Menuju konten utama

Risiko Praktik Titip Janin ala Kim Kardashian

Di Indonesia, praktik ibu pengganti ilegal hukumnya. MUI juga telah mengeluarkan fatwa haram terhadap metode ini.

Risiko Praktik Titip Janin ala Kim Kardashian
Ilustrasi ibu pengganti. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Baru-baru ini, memperoleh keturunan dengan jalan surrogate mother (ibu pengganti) kembali ramai diperbincangkan. Pasangan bintang Kim Kardashian dan Kanye West, seperti ditulis Huffington Post, baru saja mendapatkan anak ketiganya dengan bantuan metode ini.

Selain Kim, pasangan sesama jenis Ricky Martin dan Jwan Yosef juga berencana menambah anak dengan menyewa rahim perempuan.

Di Indonesia, metode kehamilan dengan ibu pengganti pernah menjadi sorotan karena pernyataan salah satu mantan pembawa berita, Jeremy Teti. Ia berada dalam posisi mendukung gerakan LGBT dan menyatakan pasangan LGBT dapat memiliki anak dengan cara menyewa rahim, seperti yang dilakukan oleh Kim.

Secara medis, praktik ibu pengganti dapat dibedakan menjadi dua jenis. Pertama, ibu pengganti tradisional. Ibu pengganti diinseminasi sperma penyewa/sperma donor. Seorang pengganti tradisional merupakan ibu kandung dari bayi tersebut karena telurnya dipakai untuk dibuahi.

Kedua, ibu pengganti gestasional, yang dilakukan lewat teknik fertilisasi in vitro (IVF). Telur ibu pengganti tidak digunakan, ia hanya meminjamkan rahim sehingga tak memiliki ikatan genetik dengan bayi. Sperma dan telur berasal dari penyewa maupun donor.

“Inti dari pembuahan adalah sel telur yang bertemu sperma. Untuk surogasi pada pasangan LGBT pasti meminjam sperma atau telur dari donor,” jelas dr Ulul Albab, Sp. OG kepada Tirto.

Banyak negara melarang praktik ini karena dinilai bertentangan dengan hukum dan norma yang berlaku. Namun, praktik ini masih terus berjalan karena beragam alasan. Terhimpit kebutuhan ekonomi misalnya. Hal ini terjadi di India, saat ibu pengganti menyewakan rahimnya seharga $16-32 ribu.

Negara ini telah menjadi surga bagi para pencari rahim sewaan. Setidaknya, ada seribu pusat surogasi di negeri ini yang menarik 25 ribu pasangan untuk berkunjung. Mereka menghasilkan lebih dari dua ribu kelahiran dengan nilai bisnis mencapai $2,3 miliar setiap tahun.

“Jumlah yang sebenarnya bisa jadi lebih tinggi,” ujar Eric Blyth, profesor di bidang Pekerjaan Sosial, Universitas Huddersfield, Queensgate, kepada Al Jazeera.

Permintaan terhadap ibu pengganti di India, selain dari Inggris, paling banyak juga berasal dari Australia. Ada laporan yang menunjukkan sekitar setengah penyewa rahim dari luar negeri berasal dari Australia. Jumlah permintaan dari Negeri Kanguru itu terus meningkat setiap tahunnya. Jika pada 2010 hanya ada 86 kelahiran surogasi, di tahun 2011 dan 2012 jumlahnya naik masing-masing menjadi 179 dan 200 kelahiran.

Meningkatnya jumlah penyewa rahim di India membuat kekhawatiran bisnis persewaan rahim menjadi langgeng. Sehingga mengakibatkan para perempuan yang terjebak kemiskinan terpaksa meminjamkan rahimnya dan melahirkan “kolonialisme biologis”. Ini dianggap sebagai bentuk paling jahat di antara kolonialisme lainnya.

Untuk mengantisipasi hal tersebut, pada 2016 lalu, India mulai merancang undang-undang yang melarang praktik titip rahim komersial. Titip rahim hanya dapat dilakukan oleh pasangan tidak subur yang telah menikah minimal lima tahun, dengan catatan sang pengganti merupakan kerabat dekat.

Sementara, di Indonesia, praktik ini dilarang keras lewat pasal 127 UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Pasal tersebut mengatur upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan tiga ketentuan.

Pertama, hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal. Kedua, dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Dan ketiga, dilakukan pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu. Selain tertuang dalam undang-undang, pada 2006, Tempo.co mencatat Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga telah mengeluarkan fatwa haram terhadap praktik transfer embrio ke rahim titipan.

“Artinya, metode kehamilan di luar cara alamiah selain pasal tersebut, termasuk ibu pengganti di Indonesia masih belum diperbolehkan,” tambah dr Ulul.

Dampak Psikis Praktik Ibu Pengganti

Praktik titip kehamilan banyak dilarang di beragam negara salah satunya karena menimbulkan dampak psikologis bagi anak dan ibu pengganti. Anak-anak yang dilahirkan oleh praktik ini bisa jadi sulit menerima penjelasan tentang asal usul mereka. Atau sebaliknya, orangtua yang kesulitan menjelaskan hal tersebut kepada anaknya.

Kesulitan ini terjadi pada keluarga Ricky Martin. Kedua anaknya, Matteo dan Valentino, sempat melontarkan pertanyaan yang menohok. Kembar laki-laki ini dibesarkan oleh dua orang ayah dan tanpa ibu. Saat itu, Ricky hanya menjawab bahwa ada seorang perempuan yang ia sayangi telah membantu membawa Matteo dan Valentino ke dunia.

“Ayah, apa aku dulu berada di perutmu?” tanya mereka, polos.

Dalam kasus seperti terjadi pada Ricky Martin, anak hasil surogasi akan mengalami kerancuan garis genetika. Terlebih, anak-anak yang lahir dari salah satu pasangan homoseksual dengan donor anonim.

Tak hanya anak, dampak psikologis negatif juga menyerang sang ibu pengganti. Hal ini ditunjukkan dalam penelitian oleh Hoda Ahmari Tehran, dkk (2014) terhadap delapan wanita berusia 29-34 tahun yang menjadi ibu pengganti.

Peneliti menyatakan surogasi harus dianggap sebagai pengalaman emosional berisiko tinggi. Karena dalam perjanjian, ibu pengganti hanya menyewakan rahim saja, sehingga mereka dipaksa tidak memiliki perasaan pada bayi yang dikandungnya. Permasalahan selanjutnya, para ibu pengganti kerap khawatir melahirkan bayi abnormal sehingga perjanjian sewa menjadi batal.

Infografik ibu pengganti

Dalam beberapa kasus, hubungan pernikahan mereka juga menjadi buruk. Salah satu ibu pengganti yang menjadi responden mengatakan hubungan seksualnya dengan suami bermasalah. Sang suami membayangkan bayi di perut istrinya merupakan anak orang lain. Mereka juga bingung menjelaskan masalah kehamilan dan garis keluarga si bayi dengan anak-anak kandungnya, kerabat, dan teman-temannya yang lain.

Meski para wanita ini telah mengetahui risiko yang harus dihadapi, tak menutup kemungkinan rasa cemas terkait komplikasi selama dan pasca-kehamilan juga menghantui. Apalagi, ibu pengganti juga terkadang merasa risih untuk terus-terusan meminta uang pada penyewanya. Di sisi lain, sang suami tak mau menanggung biaya janin yang bukan darah dagingnya.

Baca juga artikel terkait KEHAMILAN atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani