tirto.id - Komoditas bawang putih dan bawang bombai masih mengalami kelangkaan di dalam negeri. Harga bawang bombai misalnya sudah menyentuh Rp150 ribu per kg, bahkan ada pedagang yang menjualnya di kisaran Rp180-200 ribu per kg padahal biasanya hanya Rp20-24 ribu per kg. Harga bawang putih sendiri berada di kisaran Rp42 ribu per kg di atas harga normal Rp25 ribu per kg.
Di tengah kelangkaan ini pemerintah akhirnya membuka lebar keran impor bawang putih dan bawang bombai.
Tak tanggung-tanggung, Menteri Perdagangan Agus Suparmanto membebaskan importir dari persyaratan Surat Persetujuan Impor (SPI). Bahkan izin impor yang tak diperlukan termasuk Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) yang jadi prasyarat SPI.
"Bisa langsung impor, tapi ini hanya berlaku sampai 31 Mei 2020, pemberlakuannya terbatas," ucap Agus dalam live di akun Youtube Kementerian Perdagangan, Rabu (18/3/2020).
Ketua Perkumpulan Pengusaha Bawang Nusantara Mulyadi menilai kebijakan pemerintah itu sangat baik. Ia yakin harga bawang putih dan bombay bisa segera turun. Paling cepat dua minggu ke depan kemudahan importasi ini katanya akan terasa.
Menurut dia, selama ini sistem kuota melalui RIPH dan SPI menyengsarakan masyarakat apalagi menjelang bulan puasa dan lebaran nanti.
Mulyadi bilang melalui pembebasan ini nantinya hukum pasar yang akan bekerja. Hal ini, kata dia, akan membuat banyak importir memiliki barang, alih-alih bergantung pada sejumlah orang yang kebetulan sedang menguasai kuota.
“Ini bagus. Akan kami buktikan bahwa kalau bebas (impor) harga akan segera turun drastis, juga tidak bakal ada penimbunan-penimbunan,” ucap Mulyadi saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (19/3/2020).
Perkumpulan Pengusaha Bawang Putih dan Aneka Umbi Indonesia (Pusbarindo) mengaku kurang setuju. Ketua II Pusbarindo Valentino menilai importasi seharusnya tetap dilaksanakan berdasarkan program Wajib Tanam yang ditetapkan sejak 2017.
Realisasi tanam sebelumnya adalah syarat memperoleh RIPH yang nantinya menjadi dasar SPI di Kemendag.
“Dengan dibebaskannya impor bawang putih, tentunya mengganggu cita-cita kita mencapai swasembada baput melalui program Wajib Tanam,” ucap Valentino dalam keterangan tertulis yang diterima reporter Tirto, Rabu (18/3/2020).
Sementara Ketua Asosiasi Hortikultura Indonesia Anton Muslim Arbi mengatakan pemberlakuan kebijakan ini sebenarnya boleh-boleh saja. Namun menurutnya, pemerintah perlu menjamin kalau kesempatan ini tidak bakal dipakai impor sebebas-bebasnya oleh orang yang tak bertanggung jawab.
Ia mencontohkan eksportir Australia sempat mengabarkan kepada dirinya kalau ada 3-4 perusahaan importir di RI yang membeli, tetapi semua perusahaan itu ternyata milik satu orang. Ia bilang jangan sampai hal ini terjadi pada komoditas bawang putih dan bombai.
Pasalnya sebelum ada kemudahan ini saja, kata dia, Kemendag dinilai cukup lamban mengeluarkan izin meski Kementan telah menerbitkan RIPH yang juga agak terlambat.
Ia menuding di tengah lambatnya Kemendag ada permainan dengan pengusaha yang sedang menguasai kuota.
“Kalau selama masih ada izin ada dugaan permainan, takutnya setelah dihapus nanti orang malah jadi enggak malu-malu lagi. Perlu dikontrol jadi enggak itu-itu aja yang impor,” ucap Anton saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (18/3/2020).
Kekhawatiran lainnya juga mencangkup kontrol atas kualitas bawang putih dan asal negara impor. Masalahnya jika pemerintah ingin menghapus RIPH dan PI sementara, maka sertifikasi yang menjamin kedua hal itu diduga bakal diabaikan.
“Ini karantina gimana. Kalau impor penyakit, kan, repot,” ucap Anton.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah mengatakan kemudahan impor ini memang dibutuhkan lantaran pasokan bawang putih dan bombai sedang langka.
Di sisi lain, ia menilai penghapusan sementara ini bisa menghindari potensi permainan rente kuota impor.
Namun, ia bilang pemerintah harus tetap menjaga aktivitas impor ini. Meski dipermudah, itu cukup sebatas memangkas prosedur dan perizinan yang lambat. Dalam artian importasi tetap harus sesuai kebutuhan dalam negeri.
“Si importir harus melapor ke pemerintah, sehingga bisa diketahui kapan impor ditutup guna menghindari oversupply di domestik,” ucap Rusli saat dihubungi reporter Tirto.
Kekhawatiran Rusli tentu beralasan. Selain nantinya malah memicu permainan harga dan penimbunan, Indonesia harus sadar diri juga mengenai neraca perdagangan.
Pasalnya pelebaran defisit neraca perdagangan akan berpengaruh bagi defisit neraca transaksi berjalan dan ujung-ujungnya memperlemah rupiah yang sudah babak belur di Rp16 ribu per dolar AS.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Februari 2020 surplus, tetapi itu karena anjloknya impor yang kebetulan ditopang oleh ekspor yang naik sedikit.
Pada saat belum ada jaminan Indonesia bisa menggenjot ekspor di tengah perdagangan dunia yang melambat, pemerintah tak bisa kufur nikmat alias harus waspada atas pelebaran neraca perdagangan.
Rusli menambahkan kemudahan impor ini juga tak akan menyelesaikan masalah tanpa kontrol kuat pelabuhan dan pasar.
Data permintaan (kebutuhan domestik), jalur distribusi domestik dan sebaran lokus kebutuhan bawang putih/bombai, kata dia, harus dikuasai pemerintah demi mempermudah Satgas Pangan menelusuri kejanggalan distribusi bawang putih dan bombai.
“Misalkan jika barang sudah masuk, kok harga belum turun, ini yang perlu dicurigai,” ucap Rusli.
Terkait ini, Mendag Agus mengatakan bahwa pemerintah akan memastikan kalau kebijakan ini tak dibiarkan begitu saja. Ia mengatakan pemerintah akan memantau jalannya kebijakan ini.
“Kami akan evaluasi terus. Di dalam pengawasan Kemendag. Apabila ini tidak diperlukan lagi kami akan kembalikan seperti semula. Ini hanya untuk menjaga konsumen itu sendiri,” ucap Agus dalam live di akun Youtube Kementerian Perdagangan Rabu (18/3/2020).
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz