yang terletak di provinsi Nadj, sekitar 155km ke arah utara dari ibu kota Riyadh, Arab Saudi. Najd adalah salah satu daerah paling konservatif di Arab Saudi. Satu daerah yang merupakan kelahiran pendiri Wahhabi pada akhir abad ke-18. Di daerah ini, aliran Islam Sunni keras banyak dianut oleh raja Arab beserta kelembagaan agama di negara tersebut.

Video yang dibuat di Ushayir tersebut memang langsung menyulut perdebatan di media sosial. Sebagian warna internet menyerukan agar Khulood ditangkap atas pelanggarannya. Di sisi lain, ada juga yang berpendapat bahwa Khulood berhak mengenakan pakaian yang ia inginkan.

“Kita harus menghormati hukum di sebuah negara. Di Perancis, niqab (pakaian bercadar untuk perempuan) dilarang dan perempuan didenda jika mereka memakainya. Di Arab Saudi, memakai abaya dan pakaian sederhana adalah bagian dari undang-undang kerajaan,” kata pengguna di Twitter.

Sementara itu, penulis dan filsuf Wael Al-Gassim mengaku terkejut mengetahui beragam respons keras atas peristiwa yang dialami Khulood tersebut.

“Saya pikir dia telah melakukan pengeboman atau membunuh seorang. Ternyata ceritanya tentang rok yang dia pakai, dan tidak mereka sukai. Saya jadi bertanya-tanya bagaimana Vision 2030 bisa sukses jika dia ditangkap," kata Al-Gassim merujuk program reformasi yang diumumkan Putra Mahkota Mohammed bin Salman.

Penangkapan Khulood oleh polisi syariah di Saudi tersebut mengingatkan kita dengan peraturan-peraturan tentang perempuan di Aceh. Serambi Mekkah itu juga mempunyai polisi syariah yang disebut sebagai Wilayatul Hisbah. Tugas mereka adalah memberikan sarung kepada perempuan bercelana jeans ketat atau juga memberikan kerudung kepada perempuan yang kedapatan keluar rumah tanpa kerudung.

Hal-hal yang mengatur cara berpakaian perempuan sebenarnya terdapat di beberapa negara, tidak hanya negara dengan penduduk mayoritas muslim. Di Perancis, perempuan dilarang memakai burqa atau penutup muka sejak tahun 2010. Undang-undang di sana mengatur aktivitas menutupi wajah di depan umum sebagai tindakan ilegal.

Sementara itu, di Korea Utara, perempuan dilarang memakai celana. Pelanggaran atas aturan ini adalah membayar denda atau diminta kerja paksa. Pelarangan memakai celana juga berlaku di Sudan. Saat itu terdapat 9 perempuan yang tertangkap basah mengenakan celana, mereka dikenai sanksi 40 cambukan. Mereka dinilai melakukan kejahatan karena mengikuti gaya barat. Interpretasi keras hukum syariah itu membuat ribuan wanita Sudan ditangkap setiap tahun atas pelanggaran ketertiban umum, seperti memakai rok pendek dan menari dengan laki-laki.

Infografik Perempuan Arrab Dilarang

Peraturan memakai abaya di Arab Saudi disarankan oleh Mohammed Alarafe, seorang ilmuwan Muslim terkemuka di Arab Saudi. Ia mengeluarkan anjuran bahwa abaya yang layak dipakai perempuan berupa jubah longgar yang menutupi seluruh tubuh kecuali wajah, kaki dan tangan.

Alarafe mencuit dalam Twitter, "Wahai anak perempuan: Jangan membeli abaya yang bercorak. Tidak ada perhiasan, tidak ada belahan, tidak ada yang terbuka. Tolong, anak perempuan, jangan tampilkan riasan apapun, dan jangan memakai riasan seperti di jaman Jahiliyyah (pra-Islam)."

Anjuran Alarafe tersebut menuai kritik dari para perempuan di Arab Saudi. Banyak kalangan perempuan yang menyindir anjuran ulama soal pakaian yang bisa diterima dengan berbagi foto abaya mereka.

Seorang perempuan mengunggah foto pakaiannya dan bertanya: "Bagaimana pendapatmu tentang abaya saya, syekh? Lain kali, saya akan membeli abaya yang berwarna-warni dan bersulam dan ada celahnya. Saya akan mencoba untuk membeli sebuah abaya yang bahkan orang-orang di jaman Jahiliyah tidak memakainya."

Dalam The Arab Women Who Refuse to be Silentdisebutkan bahwa perempuan Arab tidak punya suara dalam arus utama hidup keseharian—kendati Arab Saudi sendiri sebenarnya tidak mencerminkan dunia Arab pada umumnya.

Kritikan dan respons perempuan Arab Saudi atas berbagai peraturan yang mengontrol tubuh mereka juga datang dari Loujain al-Hathlou, seorang aktivis HAM perempuan di Arab Saudi.

Hathlou ditahan selama 73 hari karena melanggar larangan mengemudi bagi perempuan. Ia ditangkap dan ditahan Desember tahun 2014 tatkala berusaha mengemudikan mobil sendiri dari negara tetangga, Uni Emirat Arab ke Arab Saudi.

Di Arab Saudi, hanya kaum pria yang bisa mendapatkan SIM dan diperbolehkan menyetir kendaraan. Perempuan yang mengemudi di jalanan umum menghadapi risiko ditangkap dan didenda.

Aktivis HAM perempuan ini juga yang pertama kali mencalonkan dirinya di pemilihan umum pada bulan November 2015 lalu. Hathloul menyatakan bahwa perempuan berhak memilih dan dipilih. Nyatanya, nama Hathloul tak tercantum di kertas suara.

Sebelumnya, pada tahun 1990 dan 2011 pernah dilakukan demonstrasi melawan larangan menyetir bagi perempuan. Sialnya, para perempuan yang berani melakukan demo dan tertangkap oleh polisi didenda kemudian dipenjara, sementara yang lainnya kehilangan pekerjaan dan status mereka dalam masyarakat. Mereka dilarang bepergian dan dijauhi oleh para tokoh agama di kerajaan.

"Saya langsung dipecat dari pekerjaan saya ketika bos saya tahu saya melanggar larangan mengemudi dan mengendarai mobil saya," kata Madeha Al Ajroush, seorang psikoterapis Saudi dan fotografer yang memiliki lisensi mengemudi Amerika yang ikut mengambil bagian dalam kedua protes sebelumnya.

"Kami perempuan dipermalukan, diancam, dan terus diperlakukan seperti makhluk rendah. Perjuangan untuk hak-hak perempuan secara historis tidak pernah mudah, jadi kami tidak berharap mendapatkan tujuan kami namun demikian sangat penting untuk memperjuangkannya," kata Madeha Al Ajroush.

Sejauh ini, pemerintah Arab Saudi masih belum mengabulkan masukan dari para demonstran.

Baca juga artikel terkait PEREMPUAN atau tulisan lainnya dari Yulaika Ramadhani

tirto.id - Hukum
Reporter: Yulaika Ramadhani
Penulis: Yulaika Ramadhani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti