Menuju konten utama
24 Mei 1979

Roestam Effendi: Penyair Pensiun yang Banting Setir Jadi Politikus

Roestam Effendi adalah salah satu orang Indonesia pertama yang menjadi anggota parlemen Belanda. Sebelumnya ia seorang penyair yang produktif.

Roestam Effendi. tirto.id/Deadnauval

tirto.id - Anak-anak remaja yang berkumpul di sebuah ruang kelas itu sedang gelisah menjelang pesta sekolah yang bakal dihelat sebentar lagi. Mereka harus menampilkan persembahan drama untuk mengisi acara tersebut, tapi hingga detik itu, belum ada naskah yang siap ditampilkan.

Roestam Effendi datang pada saat yang tepat. Ia mengajukan diri kepada para siswa MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) Padang yang tengah galau itu untuk menulis naskah yang bakal dipentaskan dalam pesta sekolah nanti. Tawaran tersebut sontak disambut setuju.

Lantaran waktu yang mepet, Roestam tidak menulis naskah panjang layaknya skenario kisah drama. Dialog dalam cerita ditulis dalam bentuk sajak. Akhirnya, tuntas juga naskah yang diberi judul Bebasari itu.

Jelang pertunjukan, datang kabar buruk. Karya Roestam batal dipentaskan karena tidak diizinkan kepala sekolah MULO Padang yang orang Belanda. Isi cerita Bebasari dituding memuat sindiran terhadap pemerintah.

Roestam Effendi jelas kecewa, tapi ia berusaha memaklumi. Bahkan, pelarangan itu justru kian memantik semangatnya untuk membuktikan diri bahwa suatu saat nanti, ia bisa menghantam Belanda lebih keras lagi. Dan jalur politik lah yang kemudian dipilihnya.

Berjuang Lewat Sastra

Roestam Effendi lahir di Padang, Sumatera Barat, pada 13 Mei 1903. Ia sudah menaruh minat terhadap sastra sejak muda. Ia serius mempelajari sastra Melayu yang termaktub dalam berbagai hikayat, syair, pantun, dan sebagainya. Roestam juga kerap menulis di surat kabar dengan memakai beberapa nama samaran seperti Rantai Emas, Rahasia Emas, atau Rangkayo Elok.

Dalam Teater Indonesia: Konsep, Sejarah, Problema (1999), W.S. Rendra menyebutkan, setelah gagal dipentaskan di MULO Padang, Bebasari justru kian populer. Nama Roestam juga kian dikenal (hlm. 220). Para pelajar sekolah dokter (STOVIA) di Batavia sempat ingin mementaskan lakon itu. Namun, lagi-lagi aparat kolonial melarang keras.

Apa sebenarnya isi cerita Bebasari sehingga membuat pemerintah Hindia Belanda amat alergi?

Alkisah, di suatu kerajaan antah-berantah, seorang putri bangsawan bernama Babasari diculik oleh Rawana, raja raksasa yang telah menaklukkan kerajaan milik Maharaja Takutar. Hingga kemudian, muncul sosok Bujangga, pangeran tampan yang juga putra Maharaja Takutar.

Bujangga memang diramalkan sebagai sosok yang akan menyelamatkan kerajaan dari cengkeraman Rawana. Ramalan itu ternyata benar. Setelah melalui berbagai rintangan dan cobaan, Bujangga berhasil membebaskan Bebasari sekaligus mengalahkan Rawana. Bujangga dan Bebasari lalu menikah dan berbahagia selamanya.

Pemerintah kolonial menganggap isi cerita Bebasari sebagai bentuk sindiran terselubung sehingga karya itu diberangus. Memang begitulah adanya. Menurut Zen Hae dalam pengantarnya untuk rubrik “Kalam” di situs Komunitas Salihara (2013), Bebasari adalah lakon alegoris pertama tentang Indonesia sebagai negeri merdeka yang dicita-citakan.

Roestam, lanjut Hae, memang tidak menggunakan kata “Indonesia” dalam lakon gubahannya itu, tapi ia memakai sejumlah kata dan nama yang merujuk kepada kondisi bangsa bumiputera yang terjajah. Sebab itulah lakon Bebasari membuat pemerintah kolonial dongkol.

Seruan Merdeka di Parlemen Belanda

Antara 1926 hingga 1928, Roestam Effendi menuai lompatan krusial dalam hidupnya. Ia berkesempatan ke Belanda untuk melanjutkan studi hoofdacte (diploma). Di negeri itulah kiprah Roestam justru kian moncer. Ia memilih jalur politik setelah perjuangannya lewat sastra dianggap kurang membuahkan hasil.

Mula-mula, Roestam menjadi anggota Perhimpunan Indonesia (PI), perkumpulan pelajar/mahasiswa Indonesia di Belanda. Di organisasi yang saat itu dipimpin oleh Mohammad Hatta dan Soetan Sjahrir itu, ia dekat dengan para aktivis berhaluan kiri seperti Setiadjit dan Abdul Madjit.

Kehadiran Roestam rupanya cukup berpengaruh. Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil "Petite Histoire" Indonesia (Volume 4, 2004) menyebutkan bahwa golongan kiri di Perhimpunan Indonesia, terutama Roestam dan dua rekannya, berhasil menggulingkan Hatta dan Sjahrir dari kepengurusan organisasi itu (hlm. 218).

Sukses mencuri panggung, nama Roestam Effendi semakin dikenal di negeri kincir angin. Terlebih lagi setelah ia bergabung dengan Communistische Party Nederland (CPN) atau Partai Komunis Belanda. Jalan politik tingkat tinggi kini benar-benar terbuka bagi Roestam.

Beberapa tahun lamanya meretas karier bersama CPN, ia terpilih sebagai anggota majelis rendah Belanda, Tweede Kamer. Roestam Effendi adalah salah seorang bumiputera pertama yang duduk di kursi parlemen Belanda. Dengan menjadi anggota parlemen, menurut Rosihan, Roestam pun meninggalkan lapangan sastra (hlm. 218).

Di parlemen, Roestam Effendi berperan sebagai satu-satunya penyuara kepentingan rakyat Hindia Belanda. Ia mantap memilih jalur kiri dalam perjuangan yang tidak mudah itu. Pada 1937, Roestam kembali terpilih sebagai anggota Tweede Kamer.

Dalam sidang parlemen pada Februari 1937, ia menyampaikan pidato dengan amat bernyali. Roestam Effendi dengan terang-terangan menyatakan diri sebagai wakil komunis untuk memperjuangkan kemerdekaan rakyat Indonesia dari penjajahan Belanda.

“Kami, kaum komunis, adalah pembela kemerdekaan Indonesia, sebab kami berpihak kepada hak bangsa-bangsa untuk menentukan nasib sendiri. Di semua negeri, kaum komunis merupakan pembela-pembela yang terbaik dan konsekuen atas kemerdekaan nasional bangsa-bangsa yang tertindas!” seru Roestam (Harry A. Poeze, Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950, 2008: 280).

“Kami, kaum komunis,” lanjutnya, “akan melakukan segalanya untuk mencegah rakyat Indonesia yang tertindas jatuh ke dalam cengkeraman barbarisme modern yang saat ini sedang mengancamnya. Inilah tugas suci kami, dan ini samasekali bukan lagak kosong kami belaka!"

Roestam menambahkan, “Saya yakin bahwa pandangan ini menjadi pandangan mayoritas terbesar gerakan kemerdekaan nasional, sebab gerakan nasional di Indonesia pun berkepentingan untuk membela demokrasi yang memberikan kemungkinan kepadanya untuk memupuk, mengembangkan, dan memperkuat cita-cita nasional!”

Sungguh berani betul lelaki Minang ini. Di depan parlemen Belanda, mewakili kaum kiri yang menjadi musuh utama pemerintah kolonial Hindia Belanda setelah pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) 1926, Roestam justru berseru lantang tentang hak bangsa terjajah. Dan ia dengan jelas menyebut kemerdekaan Indonesia.

Pulang, Menghadapi PKI

Roestam Effendi akhirnya berpisah jalan dengan CPN. Ia dipecat lantaran dituding sebagai pendukung Leon Trotsky—yang berkonflik dengan Josef Stalin di Rusia pada 1940 (Hario Kecik, Pemikiran Militer 1: Sepanjang Masa Bangsa Indonesia, 2012: 300).

Putus hubungan dengan CPN sekaligus mengakhiri kariernya di parlemen Belanda. Roestam kemudian pulang ke Indonesia. Saat itu, Indonesia sudah merdeka namun masih bergelut dengan berbagai persoalan pelik, termasuk menghadang ambisi Belanda yang ingin berkuasa kembali.

Di tanah air, Roestam ternyata tidak mendapatkan tempat di pemerintahan RI pimpinan Sukarno. Maka, ia memilih jalan lain: bergabung dengan Tan Malaka serta orang-orang Partai Murba dalam Gerakan Revolusi Rakyat (GRR) yang berpusat di Solo. Roestam dan Tan Malaka bekerjasama menghadapi PKI yang beroposisi terhadap Kabinet Hatta (Anwar, 2004: 219).

Pada periode ini pula, gairah menulis Roestam meninggi lagi. Selama beberapa tahun hingga 1950, ia menerbitkan cukup banyak buku yang lebih "galak" dibanding gaya metaforikal Bebasari.

Tercatat, Roestam menulis Revolusi Nasional, Sedikit Penjelasan Tentang Soal-Soal Trotskysme, Soal-Soal di Sekitar Krisis Kapitalis, dan Soal-Soal Mengenai Sistem Kapitalis, semuanya terbit pada 1947. Disusul dengan terbitnya Pidato-Pidato Tentang Soal-Soal Negara Demokrasi dan Diktatur Proletar (1948), Demokrasi dan Demokrasi (1949), serta Strategi dan Taktik (1950).

Roestam tidak sekadar berangan-angan lewat serangkaian tulisannya. Ia menerapkan apa yang ada di pikirannya ke alam nyata, baik sebagai bentuk perlawanannya terhadap agresi militer Belanda maupun untuk mengkritisi tindakan gegabah yang dilakukan orang-orang Indonesia.

Pemberontakan PKI di Madiun di bawah pimpinan Muso pada 18 September 1948, misalnya, sangat disesalkan oleh Roestam. Ia menyebut gerakan itulah yang memicu terjadinya Agresi Militer Belanda II beberapa pekan berselang. Kekecewaan Roestam ini antara lain dituliskan dalam selebaran bertajuk Strategi dan Taktik yang terbit menjadi buku pada 1950.

Seperti dikutip Poeze dalam Madiun 1948: PKI Bergerak (2011), Roestam menyebut pemberontakan itu membuat kaum komunis menjadi terasing dari rakyat. Pimpinan aksi di Madiun, kata Roestam, berlatar belakang borjuis kecil dan berpandangan picik. Mereka telah membawa PKI ke jalan sesat dan provokasi mereka telah mengorbankan rakyat untuk kepentingannya sendiri.

“Ini (aksi Madiun) merupakan eksperimen tanpa dipertimbangkan sebelumnya. Nama baik komunisme, telah menjatuhkan nama pengaruh dan autoriteit (otoritas) saudara Muso di kalangan rakyat Indonesia yang berjuang,” tukas Roestam dalam Strategi dan Taktik (hlm. 21).

Infografik Mozaik Roestam Effendi

Infografik Mozaik Roestam Effendi

Akhir Riwayat Pendekar Kiri

Ketika Sukarno, Hatta, dan para pemimpin republik lainnya ditawan serta diasingkan Belanda pada pengujung 1948, Roestam Effendi bersama Tan Malaka memimpin gerakan gerilya untuk menentang agresi militer Belanda. Namun, mereka tidak percaya dengan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang dipimpin Syafruddin Prawiranegara di Sumatera.

Lantaran itulah Roestam dan Tan Malaka mengambil langkah politik dengan mendirikan pemerintahan darurat di Jawa, tepatnya di Kediri, Jawa Timur. Namun, tindakan tersebut justru disikapi frontal oleh angkatan perang RI. Menurut Rosihan Anwar (2004), Tan Malaka ditangkap oleh TNI dan dengan cepat dieksekusi (hlm. 220).

Adapun Roestam bernasib lebih mujur. Ia berhasil meloloskan diri dari kejaran TNI. Selepas keluar dari Kediri, ia menuju Solo untuk bersembunyi. Setelah pengakuan kedaulatan pada akhir 1949, Roestam berdiam diri di kediamannya di Jakarta.

Sejak itu, Roestam tidak lagi turun langsung di gelanggang nasional dan kembali menggeluti kesusastraan. Namun, ia masih kerap bersuara keras melalui tulisan-tulisan politiknya. Roestam tetap berkeyakinan, revolusi akan mampu mengenyahkan kapitalisme dan imperialisme, termasuk di Indonesia, meskipun jalan revolusioner yang ditempuhnya berbeda jalur dengan Sukarno maupun orang-orang PKI.

Roestam Effendi menjadi sosok kiri yang berjuang seorang diri. Roestam, yang sempat ditangkap pemerintah pada 1951, seolah tenggelam dalam kebesaran pemikirannya sendiri. Dalam Verguisd en Vergeten Vol. 3 (2007: 1644), Poeze menggambarkan kondisi Roestam saat itu:

“[…] semua partai politik jadi bidik sasaran kritiknya dan dia menyebarkan suatu perasaan superioritas (merasa lebih besar dari orang lain) sehingga keadaannya tanpa atap perlindungan politik terus berlangsung.”

Roestam Effendi, yang tidak lain adalah kakek Yusuf Macan Effendi alias Dede Yusuf, kala itu ibarat ronin—samurai liar tanpa tuan—yang selalu mengayunkan pedangnya walau hanya menebas angin, bahkan setelah rezim Sukarno runtuh. Situasi miris seperti ini dialami Roestam sepanjang waktu hingga wafat di Jakarta pada 24 Mei 1979, tepat hari ini 40 tahun lalu.

==========

Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 9 Februari 2018. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Politik
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Ivan Aulia Ahsan